Thursday, November 15, 2007

INVITATION FOR YOU ALL

Watch Sujiwo Tejo's performance in
Wayang Kulit & Wayang Orang Show
with the music from tradition & modern music instrument
(gamelan & band)
SEMAR MESEM
by Sujiwo Tejo - Dalang Edan
Saturday - 2007, Nov 17
4 & 8 pm
(16.00 & 20.00 wib)
at
Gedung Kesenian Jakarta (GKJ)

Sunday, November 11, 2007

Article No.59 in Sindo Daily (about Rasa Sayange and Malaysia)

SAYA PUNYA SAHABAT di MALAYSIA

Saya punya sahabat perempuan di Malaysia. Kami kenal pertama dalam suatu pekan festival kesenian di Singapura. Rambutnya panjang. Kulitnya kuning langsat dan bersih. Dan ia ramah-tamah.

O ya, suka pakai kain Indonesia pula dia. Ketika kami jalan kaki di Orchad Road, melihat pakaian kami, termasuk kainnya yang diriap-riapkan angin seperti rambut panjangnya, banyak orang di jalanan yang menyapa dan menyangka kami dari Indonesia.

Sahabat perempuan saya ini tidak menyangkalnya. Saya pun tak ingin.

Dalam persahabatan, waktu itu seingat saya tak ada pikiran bahwa dia lain bangsa. Paling komunikasi kadang-kadang agak macet karena perbedaan pilihan kata. Misalnya, antara lain, ia bilang “ramai” untuk “banyak”.

Tapi kalau sekadar kegagapan model begitu, toh komunikasi dengan sesama bangsa sendiri juga sering terbata-bata lantaran perbedaan suku. Ada beberapa kata yang lain penerapannya atas sebab pengaruh tata bahasa setempat. Sopir-sopir taksi di Bali kalau mau omong “sebentar lagi (nyampe tujuan)” akan bilang “lagi sebentar”.

Kalau sampeyan nelepon orang Maluku, yang terima bilang orang tujuan sampeyan itu “ada”, juga jangan langsung seneng. Jangan langsung tanya, “mana?” Karena mungkin maksudnya ada itu hidup, tapi orangnya “ada pergi” alias sedang tak di tempat.

Bahkan buat sesama suku bangsa saja komunikasi kerap tersendat. Orang Jawa Solo misalnya, akan bilang “mari” untuk “sembuh” dari penyakit fisik. Orang Jawa Timur menggunakan “mari” untuk “rampung” atau “selesai”. Sembuh dari sakit fisik menurut mereka adalah “waras”. Tapi menurut orang Solo, “waras” berarti sembuh dari penyakit jiwa.

***

Dalam persahabatan, saya baru merasa dia itu agak lain sedikit dibanding sahabat-sahabat saya di Tanah Air, ketika untuk saling berkunjung saja ternyata kami memerlukan paspor. Ke sahabat-sahabat di Indonesia, saya tak memerlukan itu bahkan kadang tak problem kalau ketinggalan KTP.

Saya juga mengalami perasaan aneh sebagai berikut. Setiap ada kabar baik tentang Malaysia, saya sering inget kalau punya sahabat di sana.

Tengah bulan lalu saya dengar University Utara Malaysia bekerja sama dengan lima universitas di Indonesia. Keenam lembaga ini juga kerja bareng Exelcomindo di bidang telekomunikasi dan aerowisata di bidang perhotelan. Mahasiswa yang sedang belajar dapat melakukan prakteknya di kedua industri itu. Ketika itu saya ingat punya sahabat di Malaysia.

Tahun lalu saya dengar juga dari temen, orang Indonesia yang tinggal di sini tetapi lahir di Malaysia karena waktu itu bapaknya sedang bertugas mengajar matematika di sana, bahwa Malaysia terang-terangan mengaku berguru banyak pada orang Indonesia. Termasuk dalam cara membuat jalan tol. Ketika itu saya juga ingat punya sahabat di Malaysia.

Ketika Malaysia waktu zaman Mahatir Mohammad bikin cikal bakal tiga bangunan, Menara Petronas, Bandara KL, dan Sirkuit Sepang, saya ingat bahwa punya sahabat di Malaysia. Lebih-lebih inget ketika bangunan-bangunan yang belum populer itu udah rampung. Tambah inget lagi ketika pihak kehumasan Malaysia berusaha keras agar bintang Hollywood Sean Connery dan Catherine Zeta-Jones shooting film Entrapment di situ sehingga bangunan-bangunan tadi dikenal dunia.

***

Tapi biasanya saya lupa bahwa saya punya sahabat di Malaysia, kalau terdengar berita nggak enak tentang negeri itu. Terutama nggak enak dalam hubungannya dengan Indonesia.

Waktu mengemuka kasus rebutan kawasan dengan Indonesia, misalnya Sipadan, Ligitan dan Ambalat, saya lupa bahwa saya punya sahabat di sana. Begitu juga waktu menyeruak kabar-kabar soal penyiksaan TKI di Malaysia, penganiayaan insan perkaratean dari Indonesia, dan lain-lain. Termasuk ketika ada ribut-ribut kabar bahwa pencurian kayu terutama di Kalimantan dan Papua disokong oleh cukong-cukong Malaysia.

Dan ini, yang terakhir, Rasa Sayange dijadikan lagu latar kampanye pariwisata Malaysia.

Mungkin karena saya kesel tapi nggak tahu musti bilang apa, seperti kekeselan Jhonavid, pemain drum White Shoes and The Couples Company ketika diwawancara buat tulisan ini. Mungkin karena dalam kasus Rasa Sayange ini saya terlalu sibuk mikir keharusan kita buat lebih hati-hati di masa depan, seperti sikap komponis Addie MS dan Miss Indonesia 2006 Nadine Chandrawinata ketika diwawancara untuk maksud serupa.

Kesel dan pikiran ke depan bikin orang lupa yang lain-lain saat ini. Makanya saya lupa punya sahabat di Malaysia.

Atau mungkin karena sahabat saya cuma satu di sana. Tapi para pejabat mustahil cuma punya satu sahabat di sana. Mereka sebagian naik melalui jenjang karir, terutama yang di Departemen Luar Negeri. Sepanjang jenjang kenaikan jabatannya itu mereka pasti banyak punya kenalan dan sahabat di Malaysia.

Apakah cekcok ini tidak mungkin dirampungkan dengan dan dalam situasi persahabatan?

*Sujiwo Tejo, Dalang Edan – http://www.sujiwotejo.com

*Dapatkan SMS berlangganan dari Dalang Edan Sujiwo Tejo tentang cara berbagai hal dipandang dari dunia pewayangan. Caranya, ketik reg pde1, kirim ke 9388, Tarif Rp 1.000/SMS. Apabila Anda ingin berhenti, ketik unreg pde1, kirim ke 9388

Saturday, October 20, 2007

Article No.58 in Sindo Daily (about Short Message Service (SMS) at Ied Mubarak)

LEBARAN TIBA, MARHABAN ya SMS yang ANEH-ANEH

Ubud termasuk yang menarik perhatian saya. Banyak studio-studio lukisan mini di sana. Seperti di Pasar Seni Ancol. Pelukisnya macam-macam. Dari berbagai daerah di Indonesia. Nongkrong di kios-kios itu, sambil ngobrol suka-duka ama pelukisnya, jadi keasyikan tersendiri.

Alamnya juga elok. Sungai-sungai. Sesawahan dan burung bangau. Jalan-jalan pagi di antara semua itu, dan langit Bali, termasuk keasyikan juga. Saya kerap memergoki orang-orang Jakarta jalan pagi sambil senam di tengah suasana itu. Termasuk sutradara Mas Slamet Rahardjo.

Sayangnya saya bawa handphone. Mestinya saya tidak usah bawa alat komunikasi itu apalagi pas Lebaran. Tapi akhirnya saya mesti bawa handphone, untuk komunikasi job-job paska Lebaran. Ya betul terjadilah: Suasana Ubud di kepala dan batin saya agak diganggu oleh SMS-SMS Lebaran.

Mestinya saya tidak usah buka SMS-SMS itu. Tapi siapa tahu soal koordinasi job paska Lebaran. Ya saya buka. Hasilnya itu tadi: saya terganggu oleh SMS-SMS Lebaran yang, pertama, gak jelas siapa pengirimnya. Kedua, ndak jelas ditujukan pada siapa. Ketiga, isinya klise.

***

Soal pertama, gak jelas siapa pengirim SMS Lebaran. Ini sudah pernah saya singgung waktu Idul Fitri tahun lalu. Rupanya orang-orang itu menyangkal ke-bhineka-tunggal-ika-an kita.

Mereka anggap semua pemilik handphone punya memori nomor-nomor telepon orang di phonebook. Mereka sangka, tanpa menulis nama pada SMS Lebaran, nama itu akan dengan sendirinya muncul di layar monitor.

Ini keliru setidaknya untuk dua hal. Pertama, orang-orang itu mengira handphone orang tidak bisa rusak memorinya. Atau menganggap handphone orang tidak bisa kecopetan maupun hilang sehingga memori termasuk nama-nama di phonebook lenyap pula.

Bhineka Tunggal Ika kan tidak harus cuma berarti Indonesia punya banyak suku dan agama. Semboyan itu bisa juga berarti, orang Indonesia terdiri dari penduduk yang handphone-nya gak pernah ilang tapi juga penduduk yang sering kehilangan atau kerusakan hp.

Kekeliruan kedua, mereka menduga semua orang hp-nya canggih. Memorinya besar. Suka gonta-ganti hp sehingga memori makin besar-makin besar terus, termasuk buat menyimpan nama-nama kontak.

Saya hidup tak minimalis banget sih. Misalnya piring di rumah tidak pas banget ma kebutuhan buat makan keluarga. Ada lebihnya sedikit. Dan saya tidak termasuk yang beraliran haram memajang piring-piring sebagai hiasan di lemari, di luar kebutuhan pokok piring buat makan.

