Friday, September 28, 2007

Wayangan buat Gading-Reni Kita

Yang paling tahu soal hubungan Gading Marten dan Reni Sutiyoso pastilah cuma keduanya. Kalau gosip ya macem-macem. Ada yang bilang putra aktor Roy Marten itu pindah agama. Ayahnya yang asal Salatiga kabarnya mengeluh karena Gading meninggalkannya.

Tapi Gading membantah. Masa’, katanya, tega-teganya ia ngacir dari agama orangtuanya. Cuma, gosip lain menyebut, Gading terperangah saat diberi tahu bahwa keluhan Roy itu diceritakan oleh sumber terpercaya dari lingkungan keluarga lho.

Pekan lalu saya mendengar selentingan dari infotainment bahwa pasangan putra aktor dan putri seorang gubernur itu telah menikah di Bali. Benarkah? Ya, itu tadi, kita tak akan pernah tahu pastinya. Namanya juga gosip. Desas-desus. Kabar burung.

***

Konflik yang timbul dari kisah cinta sudah lumrah. Telah berabad-abad pula kejadiannya. Termasuk dampaknya terhadap orangtua kedua belah pihak. Bagi saya, yang menarik bukan konfliknya. Romantismenya itulah yang lebih asyik buat disimak.

Dengarlah pengakuan Gading soal kenapa ia tertarik Reni (ini kalau cinta terpaksa harus dijelas-jelaskan alasannya meski sebenarnya mustahil menjelaskan alasan cinta). Karena, katanya, jiwa sosial Reni. Waktu banjir Jakarta, Reni cepat turun tangan. Ia tak bawa embel-embel nama orangtua, orang nomor satu di kawasan banjir itu.

Sebaliknya, Reni tetap dekat dengan Gading meski gosip menyebut bahwa kekasihnya itu playboy. Isu yang agak masuk akal kalau dicocok-cocokkan dengan kelakuan bapaknya, Roy Marten, setidaknya dalam versi film.

Roy hampir selalu jadi playboy di gedung bioskop, termasuk pacaran dengan dosennya (diperankan Rae Sita) dalam film Cintaku di Kampus Biru, film dengan setting kampus UGM atas dasar novel dosen UGM pula, Ashadi Siregar.

Saya masih inget salah satu adegannya. Ibu dosen telentang di lantai ruang kuliah. Rambutnya menjurai ke lantai. Di atas wajahnya ada wajah mahasiswa playboy itu. Pemerannya ayah Gading.

Mengenang film itu. Mendengar kabar burung tentang Gading. Tapi Reni tetap dekat dengan Gading. Sungguh kisah cinta yang romantis dan mahal.

***

Selain soal romantisme, sebagai dalang saya juga tertarik pada betapa prediksi-prediksi kisah pewayangan kerap benar-benar muncul dalam kenyataan. Wayang menyebut, setiap manusia pasti akan mengalami 12 kali peperangan termasuk perang antara anak dan orangtuanya. Kayaknya Pak Sutiyoso-Reni sedang dalam tahap itu deh.

Baratayuda, yaitu perang antar-saudara kandung, perang yang sangat dikenal, sesungguhnya cuma perang ke-4 atau salah satu fase perang yang telah atau akan dialami setiap insan. Selain perang di Tegal Kuru Setra itu ada juga yang disebut perang Gojali (orangtua) Suto (anak).

Kresna dalam Mahabarata pernah berperang dengan anaknya sendiri, Bomanarakasura, bahkan sampai membunuhnya untuk alasan kenegaraan. Wisrawa dalam Ramayana, pernah berperang dengan anaknya sendiri, Danapati, karena rebutan perempuan yaitu Sukesi yang kemudian beranak Rahwana.

Kini, di luar wayang, Sutiyoso sedang “berperang” juga dengan anaknya sendiri karena perbedaan agama Gading-Reni. Ibu-ibu jangan merasa bangga maupun menertawakan, karena cepat atau lambat, sebagai orangtua, Ibu-ibu juga akan berantem dengan anak sendiri dari perkara pilihan profesi sampai perkara jodoh.

Aduh, tapi kebayang deh perang dengan anak sendiri, dengan darah daging sendiri, dengan orang yang pernah kita lihat gumoh dan popoknya, orang yang kita cintai tak dengan cara pacaran. Pasti banyak kikuknya. Pasti banyak tangis diem-diem-nya.

Sutiyoso boleh punya wajah jenderal perang, seperti jenderal Ryamizard Ryacudu, Hendropriyono, Bibit Waluyo dan Ari Soedewo. Kalangan swasta yang merindukan ketegasan dan “tangan besi” kepemimpinan nasional, banyak yang menginginkannya jadi presiden mendatang.

Tapi, aduh...ini berhadapan dengan anak sendiri. Anak perempuan lagi. Tak sedikit laki-laki yang mati kutu pada anak perempuannya sendiri. Rudy Wowor, guru tari yang keras itu, juga mati kutu pada anak perempuannya, aktris Madina.