Tapi hp saya nyaris tidak pernah ganti. Bahkan kalau rusak pun, sepanjang masih bisa diperbaiki ya saya perbaiki. Pangkon baterei rusak misalnya, ya udah, baterei saya ikat di hp dengan karet gelang.

Saya juga merasa belum butuh-butuh banget hp yang bisa motret maupun hp yang bisa kirim gambar dan email. Saya sekarang cuma sedang butuh hp yang bisa SMS dan nelepon. Jadi buat apa saya gonta-ganti hp?

Singkat kata, hp saya kuno. Memori terbatas. Dan orang-orang seperti saya tidak sedikit ternyata. Pramono Anung, Sekjen PDI-P, hp-nya juga cuma satu dan kuno. Masih banyak yang lain. Dan kami tidak merasa melanggar hukum dengan cuma punya satu hp dan kuno.

Kami cuma minta pengertian dari berbagai pihak, bahwa Bhineka Tunggal Ika juga berarti “orang yang cuma punya satu hp dan kuno boleh jugalah dianggap sebagai bagian yang sah dari penduduk NKRI”. Maka kalau nulis SMS Lebaran, mbok ya pakai nama pengirim napa sih?

***

Sekelumit dari topik itu sudah saya bahas pada Idul Fitri tahun lalu. Kini soal nama yang dikirimi SMS. Karena rata-rata nggak pake nama yang dikirimi, permintaan maaf Lebaran jadinya tidak personal lagi.

Pada zaman kartu Lebaran, setidaknya nama yang dikirimi itu ada pada amplop, meski isi kartunya juga umum. Dan meski nama pada amplop itu tulisan mesin dan ditulis oleh sekretaris maupun orang lain, setidaknya di kartu ada tanda tangan pengirim. Ada sesuatu yang personal.

Mengherankan buat saya, sementara di berbagai bidang orang berlomba-lomba buat punya sentuhan personal, sentuhan pribadi, ternyata pada ungkapan permintaan maaf Lebaran yang mestinya personal, justru malah jadi impersonal.

Di Australia misalnya, ada dokter gigi yang tidak pake papan iklan praktek. Semua pasiennya adalah pelanggan. Semua pasiennya adalah orang-orang yang merasa akan diperlakukan khusus dan hanya mereka yang tahu bahwa tempat itu adalah tempat praktek gigi. Setiap pasien yang dateng akan disambut dengan minuman kesukaan mereka, yang sudah diketahui oleh resepsionis. Dan seterusnya.

Beberapa spa di Puncak tak cuma terima orang dateng. Sebagian dari mereka punya catatan “medis” setiap tamu. Mereka rajin menanyakan perkembangan kesehatan tamu via surat, sambil mengirimkan catatan “medis” mereka.

Salah satu manajemen SPBU di Bandung malah memasang stiker manajemen “Tegur karyawan kami, jika tidak mengawali sapaan sebelum mengisi bahan bakar.”

Tapi cuma segelintir banget lho, yang menyertakan nama tujuan pada SMS Lebaran. Di antaranya Mas Yudi Latif, Kepala Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Jakarta.

***

Yang terakhir soal isi SMS Lebaran, yang dipuitis-puitiskan. Mungkin pertanyaan saya, bukankah puisi itu sesungguhnya ungkapan jujur dari seseorang yang tak harus berbunga-bunga?

*Sujiwo Tejo, Dalang Edan – http://www.sujiwotejo.com

*Dapatkan SMS berlangganan dari Dalang Edan Sujiwo Tejo tentang cara berbagai hal dipandang dari dunia pewayangan. Caranya, ketik reg pde1, kirim ke 9388, Tarif Rp 1.000/SMS. Apabila Anda ingin berhenti, ketik unreg pde1, kirim ke 9388

Article No.57 in Sindo Daily (about Mudik)

MUDIK dan TAMAN SWRIWEDARI

Tiga hari lalu di Jalan Gatot Subroto, Jakarta. Saya melihat setidaknya dua pengendara sepeda motor membawa bungkusan kardus semacam oleh-oleh. Ia bonceng perempuan yang pasti istrinya. Di tengah-tengah mereka bayi usia sekitar 2-3 bulan dalam selimut.

Kelihatannya mereka bagian dari para pemudik Lebaran bersepeda motor. Bagian yang jumlahnya mencapai sekitar 2,4 juta orang, meningkat 30-an persen dari pemudik bersepeda motor tahun lalu.

Jumlah mereka hampir seperempat dari total pemudik via darat yakni 9,9 juta orang. Dan nyaris seperlima dari total pemudik termasuk yang menggunakan pesawat terbang, 14,9 juta orang.

Di antara berbagai moda angkutan Lebaran, sepeda motor terkesan asyik. Inspiratif buat menyuntik semangat melanjutkan hidup.

Setelah pemandangan yang menggugah di Gatot Subroto pagi itu, saya ketemu artis Desy Ratnasari dan presenter Adi Nugroho. “Kenapa sih orang pada mudik pas Lebaran?” tanya mereka.

Saya tahu pertanyaan itu lebih buat ramah-tamah saja. Tak usah dijawab. Toh semua orang pengin mudik. Desy sendiri segera mudik ke kampungnya di Sukabumi.

Hanya petualang sejati yang ogah mudik. Hanya petualang sejati yang punya prinsip “aku akan pergi kemana saja asal tidak kembali pulang.” Hanya petualang sejati jenis makhluk yang sesungguhnya cuma ada di komik-komik. Tak pernah ada di muka bumi yang kita pijak.

Orang-orang yang telah merantau secara fisik maupun pikiran, tetap rindu kampung halaman. Saya kerap membaca sajak-sajak Chairil Anwar maupun Rendra tentang kangennya pada kenangan saat bocah di udik.

Cina-cina perantauan juga banyak yang tak mudik secara fisik. Tapi mereka memudikkan sebagian harta-bendanya ke Cina Daratan. Orang-orang Yahudi yang senantiasa terusir dan eksodus, mirip dalam lagu The Exodus Song tahun 60-an oleh Pat Boone dan Ernest Gold, tidak pulang secara fisik. Tapi mereka membentuk perkumpulan-perkumpulan di tiap negara untuk menciptakan rasa pulang ke tanah air.

Tapi saya kira keramahan dari Desy dan Adi Nugroho tetap perlu saya respons. Iya ya, kenapa orang mesti mudik pas Lebaran? Kok tidak mudik kapan saja. Agar antrean di loket kereta api tidak panjang. Agar jalanan tidak macet. Dan sebagainya.

***

Mungkin karena setiap orang perlu setor rasa sungguh-sungguh kepada orang yang dicintai. Mudik di luar Lebaran gampang. Kereta kosong. Tiket pesawat murah. Jalanan relatif lengang. Mudik saat H-7 sampai H-1 menjelang Lebaran lain cerita.

Saya suka kagum melihat pernikahan-pernikahan agung zaman ini. Yang tempatnya di hotel bintang lima. Hiasan taman-tamanan di seputar pelaminan bisa sampai milyaran rupiah karena sebagian bunganya impor. Mungkin segala susah-payah dan biaya itu dimaksud untuk menyatakan kesungguhan cinta.

Saya cuma lebih kagum pada perkawinan dalam wayang maupun legenda. Duit masih mungkin dicari. Untuk sewa gedung dan taman bunga bikinan. Tapi Raja Arjuna Sasrabahu pada zaman sebelum Ramayana, menitahkan pembuatan Taman Sriwedari (kini jadi nama tempat di Solo) dalam tempo semalam buat isterinya Dewi Citrawati.

Arjuna dalam Mahabarata mesti mencari 40 kerbau khusus yang tak ada di dunia, yang disebut kerbau “pancal pamor”. Penengah Pandawa ini pun mesti mengumpulkan 120 orang yang semuanya kembar. Itulah syarat agar dia bisa nikahi adik Kresna, Subadra.

Dalam legenda, Bandung Bondowoso mesti menciptakan candi seribu patung dalam tempo semalam kalau mau merebut hati Roro Jonggrang.

Sekitar 5 tahun lalu pernah muncul diskusi kecil. Kenapa tidak ada ijtihad atau penyesuaian ajaran agama terhadap konteks zaman menyangkut orang naik haji. Kenapa hajian tidak dibikin setahun dua atau tiga kali. Sehingga orang tidak membludak. Sehingga infrastruktur termasuk hotel dan sanitasi yang dibangun di Mekkah tidak mubazir ketika kosong di luar musim haji.

Diskusi itu makin lama makin surut. Kini nyaris tak kedengaran lagi. Mungkin karena itu tadi, setiap orang perlu setor rasa sungguh-sungguh pada sesuatu yang ia cintai, entah orangtua, entah keluarga, entah bau tanah dan rumpun bambu di kampung halaman.

Sungguh-sungguh lantaran telah mereka lewati antrean berjam-jam di loket-loket angkutan. Sungguh-sungguh lantaran telah mereka atasi harga tiket yang melonjak atas ulah calo. Sungguh-sungguh lantaran naik sepeda motor pun jadi. Bahkan dengan bayi 2-3 bulanan, di kancah sengatan surya, angin dan debu-debu.

***

Yang mengagetkan justru pendapat presenter Hilbram Dunar. Menurutnya dua tahun belakangan ini Jakarta masih tetap ramai pas Lebaran. “Dulu kan Jakarta kalau Lebaran sepinya minta ampun,” katanya. “Apa karena orang Jakarta sudah males mudik. Atau warga Jakarta makin lama makin banyak, sehingga nggak kerasa kalau ada yang mudik?”

Saya lebih condong pada perkiraan Hilbram yang kedua. Ya, orang masih belum males mudik. Mereka seakan tahu, dengan mudik, maka setidaknya 10 trilyun rupiah uang di Jakarta beredar ke pelosok-pelosok.

Mungkin kalau untuk waktu-waktu mendatang dibalik bagus juga ya? Pemudik tidak belanja di kota dan dibawa ke kampung. Tapi belanja di kampung ya makanan, kerajinan atau apa saja, buat dibawa sebagai oleh-oleh atau barang jualan di kota. Desa dengan begitu terus berproduksi. Bukankah tiap daerah punya makanan dan kerajinan yang khas?

*Sujiwo Tejo, Dalang Edan – http://www.sujiwotejo.com

*Dapatkan SMS berlangganan dari Dalang Edan Sujiwo Tejo tentang cara berbagai hal dipandang dari dunia pewayangan. Caranya, ketik reg pde1, kirim ke 9388, Tarif Rp 1.000/SMS. Apabila Anda ingin berhenti, ketik unreg pde1, kirim ke 9388

Saturday, October 06, 2007

Article No.56 in Sindo Daily (about Jealousy)

CEMBURU

Problem pacaran, yang kelak akan tetap memerkara dalam hubungan suami isteri ya kecemburuan. Sebagian kalangan menduga, konflik artis Syahrul Gunawan dan manajemennya disulut oleh bara kecemburuan Indri. Kabarnya Indri, istri Syahrul, cemburu ke artis Intan Nuraini. Dia mantan kekasih Syahrul. Tapi kini tunggal manajemen. Jadi Indri gerah karena menduga Syahrul-Intan sering barengan dan adem dalam payung manajemen yang sama.

Benar atau tidaknya kabar itu mana kita tahu. Yang jelas Syahrul bilang, ya cemburu itu wajarlah. Bahkan, kata Syahrul…Ah, yuk kita ikut-ikutan Intan manggil Syahrul dengan Alul yuk... Bahkan, kata Alul, dengan masih ada kecemburuan, berarti masih ada cinta.

Saya setuju Alul.

***

Saya sering mikir, tak ada yang lebih merepotkan di dunia ini selain manusia. Mobil tanpa AC merepotkan pas ujan. Jendela ditutup kaca depan ngembun. Jendela dibuka masuk tempias ujan. Kadal dan kecoak juga merepotkan. Tapi manusia lebih resek dibanding semua itu.

Salah satu unsur saja. Dikasih kemiskinan, pengin kekayaan. Dikasih makmur pengin papa. Saya sering barengan misalnya dengan konglomerat dan pemusik Soegeng Sarjadi. Mobilnya bagus-bagus. Antara lain Rolls-Royce. Tapi naik mobilnya pakai sarung. Bajunya bagus-bagus, tapi makannya lebih suka tempe, mendoan, rempeyek yang rasa kencurnya masih kental dan sejenisnya.

Kecemburuan juga kayak gitu. Coba dalam sekian kurun waktu sampeyan gak dicemburui oleh orang yang mencintai sampeyan, pusing lho. Hidup jadi hambar. Di lain pihak, coba saban hari orang yang sama itu mencemburui sampeyan, wah puyeng juga. Hidup jadi ribet.

***

Alul, saya setuju sampeyan. Cemburu itu wajar. Dan saya berpendapat, semua yang terciptakan mengisi jagad ini pasti ada gunanya. Perasaan cemburu yang terciptakan di semesta ini pasti ada manfaatnya juga. Babi, cacing, lumut, guntur, kerak, orang gila dan lain-lain yang tercipta di mayapada ini pasti ada gunanya.

Soalnya apakah semua itu muncul pada saat dan tempat yang pas. Cacing ada gunanya buat penggemburan tanah. Baru problem kalau ia muncul di telinga manusia. Lumut juga gak sedap kalau tumbuh di kelopak mata orang. Atau jamur yang jadi aneh kalau timbul pada kemarau.

Cemburu jadi gak pas waktunya, kalau kita dan yang dicemburui patut diduga sedang punya konsentrasi lain seperti soal kerjaan. Apalagi kalau kerjaan itu sangat keras, sehingga patut diduga tak menyisakan waktu pada kita buat menjalin asmara baru.

Cemburu jadi gak pas tempatnya, kalau kita dan yang dicemburui jelas-jelas sedang berada di pasemoan atau ruang publik. Di tempat-tempat umum kayak gitu, keakraban dengan seseorang dan beberapa orang tak pada tempatnya serta-merta disyak-wasangkai sebagai keakraban asmara.

***

Yang merepotkan, bukan soal tempat dan waktu cemburu. Yang bikin pusing, ternyata sumber kecemburuan itu bisa macam-macam. Tak cuma orang lain perempuan atau orang lain laki-laki. Ayah, ibu, saudara, bisa menjadi pemicu kecemburuan isteri atau suami.

Sering saya melihat pasangan muda yang pasangannya tidak cemburu pada laki-laki atau perempuan lain. Ia justru cemburu pada mertuanya. Karena isteri atau suaminya lebih tampak hepi dan sibuk memperhatikan orangtuanya.

Masih untung itu orang. Ada juga kecemburuan pada bukan orang. Saya yakin Anda setuju bahwa kuda, perkutut, komputer dan lain-lain itu bukan orang. Tapi tak jarang isteri yang cemburu lantaran suaminya lebih sering mengelus burung perkutut dan kuta ketimbang mengelus-elus dirinya. Lebih sering mengelus saksofon dan alat musik lainnya ketimbang membuai isterinya. Tak sedikit para suami cemburu pada komputer karena siang-malam isterinya asyik main itu.

***

Cinta itu segalanya. Tapi yang paling repot kalau kita menyangka bahwa segala hal juga bisa dikerjakan dan dibicarakan dengan orang yang kita cintai. “Ngobrol aja kamu ama si A, B, C dan siapa lagi gitu. Kamu udah nggak butuh aku. Kamu lebih butuh mereka,” biasanya gitu inti pertengkaran cemburu.

Kadang lupa disadari bahwa obrolan dengan si A, B, C dan khususnya teman-teman kerja itu adalah obrolan dalam lingkup teknis dan profesi. Wakil Presiden Pak Hatta ngobrol soal ekonomi negara ya dengan staf-stafnya. Bahkan isterinya sendiri tak dikasih tahu kalau esok paginya akan ada pemotongan nilai rupiah.

Ada topik yang tak bisa dibicarakan dengan orang yang kita cintai karena mungkin perbedaan profesi dan tingkat pendidikan formal. Bahkan ada pula rahasia, termasuk rahasia negara, yang mungkin wajar kalau tak kita bongkar di depan orang yang kita cintai.

Tapi kita tetap memerlukan orang yang kita cintai untuk ngomongin yang lebih dalam dari semua topik dan rahasia itu termasuk rahasia profesi dan negara, antara lain rasa takut, rasa tak percaya diri, kecemasan…

***

Saya setuju Alul. Cemburu itu wajar. Selanjutnya kita tinggal memilih, akan bekerja sama dengan keluarga atau terpisah sama sekali dalam menjalankan profesi. Contoh yang barengan keluarga juga ada. Kelompok musik Slank misalnya dikelola oleh Bunda Iffet, ibu dari pemain drum Bimbim.

“Ada negatifnya, tapi tetap saja baik kalau keluarga itu dilibatkan dalam pekerjaan,” kata Helmy Yahya, presenter yang kerap pula mengelola artis. Tapi, presenter Ersa Mayori menandaskan, kalau seseorang memutuskan orang lain yang mengelola, keluarga tidak bisa ikut campur. Masukan dari keluarga tetap penting. Tapi yang menyampaikan ke manajer tetaplah yang bersangkutan, jangan keluarga.

*Sujiwo Tejo, Dalang Edan – http://www.sujiwotejo.com

*Dapatkan SMS berlangganan dari Dalang Edan Sujiwo Tejo tentang cara berbagai hal dipandang dari dunia pewayangan. Caranya, ketik reg pde1, kirim ke 9388, Tarif Rp 1.000/SMS. Apabila Anda ingin berhenti, ketik unreg pde1, kirim ke 9388

*telah diterbitkan di Harian Sindo, 5 Oktober 2007

Frankly Speaking in Area Magazine ed.97/October '07 (about Halloween)

HALO RASA TAKUT, HALO "HALLOWEEN"

Kayaknya ada apa ndak Halloween atau pesta hantu lainnya lagi, setiap orang perlu rasa takut deh. Jadi selain perlu sembilan bahan kebutuhan pokok alias sembako, perlu cita-cita, perlu pulsa, orang hidup juga perlu deg-degan.

Punya duit banyak? Terbang jauh ke Afrika. Menyelamlah dengan ikan-ikan hiu bersama wisatawan dunia. Tanpa duit melimpah perjumpaan dengan ketakutan dapat dilakukan pula. Gratis pun bahkan dapat.

Di komedi putar pasar malam keliling di kampung-kampung, biasanya juga ada bilik hantunya. Ya nggak setipe hantu Goblin dalam Halloween. Tapi wujudnya aneh. Orang sudah bisa takut melihat wajah-wajah yang mengerikan itu tanpa duit sebanyak buat gathering dengan para hiu.

Tak punya uang sama sekali, tinggal nongkrong di beberapa ruas jalan umum. Terutama malem Minggu. Banyaklah di situ balapan sepeda motor yang bikin merinding.

Soal yang mau dibikin ngeri itu obyeknya apa dan warnanya bagaimana, tinggal soal kehumasan. Hitam dan oranye yang dianggap sebagai warna tradisional Halloween, dengan kehumasan toh sekarang kadang jadi ungu, hijau atau merah.

Kok persis kasus kolesterol ya?

Sebagai “hantu”, beberapa dokter bilang kolesterol jauh lebih mengerikan ketimbang nikotin. Nikotin cuma bikin “pipa” darah ndak luwes dan ndak lentur. Jadi riskan kalau kegencet atau ketekuk. Kolesterol? Wah ini bikin “pipa” darah menyempit. Lama-lama tersumbat.

Tapi kehumasan telah membuatnya lain. Gencarnya kampanye anti-rokok dan stiker peringatan terhadap perokok, telah membuat “hantu” nikotin tampil jauh lebih mengerikan ketimbang “hantu” kolesterol.