Adegan perang Kresna-Boma dan Wisrawa-Danapati juga tak diiringi dengan repertoar gamelan perang biasa. Repertoarnya kikuk, sedih. Lantunan pesindennya juga menyayat-nyayat dan gloomy.

***

Hal lain yang menarik dalam kasus Gading-Reni, saya cuma dengar Sutiyoso tak setuju hubungan anaknya dengan Gading karena perbedaan agama. Saya tak pernah dengar Sutiyoso tak setuju lantaran ayah Gading mantan narapidana.

Bila yang terakhir ini yang terjadi, gawat. Itu namanya hukuman moral. Bisa gawat positif, bisa gawat negatif. Negatif, bagi narapidana yang betul-betul sudah kapok selepas usai masa hukuman fisiknya. Hukuman moral dari masyarakat akan membuatnya tak bergairah membikin lembaran baru hidup yang lebih baik.

Positif jika bui tak membuatnya jera. Aktris Happy Salma melihat hukuman moral, yang bisa dijatuhkan pada seseorang sampai ke keluarga-keluarganya, bisa efektif.

Bagi penyanyi Nugie, secara umum sekarang ini penjara fisik sudah tidak efektif untuk membuat orang sadar. Selain hukum moral, dia mengusulkan hukum adat. “Kita bisa bikin paguyuban-paguyuban suku yang berfungsi menerapkan nilai-nilai adat. Tapi pengontrolnya mesti ketat ya,” kata Nugie.

Dan kita tinggal mengikuti episode lanjutan kisah cinta Reni-Gading.

*Sujiwo Tejo, Dalang Edan – http://www.sujiwotejo.com

*Dapatkan SMS berlangganan dari Dalang Edan Sujiwo Tejo tentang cara berbagai hal dipandang dari dunia pewayangan. Caranya, ketik reg pde1, kirim ke 9388, Tarif Rp 1.000/SMS. Apabila Anda ingin berhenti, ketik unreg pde1, kirim ke 9388

*Artikel ini telah diterbitkan di Harian Seputar Indonesia edisi 28 September 2007

3 comments:

Anonymous said...

um tejo saya punya pertanyaan neh..:
1.12 perang dalam wayang apa saja y?
2.apa beda
nya betari dan bidadari serta dewi??
3.penulisan yg benar bethari ato betari??

makasih sebelumnya mohon di jawab

Dalang Edan said...

mas senggana,

ini jawaban dari mas tejo ttg pertanyaan mas...:

A,
1. 12 perang dalam wayang itu adalah Perang Pamoksa dan Guntoroyono, itu perangnya Prabu Pandu (ayah Pandawa) dan para raksasa, juga perangnya Gatutkaca (anak Bima) dengan para raksasa.

Maksud kedua peperangan ini adalah perang antara manusia dengan sesuatu yang sangat mustahil kita lawan karena keadidayaannya. Seperti Amerika saat ini...:)

2. Perang Gojali Suta, perang anak dan orangtua. Itu perangnya Kresna dengan anaknya, Bomanarakasura alias Sitija. Dan perang antara Wisrawa (kelak ayah Rahwana) dengan anaknya Danapati.

3. Perang Baratayudha, perang antar-Saudara kandung. Dalam hal ini Padawa dan Kurawa.

4. Perang yang kelima, sampai ke sepuluh adalah perang melawan diri sendiri, yaitu masing-masing pancaindra dan satu lagi ari-ari atau placenta kita.

5. Perang ke sebelas perang melawan keyakinan diri sendiri. Termasuk keyakinan agama yang sedang dianut. Ini antara lain pernah dilakukan Prabu Rama, ketika dia antara yakin dan ragu-ragu apakah istrinya, Sinta, masih perawan setelah ditawan raja Alengka Rahwana

6. Perang yang kedua belas adalah perang melawan hukum alam. Itu pernah dilakukan Resi Subali ketika bertapa bagai kalong, menggantung kaki di atas dan kepala di bawah.

B,
Dewi itu sebutan buat perempuan-perempuan yang ningrat dan umumnya adalah titisan dari bidadari. Yang betul penulisannya adalah Bethari. Jadi pakai “Th” kalau sesuai dengan pengucapan. Bethari atau Bathari itu adalah sebutan buat bidadari yang menjadi isteri atau Dewa.

Salam
-tejo-

Anonymous said...

maturnuwun atas jawabnya mas..
sebelumnya selamat idul fitri,mohon maaf lahir bathin..
begini mas,saya mempunyai cita cita jika saya punya anak akan sy beri nama:
1.jika putri:
bethari jenar laut/segara.
2.jika putra
bethara jenar banyu biru.
pertanyaan saya:
1.bagaimana pendapat mas tejo ttg nama calon anak saya?jika ada yg kurang mohon ditambahin..
2.arti kata jenar yg benar merah atau kuning?sebab ada yg menyebut jenar kuning(kata kuning dalam bhs jawa apa?)
3.kapan albumnya keluar lagi??
matur nuwun sebelumnya..