Mungkin orang sebenarnya sudah tahu semua soal itu. Mereka cuma nggak mau capek aja kalau harus masang stiker anti-kolesterol. Bayangkan tiap udang, kambing, dan lain-lain termasuk pohon kelapa harus ditempel itu. Rumah-rumah makan Padang juga (sembari nempel “awas kencing manis” buat warung-warung Jawa).

Sekarang orang-orangan sawah buat pengusir burung bagi saya tidak menakutkan. Masih lebih menakutkan jaelangkung. Lama-lama, kalau pesta Halloween yang antara lain berakar dari tradisi panen di Irlandia kian merebak di Nusantara, orang-orangan sawah bisa mengerikan.

Untungnya yang lebih kerap dipakai sebagai simbol Halloween sekarang labu. Bukan orang-orangan sawah. Mungkin lama-lama labu akan tampil lebih horor ketimbang batok kelapa yang kerap jadi kepala jaelangkung.

Saya sih lebih merindukan kehumasan atau kampanye yang begini, agak klise, tapi tetap aktual: Yang perlu kita takuti bukan hantu Halloween atau hantu apa pun. Yang perlu kita takuti adalah ketakutan itu sendiri.

Makanya topeng Halloween mestinya bukan topeng yang bikin orang takut. Tapi topeng yang ekspresinya ketakutan sendiri. Harapannya, yang nonton topeng itu takut pada ketakutan.

Spirit ular bisa dicontoh. Menurut banyak pawang ular, binatang itu amat sibuk dengan ketakutannya pada manusia. Mereka menyerang justru pada puncak ketakutan. Tapi akting dan mimiknya kok menakutkan ya?

Mungkin para pembuat topeng bisa bikin modifikasi sehingga ekspresi wajah ular yang dikreasikan lebih sesuai dengan isi hati ular itu sendiri.

Ya. Kita perlu takut pada ketakutan. Artinya kita perlu berani. Masa depan kian butuh keberanian. Karena kepandaian, kekayaan, kekuasaan, semuanya mati kutu berhadapan dengan keberanian.

*Sujiwo Tejo, Dalang Edan - www.sujiwotejo.com

*telah diterbitkan di area Magazine, edisi 97, Oktober 2007

Friday, September 28, 2007

Wayangan buat Gading-Reni Kita

Yang paling tahu soal hubungan Gading Marten dan Reni Sutiyoso pastilah cuma keduanya. Kalau gosip ya macem-macem. Ada yang bilang putra aktor Roy Marten itu pindah agama. Ayahnya yang asal Salatiga kabarnya mengeluh karena Gading meninggalkannya.

Tapi Gading membantah. Masa’, katanya, tega-teganya ia ngacir dari agama orangtuanya. Cuma, gosip lain menyebut, Gading terperangah saat diberi tahu bahwa keluhan Roy itu diceritakan oleh sumber terpercaya dari lingkungan keluarga lho.

Pekan lalu saya mendengar selentingan dari infotainment bahwa pasangan putra aktor dan putri seorang gubernur itu telah menikah di Bali. Benarkah? Ya, itu tadi, kita tak akan pernah tahu pastinya. Namanya juga gosip. Desas-desus. Kabar burung.

***

Konflik yang timbul dari kisah cinta sudah lumrah. Telah berabad-abad pula kejadiannya. Termasuk dampaknya terhadap orangtua kedua belah pihak. Bagi saya, yang menarik bukan konfliknya. Romantismenya itulah yang lebih asyik buat disimak.

Dengarlah pengakuan Gading soal kenapa ia tertarik Reni (ini kalau cinta terpaksa harus dijelas-jelaskan alasannya meski sebenarnya mustahil menjelaskan alasan cinta). Karena, katanya, jiwa sosial Reni. Waktu banjir Jakarta, Reni cepat turun tangan. Ia tak bawa embel-embel nama orangtua, orang nomor satu di kawasan banjir itu.

Sebaliknya, Reni tetap dekat dengan Gading meski gosip menyebut bahwa kekasihnya itu playboy. Isu yang agak masuk akal kalau dicocok-cocokkan dengan kelakuan bapaknya, Roy Marten, setidaknya dalam versi film.

Roy hampir selalu jadi playboy di gedung bioskop, termasuk pacaran dengan dosennya (diperankan Rae Sita) dalam film Cintaku di Kampus Biru, film dengan setting kampus UGM atas dasar novel dosen UGM pula, Ashadi Siregar.

Saya masih inget salah satu adegannya. Ibu dosen telentang di lantai ruang kuliah. Rambutnya menjurai ke lantai. Di atas wajahnya ada wajah mahasiswa playboy itu. Pemerannya ayah Gading.

Mengenang film itu. Mendengar kabar burung tentang Gading. Tapi Reni tetap dekat dengan Gading. Sungguh kisah cinta yang romantis dan mahal.

***

Selain soal romantisme, sebagai dalang saya juga tertarik pada betapa prediksi-prediksi kisah pewayangan kerap benar-benar muncul dalam kenyataan. Wayang menyebut, setiap manusia pasti akan mengalami 12 kali peperangan termasuk perang antara anak dan orangtuanya. Kayaknya Pak Sutiyoso-Reni sedang dalam tahap itu deh.

Baratayuda, yaitu perang antar-saudara kandung, perang yang sangat dikenal, sesungguhnya cuma perang ke-4 atau salah satu fase perang yang telah atau akan dialami setiap insan. Selain perang di Tegal Kuru Setra itu ada juga yang disebut perang Gojali (orangtua) Suto (anak).

Kresna dalam Mahabarata pernah berperang dengan anaknya sendiri, Bomanarakasura, bahkan sampai membunuhnya untuk alasan kenegaraan. Wisrawa dalam Ramayana, pernah berperang dengan anaknya sendiri, Danapati, karena rebutan perempuan yaitu Sukesi yang kemudian beranak Rahwana.

Kini, di luar wayang, Sutiyoso sedang “berperang” juga dengan anaknya sendiri karena perbedaan agama Gading-Reni. Ibu-ibu jangan merasa bangga maupun menertawakan, karena cepat atau lambat, sebagai orangtua, Ibu-ibu juga akan berantem dengan anak sendiri dari perkara pilihan profesi sampai perkara jodoh.

Aduh, tapi kebayang deh perang dengan anak sendiri, dengan darah daging sendiri, dengan orang yang pernah kita lihat gumoh dan popoknya, orang yang kita cintai tak dengan cara pacaran. Pasti banyak kikuknya. Pasti banyak tangis diem-diem-nya.

Sutiyoso boleh punya wajah jenderal perang, seperti jenderal Ryamizard Ryacudu, Hendropriyono, Bibit Waluyo dan Ari Soedewo. Kalangan swasta yang merindukan ketegasan dan “tangan besi” kepemimpinan nasional, banyak yang menginginkannya jadi presiden mendatang.

Tapi, aduh...ini berhadapan dengan anak sendiri. Anak perempuan lagi. Tak sedikit laki-laki yang mati kutu pada anak perempuannya sendiri. Rudy Wowor, guru tari yang keras itu, juga mati kutu pada anak perempuannya, aktris Madina.

Adegan perang Kresna-Boma dan Wisrawa-Danapati juga tak diiringi dengan repertoar gamelan perang biasa. Repertoarnya kikuk, sedih. Lantunan pesindennya juga menyayat-nyayat dan gloomy.

***

Hal lain yang menarik dalam kasus Gading-Reni, saya cuma dengar Sutiyoso tak setuju hubungan anaknya dengan Gading karena perbedaan agama. Saya tak pernah dengar Sutiyoso tak setuju lantaran ayah Gading mantan narapidana.

Bila yang terakhir ini yang terjadi, gawat. Itu namanya hukuman moral. Bisa gawat positif, bisa gawat negatif. Negatif, bagi narapidana yang betul-betul sudah kapok selepas usai masa hukuman fisiknya. Hukuman moral dari masyarakat akan membuatnya tak bergairah membikin lembaran baru hidup yang lebih baik.

Positif jika bui tak membuatnya jera. Aktris Happy Salma melihat hukuman moral, yang bisa dijatuhkan pada seseorang sampai ke keluarga-keluarganya, bisa efektif.

Bagi penyanyi Nugie, secara umum sekarang ini penjara fisik sudah tidak efektif untuk membuat orang sadar. Selain hukum moral, dia mengusulkan hukum adat. “Kita bisa bikin paguyuban-paguyuban suku yang berfungsi menerapkan nilai-nilai adat. Tapi pengontrolnya mesti ketat ya,” kata Nugie.

Dan kita tinggal mengikuti episode lanjutan kisah cinta Reni-Gading.

*Sujiwo Tejo, Dalang Edan – http://www.sujiwotejo.com

*Dapatkan SMS berlangganan dari Dalang Edan Sujiwo Tejo tentang cara berbagai hal dipandang dari dunia pewayangan. Caranya, ketik reg pde1, kirim ke 9388, Tarif Rp 1.000/SMS. Apabila Anda ingin berhenti, ketik unreg pde1, kirim ke 9388

*Artikel ini telah diterbitkan di Harian Seputar Indonesia edisi 28 September 2007

Tuesday, September 25, 2007

“Area” dan Arena Mendalang Singkat

Wah, Area ulang tahun ya? Ini yang ke-4. Asyik juga. Dan saya juga makasih sebagai mantan wartawan telah disuruh nulis rutin di media massa yang kini sedang bertanggap-warsa ini.

Bukan apa-apa. Bikin tulisan, ya kolom, esai atau apa aja, itu laksana candu. Seperti lagu Hotel California-nya The Eagles. Sekali Engkau masuk ke dalamnya, impossible Kau akan pernah mampu total meninggalkannya.

Sempat saya guncang terhadap nasib media cetak ketika pertelevisian awal-awal marak di Indonesia seperti di Amerika tahun 50-an. Di sini kejadiannya tahun 90-an.

Saat itu stasiun televisi menjamur. Penonton media audio-visual nambah cepat. Tapi pangsa media cetak tak beranjak dari 10 jutaan orang pembaca. Ini dari 200 jutaan lebih warga Arsipelago lho?

Orang bobo ditemenin televisi. Tak koran atau majalah. Kalau demi hemat listrik televisi itu kita matiin, orangnya kebangun. “Jangan dimatiin. Sepi. Takut,” begitu biasanya mereka menjawab sambil merem.

Belum portal-portal berita di internet. Kepemilikan handphone juga tumbuh pesat. Kini kabarnya sudah 50 juta orang lebih punya handphone. Mereka nyetir mobil bahkan sepeda motor sambil ber-“telefaun”-ria. Berita-berita bisa diakses via telepon genggam juga.

Eh, dalam keadaan yang sepertinya tak ada masa depan buat koran dan majalah itu, ternyata masih ada juga orang yang nekad dan mau-maunya bikin media cetak. Termasuk Reza Puspo, Aksara Sophiaan, Wulan Natasha dan lain-lain yang membidani lahirnya Area.

Mungkin mereka belajar dari kasus di Amerika dan Inggris. Televisi boleh marak. Orang tidur di-nina-bobo-kan televisi. Tapi buang air besar paling enak sambil baca kabar cetakan. Oke, tapi berapa orang di Nusantara ini punya kebiasaan iqro’ di toilet?

Atau perjalanan? Orang-orang tidak bisa membawa televisi kala melancong. Di kapal atau pesawat atau bus, adanya televisi bersama. Channel-nya tidak bisa kita atur semau kita.

Makanya media cetak berlomba-lomba memperkecil tampilan cetakannya. Ini agar kertasnya, kalau dibolak-balik, tidak mengganggu teman sebelah di perjalanan. Tapi kok saya lebih sering lihat mereka baca komik atau novel ketimbang koran atau majalah?

Ah, yang paling tahu jawabannya pastilah orang-orang pers cetak termasuk para penggagas Area. Saya paling cuma bisa berandai-andai. Termasuk ambil amsal dari bisnis download musik via handphone.

Kenapa misalnya orang masih juga beli CD album musik padahal sudah bisa men-download via telepon genggamnya? Ini terutama di Indonesia. Karena, kata temen-temen di dunia pernadaan, konsumen kita tetep pengin pegang sosok fisik nada-nada itu. Ya keping cakramnya. Ya cover-nya.

Yang sudah pasti, seperti kerap saya saksikan sendiri, pembaca sudah makin nggak sabaran dalam membaca. Pilihan pengisi senggang, televisi dan main handphone, selalu tersedia. Maka mereka baca judul-judul berita atau tulisan aja. Kalaupun harus membaca, ya sepintas-sepintas.

Tak heran kalau redaksi kini makin ketat membatasi panjang tulisan. It’s ok. Don’t worry be sesingkat-singkatnya. Kalau perlu, redaksi pers cetak minta ke wartawan dan kolomnis bikin tulisan dengan cuma satu anak kalimat, kami para penulis siap.

Zaman berubah. Siapa takut. Masa’ kalah ama dalang senior Mas Manteb Sudarsono. Biasa ndalang semalam suntuk, tapi pernah di Eropa cuma dikasih waktu pentas 3 menit, juga go kok. Tenang aja. Pokoknya buueeresss!

*Sujiwo Tejo, Dalang Edan - www.sujiwotejo.com

*telah diterbitkan di rubrik Frankly Speaking - Area free magazine edisi 96, September 2007

Sunday, September 23, 2007

Seputar Gas, Seputar "Which is"

Dalam hidup ini ada beberapa kata untuk satu maksud. Which is orang bisa bilang “Jaka Sembung”. Which is orang bisa bilang “gak on” untuk maksud “nggak nyambung” dalam pembicaraan. Pernah juga untuk maksud yang sama itu dulu orang-orang pakai “nggak ngamper” (diambil dari istilah perlistrikan Ampere).

Sebaliknya ada satu kata untuk beberapa pengertian. Begitu dengar kata “gas”, yang muncul di benak saya ada beberapa bayangan. Kadang jenis mobil macam jip tapi amat kekar. Which is kalau tidak salah bikinan Rusia.

Masa kecil saya di Baluran, Jawa Timur, kerap kali melihat kendaraan Gas itu mondar-mondar dengan gagah. Pengendaranya gagah-gagah juga, yaitu KKO Angkatan Laut which is kini jadi marinir.

Pindah ke Bandung, ketika kuliah, “gas” ternyata bukan cuma kendaraan perang. “Gas” ternyata juga bisa berupa “Grup Apresiasi Sastra”, which is sebuah unit kegiatan mahasiswa di kampus ITB.

Alumnusnya juga sudah banyak. Misalnya, sastrawan Mohamad Ridlo Eisy, Nirwan Dewanto dan Fadjroel Rahman. Arya Gunawan Usis which is kerap menulis rubrik bahasa dan memimpin UNESCO kawasan Asia, juga jebolan GAS-ITB.

Tapi ternyata “gas” tak cuma mobil tempur dan kerumunan penyair. Ada lagi. “Gas”, which is dengan cita rasa penyingkatan tertentu, ternyata adalah kependekan dari “tugas”. Karena itu “Satgas” berkepanjangan “Satuan Tugas”.

Nggak usah diprotes kenapa kok tidak disingkat “Sattu”, which is lebih konsisten dengan mengambil suku kata depannya saja. Ya, inilah cita-rasa penyingkatan militer ketika militer lagi marak-maraknya.

Yang dikejar unsur bunyi garangnya. Tak harus taat asas dengan mengambil suku kata depan semua, tengah semua, atau belakang semua. Pernah dengar Departemen P dan K? Itu cita rasa penyingkatan sipil. Which is lain dengan “Depdikbud”. Badan Koordinasi Survei Pertanahan Nasional, bukan disingkat “Bakosurpenas”. Ini sipil. Tapi jadinya “Bakosurtanal”.

Maka nggak usah diprotes. Sim salabim, dalam riwayat negeri ini which is penuh casting militer ini, terima saja “Gas” adalah singkatan dari “tugas”.

Dan kini kita punya tiga pengertian menyangkut “gas”, yaitu mobil jenis jip which is sangat macho, kelompok penggemar sastra seperti juga Musyawarah Burung, dan tugas.

***

Pada tiga pengertian ”gas” which is telah kita dapat, kini saya tambahi lagi. Yaitu “gas” yang pada titik tertentu lucu, tapi pada suasana lainnya gawat. Inilah pedal gas pada mobil.

Lucu, terutama pada orang yang sedang belajar mengemudi, terutama ibu-ibu, dan terutama kalau kejadiannya di tempat yang aman dan lapang. Kaki kanan mereka suka ketukar-tukar menginjak pedal rem dan pedal gas. Jalannya mobil tersendat-sendat jadi kayak pelawak Srimulat which is Tesi.

Ada lagi “gas” jenis lain. Untuk orang Jawa, which is khususnya Jawa Timur di wilayah “Tapal Kuda”, wilayah perpaduan bahasa Jawa dan Madura, yaitu Pasuruan, Probolinggo, Jember, Situbondo, Bondowoso dan Banyuwangi, “gas” mungkin berarti tanah.

Karena itu mereka menyebut minyak (lengo) tanah dengan “lengo gas” which is alias minyak gas (bedakan dengan lengo klentik alias minyak kelapa).

Salah satu hiburan saya ketika SD adalah melihat pedagang grosir lengo gas menuangkan lengo itu secara eceran. Which is bening banget melihat lengo gas dituangkan dari cidukan drum ke corong jirigen. Baunya enak.

***

Maka, untuk hiburan, imbauan penyelenggara negara which is mereka menyuruh kita pindah dari minyak tanah ke gas, bisa kita tafsir dengan banyak bayangan atas dasar kata “gas”.

Which is penyelenggara negara menginginkan masyarakat lebih sejahtera dengan memiliki mobil segagah “gas” pada masa keemasannya. Which is keinginan itu sungguh mulia, karena memang sudah jadi “gas” alias “tugas” penyelenggara negaralah untuk menyejahterakan warganya.

Kalau rakyat sudah sejahtera, which is perbedaan kaya miskin tidak begitu mencolok, bukankah kita baru bisa benar-benar menerapkan mitos demokrasi karena demokrasi alias klenik modern itu baru bisa jalan pada masyarakat yang perbedaan sosialnya tidak timpang bahkan njomplang?

Imbauan penyelenggara negara untuk pindah ke gas, alias Grup Apresiasi Sastra, juga berarti imbauan agar masyarakat menggladi kemampuannya berbahasa, which is kemampuan itu menunjukkan kemampuan daya nalar pula.

Ini penting agar kalau masyarakat kelak jadi birokrat atau orang parlemen, which is kecanggihan dan ketajaman bahasa amat diperlukan, redaksional perundang-undangan jagi nggak ngombro-ombro dan banyak bolongnya. Beberapa negara industri terutama Inggris, menekankan kemampuan bahasa peserta didiknya bahkan untuk pendidikan militer.

Imbauan penyelenggara negara untuk pindah ke gas, juga berarti agar kita nggak cuma mengerem melulu dalam hidup ini, which is kalau diterus-terusin jadi bikin frustrasi. Injaklah pedal gas, supaya kehidupan tidak statis.

Paling yang bingung cuma orang-orang Jawa-Madura di “Tapal Kuda” di Jawa Timur.

“Adooo Bu, de’remma saya sudah pakai minyak gas dari dulu. Cuma minyak gas zaman dulu itu bisa ngecer, Bu. Minyak gas zaman sekarang yang pakai bung-tabung itu ndak bisa ngecer...Saya sudah tanya ke orang-orang Jakarta. Tapi saya ndak ngerti. Mereka ngomongnya wicis-wicis tok..”

*Sujiwo Tejo, Dalang Edan – http://sujiwotejo.com

*Dapatkan SMS berlangganan dari Dalang Edan Sujiwo Tejo tentang cara berbagai hal dipandang dari dunia pewayangan. Caranya, ketik reg pde1, kirim ke 9388, Tarif Rp 1.000/SMS. Apabila Anda ingin berhenti, ketik unreg pde1, kirim ke 9388

Saturday, September 15, 2007

CINTA

Kali ini soal cinta. Soal sejuta rasa. Begitu kalau pinjam syair lagu mbak Titiek Puspa.

Tapi mbak “nenek genit” itu emang bener sih. Apa lagi coba yang lebih sejuta rasa ketimbang cinta? Saking sejuta rasanya, tak bisa cinta itu dilukiskan dengan kata-kata. Pun tak bisa dikatakan dengan sejuta lukisan.

Pernah saya mimpi. Suatu hari, entah kapan ya, kalau berkesempatan bikin teater lagi kayak dulu-dulu, saya akan bikin adegan begini:

Di sebuah kafe, seorang perempuan yang lagi getol-getolnya pada soal filsafat dan politik, jengah. Ngambek dia. Pasalnya, band kafe membawakan tembang cinta melulu. Dari petang sampai larut.

Perempuan itu memberesi tasnya. Menjelang beranjak ia protes pada pacarnya, “Kenapa sih dari petang tadi orang nyanyi lagu cintaaaaa melulu. Bahkan sejak sebelum Masehi..”

Sang pacar menjawab sekenanya, “Emang dalam hidup ini ada lagi yang lebih penting ketimbang cinta?”

Meski dijawab asal, di luar dugaan, perempuan itu tak jadi pulang. Perempuan itu (gambarkanlah rambutnya luruh sepunggung, hitam kehijauan oleh cahaya kafe, putih matanya senantiasa berembun) tak jadi pulang.

Ia tinggal di kafe itu sepanjang masa. Mempertimbangkan lagi penting atau tidaknya filsafat dan politik. Perlu atau tidaknya mengikuti berita pencalonan mbak Mega sebagai presiden oleh PDI-P. Manfaat atau tidaknya menunggu-nunggu siapa calon dari Golkar. Dan sebagainya. Dan sepanjang masa pula perempuan itu mendengarkan cuma tembang-tembang cinta di suatu kafe di pusat politik.

***

Gita-gita cinta terus disenandungkan. Sepanjang abad. Tapi cinta tak kunjung dimengerti. Orang selalu ingin mendengar penjelasannya lagi. Ingin lagi. Lewat drama, lukisan, sastra termasuk yang paling banyak adalah lewat musik.

Belum lama ini saya main-main ke tempat sesama orang Jember, Anang. Ke studionya. Kawasan Pondok Indah. Eh, ternyata dia juga lagi mixing album barunya yang nggak direlease dalam bentuk cd maupun kaset. Duet dengan Yanti (KD). Ternyata juga soal cinta. Udah rampung kelihatannya. Siang-siang di suatu gardu Satpam di Ciputat, saya mendengar tembang duet cinta itu dari radio Bens.

Pasti nanti ada teman-teman pemusik lain yang masih ingin share soal cinta. Dan pasti masyarakat belum puas juga. Mereka diem-diem akan terus memohon para seniman membuat tafsir baru perkara sejuta rasa ini. Dan pasti para seniman tak akan bisa tuntas serta final menjelaskannya.

Bagi saya, cinta memang tidak bisa dijelaskan. Cinta berbeda dibanding sepeda motor, negara, Borobudur dan lain-lain. Semua bisa didefinisikan. Semua bisa dijelaskan but love...

Paling-paling perkara sejuta rasa ini cuma bisa ditandai gejala-gejalanya, tanpa bisa kita jelaskan tuntas definisinya. Bagi saya, kalau putera atau puteri ibu ditanya kenapa mencintai seseorang, apa alasannya, dan mereka bisa menjawab tuntas, berarti mereka tak menampakkan gejala cinta. Bukan cinta itu namanya. Itu itung-itungan.

Salah satu hiburan saya kalau nonton kabar kriminal di televisi adalah menyimak ekspresi mata salah seorang pasangan, jika pasangannya diborgol oleh polisi entah gara-gara narkoba, nyolong duit dan lain-lain.

Pasangan itu biasanya membela mati-matian. Sebagian, kayaknya, karena yang sedang diborgol itu merupakan tulang punggung ekonomi pasangan. Ini juga itung-itungan. Bukan cinta.

Tapi, yang biasanya saya terhibur, ada juga yang membela mati-matian bukan lantaran sumber daya duitnya diborgol polisi. Itu agak bisa kita raba-raba dari nyala matanya di kamera. Dia membela dan tidak tahu alasannya membela. Sama halnya dia jatuh cinta pada yang diborgol itu tanpa tahu alasannya. Pokoknya cinta aja.

Ibu-ibu, karena tak ada yang tiba-tiba di dunia, termasuk tindak kriminal, pasti dulu-dulunya ketika awal pacaran sudah ada gelagat kriminalitas itu pada calon pasangan. Pasti keluarga yang anggotanya dipacari oleh orang yang punya potensi kriminal itu tak setuju. Pasti dia berjuang mati-matian untuk tetap bisa pacaran ma dia, terlepas keluarganya setuju atau tidak. Seru!

Itu yang menghibur saya. Masih banyak cinta di muka bumi ini. Dan nyata.

***

Ibu-ibu yang saya hormati, semuanya, yang berambut panjang maupun pendek, kemarin saya ke sebuah tempat yang sudah lama tidak saya kunjungi, Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta. Ternyata saya bertemu senior saya, pelukis Sri Warso Wahono dan Syahnagra.

Dari situ saya dapat kabar duka. Seorang senior seniman sedang stroke di kota “S”. Sudah tak bisa mendeteksi sahabat. Dulu dia dikenal sebagai perayu ulung dan banyak banget pasangannya. Mas Sri Warso wanti-wanti, agar kita semua inget masa tua, suatu masa yang datangnya cepat tapi sangat halus sampai kita tak merasa tau-tau udah tua dan stroke.

Saya mendebat. Kalau kita terlalu hati-hati demi masa tua, nggak makan ini, nggak makan itu, nggak ngrayu ini nggak ngrayu itu, bukannya kita jadi stres juga dan akhirnya stroke juga.

Syahnagra punya jawaban dahsyat, yang mungkin berguna juga buat ibu-ibu lebih-lebih untuk bahan renungan di awal puasa ini. “Tidak usah takut ngadepin masa tua,” katanya. “Hidup wajar saja sekarang. Nggak usah ketat pantang ini-itu. Yang penting ada orang yang mencintai kita. Masa tua kita akan tenang.”

Ibu-ibu, maaf nih, suami cinta Ibu nggak sih? Atau sekadar “asal tidak cerai” dan “demi anak-anak”?

*Sujiwo Tejo, Dalang Edan – http://www.sujiwotejo.com
*tulisan ini telah diterbitkan di Harian Seputar Indonesia, edisi 14 September 2007

*Dapatkan SMS berlangganan dari Dalang Edan Sujiwo Tejo tentang cara berbagai hal dipandang dari dunia pewayangan. Caranya, ketik reg pde1, kirim ke 9388, Tarif Rp 1.000/SMS. Apabila Anda ingin berhenti, ketik unreg pde1, kirim ke 9388

“…Letakkan Kepalamu di Bawah Telapak Kakimu...”

Waktu nyantri, saya suka sajak-sajak sufi. Dekat sekali sih ama pedalangan. Saya suka penggal syair Jalaluddin Rumi:

…tangga menuju langit adalah kepalamu…
maka letakkanlah kepalamu di bawah telapak kakimu…


Saya tafsir sekenanya. Seingat saya, jalan ke Tuhan ya pikiranmu itu. Lalu, paradoksnya, taruhlah pikiranmu di bawah perbuatanmu. Lakukanlah apa saja. Asal diniatkan buat Tuhan. Jangan (terlalu) pakai nalar. Kau akan ketemu Tuhan.

Tapi menginjak SMA, guru agama bilang, beragama mbok pakai akal. Jangan cuma ikut-ikutan. Termasuk berpuasa.

Mulailah saya pakai banyak pikiran. Artinya harus ada jawaban buat “kenapa” pada setiap tugas peribadahan. Kenapa kita puasa? Karena perut ibarat mesin, perlu istirahat.

Masuk akal. Lingkungan saya di Situbondo ada lima pabrik gula. Semuanya istirahat tiap enam bulan sebelum musim giling tebu. Tapi kok ada juga yang nggak butuh istirahat tuh. Paling gampang jam dan tanggalan di laptop. Laptop mati atau nggak, nggak ada urusan. Dia hidup terus seperti jantung.

O, nggak ding. Puasa itu untuk menggladi solidaritas sosial. Kita harus sanggup merasakan lapar. Jadi punya kasih sayang pada orang papa. Lho, tapi kalau ini tujuan puasa, lantas gimana puasa orang yang sehari-hari telah miskin dan lapar?

Sebentar…Kalau gitu, bisa aja puasa untuk latihan nahan diri. Ah, ini lebih masuk akal. Tiap hari ada produk baru apalagi handphone. Sekarang sudah 50-an juta orang Indonesia pakai handphone. Sudah itu keinginan beli handphone-nya lebih tinggi dibanding Himalaya. Makanya Nokia juga pernah launching produk barunya di sini, bukan di negara-negara kaya. Orang-orang kitanya pakai antre lagi kayak mau masuk ujian perguruan tinggi.

Belum baju. Belum mobil. Belum aksesoris. Wah... Tiap detik ibaratnya semua itu menjibuni kita. Sampai kita megap-megap diperbudak oleh nafsu membeli. Daya tahan kita ditagih buat membeli yang perlu-perlu aja. Maka kita perlu puasa buat latihan.

Lho, tapi kalau cuma buat latihan nahan ndak beli-beli, kan nggak usah dengan puasa? Udah aja saban hari, nggak melulu di bulan Ramadhan, kita latihan nahan diri buat beli yang perlu-perlu aja.

Belum perlu main internet sepanjang masa? Ya beli handphone yang nggak pake internet-internetan. Belum perlu motret atau kirim gambar pakai handphone, ya beli handphone yang lugu-lugu aja. Tangan masih kuat? Itung-itung senam, ya nggak usah beli mobil yang pintunya nutup sendiri.

Kalau mau jalan-jalan di internet atau media massa lain, latihan nahan dirilah untuk tak terlena di sana. Kalau bahan-bahan yang Anda jumpai di situ ternyata tak bisa dikaitkan dengan pengambilan keputusan hidup pribadi dan profesional Anda, itu namanya “data”, bukan “informasi”.

Latihan nahan diri untuk menjadi “masyarakat informasi” yang sejati, ndak usah sampai ngombro-ombro jadi “masyarakat informasi yang semu” alias “masyarakat data”, itu sudah puasa yang bagus. Kita tak jadi budak pemodal agung yang menguasai dunia, yang menggembar-gemborkan “masyarakat informasi” tapi sesungguhnya cuma nimbun kita dengan “data-data”.

Jadi, kalau dipikir-pikir, kenapa kita masih perlu puasa Ramadhan? Ternyata, karena tangga menuju langit adalah kepalamu…letakkan kepalamu di bawah telapak kakimu…

*Sujiwo Tejo, Dalang Edan - www.sujiwotejo.com
*telah diterbitkan di rubrik Frankly Speaking, Area Free Magazine edisi 95 /September 2007

Sunday, September 09, 2007

Ikhwal Hati dan Rempela, tapi bukan Resep Dapur

Minggu dua pekan lalu saya bosen hidup. Bosen banget. Tapi saya nggak pengin bunuh diri. Ndak enak. Masa’ hidup kok frustrasi. Masa’ orang yang kerja di kesenian kalah daya tahan dibanding orang-orang birokrasi. Masa’ kalah ama Yusril Ihza Mahendra. Dicopot dari sekretaris negara, ndak putus asa tuh tokoh ini…malah main film jadi Laksamana Cheng Ho.

Agar nggak bosen, biasanya saya selalu bawa alat musik kemana pun. Lumayan. Bisa buat pelipur saat tiba-tiba bosen hidup. Tapi waktu itu lupa bawa. Jadi saya pergi ke Gasibu aja. Lapangan depan Gedung Sate ini, Gedung Gubernuran di Jawa Barat, senantiasa rame kalau pas Minggu pagi. Orang senam. Jualan. Jalan-jalan. Mejeng. Dan sebagainya.

Ah, ada pengamen akrobat. Mengikat orang dengan tali-temali. Membakar. Ilustrasi musiknya pake gamelan. Ketika nonton saya nggak tahan pengin ikutan main gamelan. Saya nimbrung ikutan nabuh instrumen tradisi itu. Lama-lama capek. Dan bingung lagi. Bosen lagi.

Saya lupa. Ternyata di mobil ada titipan saksofon Kiki Dunung Basuki, seniman dari Solo, putera dalang perempuan Nyi Rumyati Ajangmas. Saya mainkan aja alat itu sambil jalan kaki keliling Gasibu. Ternyata ada orang pengin ngambil gambar. Ya udah saya berhenti berjalan.

Kebetulan saya mandek tepat di depan kaki-lima penjual mobil mainan anak-anak. Action sekalian. Main saksofon. Corong saksofon saya arahkan tepat pada mobil-mobilan tenaga baterei yang sedang memutar-mutar dipamerkan.

Eh, mobil yang sedang berputar-putar itu lantas dijumput ama pedagangnya. Saya kira dia marah. Ternyata dia menggantinya dengan baterei baru. Mobil mainan itu lantas dikasihkan ke saya. Hah? “Mas sudah menghibur saya,” alasannya.

Saya kaget. Dalam hati saya bilang, “Saya nggak niat menghibur sampeyan. Ada orang mau ambil gambar. Saya kasih gambar yang mungkin asyik, tapi mungkin mengganggu sampeyan…”

Saya menolak dikasih mobil mainan. Tapi pedagang itu ngotot terus. Saya terima juga akhirnya dan jadi oleh-oleh ketika balik ke Jakarta.

***

Mungkin ini teguran dari Tuhan kepada diriku. Sudah beberapa waktu ini saya sebel ama kebanyakan orang di Nusantara. Sebelnya, gimana orang-orang arsipelago ini bisa maju bareng-bareng menjajari negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Vietnam, kalau orang-orang kayanya tidak mikir kaum fakir, tapi sebaliknya orang-orang miskinnya juga kebangeten ndak mau merombak nasibnya sendiri.

Orang-orang miskin di Indonesia menganggap bahwa segala sesuatu dari orang kaya bukanlah uluran, bantuan, pertolongan maupun dukungan. Tapi semua itu adalah kewajiban. Perombakan nasibnya disandarkan pada orang-orang kaya yang mereka wajibkan buat membantu mereka.

Makanya ada ungkapan dike’i ati ngrogoh rempelo, dikasih hati masih juga minta rempela. Saya kira banyaknya kegagalan program-program bantuan macam kredit-kredit usaha kecil, adalah mental penerima kreditnya. Sudah tentu ini di luar faktor korupsi dalam perjalanan kucuran kredit itu.

***

Kenapa saya menuduh orang-orang miskin punya mental dike’i ati ngrogoh rempelo? Mungkin karena pengalaman lima belasan tahun yang lalu ketika pulang lebaran naik kereta. Ada seorang ibu-ibu membawa tiga bungkusan oleh-oleh mudik dalam kardus bekas mie instan. Susah payah dia naikkan bingkisan buat kampung halaman itu ke rak kereta, hingga gang gerbong macet. Saya bantuin.

Tidak ada ekspresi terima kasih, baik lisan maupun raut wajah. Eh, ibu itu malah nuding dua bungkusan lain, seolah-olah itu juga menjadi tanggung-jawab dan kewajiban saya buat merakkannya. Inilah dike’i ati ngrogoh rempelo dalam salah satu versi contohnya.

Pengalaman ini traumatis buat saya. Pengalaman ini bikin saya shock. Bahkan seingat saya, saya sangat bersemangat mendukung buku yang sedang disiapkan Dr. Sukardi Rinakit bahwa sebetulnya tidak ada gotong-royong dalam masyarakat Indonesia. Saya ceritakan juga pengalaman kereta itu dengan berapi-api.

Saya khilaf. Saya lupa. Bahwa mungkin saja saya keliru dengan main pukul rata. Bahwa bisa saja tidak semua kalangan miskin berperilaku seperti itu…take saja tanpa give (give-nya entah sekadar senyum…entah sekadar nggak mengubah bantuan itu jadi kewajiban).

Bahkan saya lupa, bahwa sebelum peristiwa Gasibu itu sebetulnya saya sudah dikasih sinyal oleh Tuhan. Ada seorang tentara rendahan. Polisi Militer. Sambil nunggu komandannya, dia itu nembang terus di emper pertokoan di bilangan Kebayoran Baru. Sangat kontras. Orangnya tinggi besar. Gagah. Pakai selempang-selempang putih yang bikin merinding. Pakai pistol lagi. Tapi tembangnya alus dan bikin ngantuk.

Saya yang nongkrong di sebelahnya lama-lama gatel. Beberapa baris tembangnya saya koreksi dikit-dikit. Saya ajari juga tembang-tembang populer dari Almarhum Ki Narto Sabdo. Dia sampe nyatet segala. Lalu pergi sebentar. Wah, wah, wah…balik lagi sudah bawa tiga bungkus rokok buat saya.

Jujur saja, saya nggak nyangka bakal sebesar itu etika take and give-nya. Gobloknya, saya cuma ingat beberapa jam peristiwa ini. Dan baru ingat lagi pada kejadian Gasibu di pagi cerah suatu Minggu, di Kota Kembang yang syahdu.

Pagi itu saya tiba-tiba juga ingat, tiga tahun lalu, ketika gladi resik wayangan, seorang penabuh penting gak bisa hadir. Saya marah. Kukuhnya, “Maaf Mas, dibayar berapa pun saya tetap nggak bisa hadir gladi. Nuwun sewu. Karena saya harus ke Wonogiri. Hajatan nikah anak temen. Soalnya dulu dia datang pas saya punya hajat manteni anak saya.”

*Sujiwo Tejo, Dalang Edan – http://www.sujiwotejo.com

*Dapatkan SMS berlangganan dari Dalang Edan Sujiwo Tejo tentang cara berbagai hal dipandang dari dunia pewayangan. Caranya, ketik reg pde1, kirim ke 9388, Tarif Rp 1.000/SMS. Apabila Anda ingin berhenti, ketik unreg pde1, kirim ke 9388

Sunday, September 02, 2007

“Where Have All the ‘Orang-orang Padang’ Gone?”

Saya punya temen. Insinyur elektro. Tapi ia Padang. Tahu kan maksud saya? Yup, ‘tul. Di awal-awal tumbuhnya mal di negeri ini, ketika semua harga jadi pas bandrol, dia punya komentar menarik. “Matilah tradisi tawar-menawar kita,” katanya.

Buat dia, ternyata, tawar-tawaran tak cuma tarik-ulur harga. Lebih mendasar ketimbang itu, tawar-menawar adalah komunikasi. Itulah inti penjajaan produk ketika suatu komoditas belum dipasangi harga pas. Dasar orang Padang, ya?

Tapi saya kemudian seperti dibawanya keluar Sumatera Barat. Bukankah tradisi nego harga juga tumbuh di berbagai penjuru Nusantara? Saya jadi teringat Sumenep pada tahun-tahun SM (bukan Sebelum Masehi tapi Sebelum Mal). Ah, tetapi Makassar juga. Denpasar. Semarang. Yogya. Sala. Bandung. Banda Aceh. Serang. Dan sebagainya.

Pola komunikasi tawar-menawar ini bisa jadi mekanisme penyaring kelas masyarakat. Di kalangan pedagang, mereka yang suka tak menjawab penawaran nekad dan murah, apalagi pakai merengut dan buang muka, sudah pasti ditinggalkan pembelinya. Di kalangan pembeli, ada tempat khusus dalam lingkungan keluarga bagi anggotanya yang lihai menawar.

Sebelum zaman pas bandrol itu, mekanisme tawar-menawar juga bisa dijadikan tolok ukur. Sejauh mana masyarakat, pembeli dan pedagang, masih menyepakati simbol-simbol budaya lokal. Hak-hak khusus semacam prerogatif bagi presiden juga berlaku bagi produk dan transaksi tertentu.

Pedagang pusara dan batu nisan sudah pasti mikir beribu kali buat menjajakan dagangannya. Karena dia tahu masyarakat tak boleh atau pamali menawar jenis produk ini. Masyarakat pedagang kaki lima dalam area wayangan sudah tahu, makanan harus gratis jika buat dalang yang tiba-tiba kelaparan di tengah pementasan.

Anak kiyai, anak pandita, anak tokoh-tokoh agama harus dapat perlakuan harga khusus (anak pejabat tak termasuk). Sering kali kaum pedagang pantang tidak gratis pada darah-daging orang khusus itu. Sama halnya, demi urusan pelarisan, mereka akan pantang pasang harga fixed pada pembeli pertama.

Untung sebagaimana umumnya proses kebudayaan. Semua berputar seperti cakra manggilingan. Orang kembali tertarik mengunjungi pasar-pasar yang pake tawar-ria. Taman Puring di kawasan Kebayoran Baru kian marak. Orang-orang mulai melirik belanja di KRL Jakarta-Bogor. Harganya tergantung waktu dan tempat. Makin sore dan makin dekat Bogor, dagangan kian murah.

Di Pasar Pagi, asal pintar nawar, parfum kabarnya bisa sampai selisih 50 persen ketimbang di mal. Belum lagi di Pasar Uler. Komunikasi lengkap sudah di kawasan sempit ini. Karena selain ada komunikasi mulut, juga ada komunikasi badan saking desak-desakannya manusia. Ini belum lagi kalau kita sebut tempat-tempat serupa di New York, Seoul, Amsterdam dan lain-lain.

Mal emang masih ada. Dan terus kian gede-gedean. Tapi sekarang, sekali-sekali kalau terpaksa pergi ke mal, saya selalu terkenang kata-kata insinyur but Padang itu. Harga-harga final udah terpasang. Komunikasi dengan penjaja paling banter ya senyam-senyum.

Suasananya jadi dingin. Situasinya jadi seperti melihat kumpulan manusia kini. Seseorang berpidato. Khalayak tak memandang yang berpidato. Semua tunduk baca teks pidato yang sudah disebarkan oleh panitia. Pidatonya jadi harga pas. Tak lebih, tak kurang dari naskah yang telah diedarkan seperti bandrol. Ndak asyik.

*Sujiwo Tejo, Dalang Edan
*Artikel ini diterbitkan di rubrik 'Frankly Speaking' Area Magazine edisi 94/ September 2007

Thursday, August 30, 2007

ADA SAJADAH PANJANG TERBENTANG…(2)

Ibu-ibu, kesanggupan saya pada Seputar Indonesia pekan lalu saya laksanakan kini. Inilah beberapa contoh orang yang tak mikirin diri sendiri dan keluarganya. Contoh orang yang, tampaknya, bahagia disebabkan oleh membahagiakan orang lain.

Ibu Sri Irianingsih (Rian), pendiri Sekolah Darurat Kartini di suatu kolong jalan layang kawasan Jakarta Utara, punya dua anak yang kini sudah berkeluarga dan mandiri. Kembarannya, Ibu Sri Roosyati (Rossy), yang juga bergerak dalam pendidikan gratis kolong itu, punya empat anak yang juga tak bermasalah.

Salah seorang anak Ibu Rian yang telah meraih pendidikan S2, tiba-tiba dapat beasiswa ambil program doktor (S3) ke Inggris. “Padahal baru setahun kerja di departemen pendidikan,” kata Bu Rian. Kelahiran Semarang 1950 ini mencoba menemukan kemungkinan rezeki itu.

“Mungkin rezeki itu karena hal yang saya lakukan sejak tahun 70-an (mengajar tak dibayar, malah kerap jual gelang, kalung dan lain-lain)...Padahal dulu waktu anak saya mau ambil doktor di luar negeri, saya bilang, gak usah. Ambil doktor di sini aja. Emang anak-anak yang kere itu gak perlu sekolah. Emang yang butuh sekolah kamu dewe…Eh, nggak tahunya…”

Sebenarnya Rian bisa mberangkatin sendiri anaknya ke luar negeri. Ada deposito kok. “Itu milik keluarga. Dihibahkan oleh ibu. Tapi untuk anak-anak miskin,” timpal Rossy yang sedang menulis buku. Maksud Rossy adalah keluarga tak mampu di sekitar jembatan Rawa Bebek, yang salah satu alumnusnya bahkan ada yang bisa melanjutkan di tempat bergengsi, Sekolah Internasional Gandhi.

Sekarang ganti, Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, MA. Puluhan tahun perempuan kelahiran Bone 1958 ini memperjuangkan kesetaraan pria-wanita. Karya-karya tulisnya antara lain Islam Menggugat Poligami (LKAJ, 1998), Potret Perempuan dalam Lektur Islam (Depag, 1999), Pedoman Dakwah Muballighat (KP-MDI, 2000), Perempuan dan Politik (Gramedia, 2005) yang ditulisnya bersama Anik Farida.

Para sejawatnya sering menyebut Siti Musdah “orang gila”, karena tiap hari kerjanya meneliti dan rapat yang gak ada uangnya. “Tapi saya merasa jadi orang yang berguna. Bisa membuat orang (perempuan) lain merasa nyaman, pada saat mereka tertindas,” katanya.

Timbal-baliknya, yang menarik, Bu Siti Musdah mengaku ditolong Tuhan dalam dua hal. Pertama, ia merasa pede aja meski nggak pakai handphone bagus, tas atau jam bagus. Kedua, selalu ada saja teman-temannya yang membelikan jam, tas dan aksesoris lainnya.

Akhirnya ia berkesimpulan, “Semakin banyak yang kita berikan, semakin banyak yang kita dapat. Memang tak harus materi seperti jam. Tapi (kesehatan) keluarga juga. Saya merasa keluarga saya ada yang melindungi.”

***

Ibu-ibu, sudah sekitar setahun saya nggak melakukan ini dalam keluarga: Kalau pas makan bareng anak-anak di rumah-rumah makan, saya minta anak-anak mencuri-curi pandang keluarga-keluarga lain di tiap meja. Mereka saya minta menebak-nebak, keluarga sebelah mana yang cuma mikirin keluargaaaaa terus, dan keluarga meja mana yang punya kepedulian pada orang lain.

Itu bisa tampak dari cara mereka makan. Itu bisa tampak dari cara mereka memperlakukan pelayan. Bisa tampak pula dari raut wajah mereka. Asyik atau nggak. Ini nggak ada hubungannya dengan ganteng atau cantik. Banyak yang rupawan, tapi nggak asyik. Dan sebaliknya.

Saya tahu, keliru menghentikan kebiasaan ini. Jadwal saya kacau balau. Tapi, ya, itu bukan excuse. Mestinya anak-anak terus saya latih. Dan mestinya makin banyak keluarga yang melatihkan ini pada anak-anaknya. Sehingga kelak presiden, gubernur, bupati maupun anggota parlemen yang cuma mikirin keluarganya gak bakal tercoblos. Wong dari pajangan foto aja bisa kerasa kok. Itu kalau kita setia pada perasaan yang terasah.

Mau gak ganteng, mau gak cantik, orang yang mikirin orang lain itu ya fotonya ya sosoknya bawa hawa yang adem. Saya ketemu Ibu Dewi Soedarjo misalnya, adem. Sayangnya ini bukan contoh yang bagus, karena ibu ini cantik. Tapi saya cuma yakin kalau misalnya gak cantik dia akan adem juga lho.

Adem karena mikirin orang lain alias liyan. Lingkungan Darmawangsa Residences di Jakarta menjuluki perempuan 45 tahun ini the power of service. Prinsipnya, minimal 10 persen dari penghasilan harus dikeluarkan buat sesama. “Termasuk kalau anak saya dapat hadiah uang dari neneknya, dia harus keluarkan paling kurang 10 persen,” kata puteri Solo yang beranak tiga ini.

Jadi setiap orang datang minta uang, dikasih?

Dewi mengangguk. “Jumlahnya saja yang tergantung hati saya. Tapi saya jarang menunda. Karena Tuhan juga tidak pernah menunda permintaan saya. Saya banyak dapat berkah dari Tuhan. Itu harus menjadi berkah buat lingkungan,” katanya.
Hasilnya, kalau boleh berkalkulasi dengan Tuhan, rumah yang dibelinya kini di kawasan Cipete tidak angker lagi. Padahal pemilik-pemilik sebelumnya kalau nggak meninggal ya sakit-sakitan. Beberapa dukun telah didatangkan ke tempat itu, termasuk dari Filipina. Mikirin orang banyak ternyata lebih ampuh dari kekuatan dukun.

Wah, dari tadi ibu-ibu ya. Ya udah, saya kenalkan dengan Ahmad Suwandi ya? Dia aktivis Fauna & Flora International. “Eh, pernah suatu siang, tiba-tiba ada orang yang mau membayari hutang saya yang sudah lama banget,” katanya. Dan itu baru secuplik pengalaman anehnya.

*Sujiwo Tejo, Dalang Edan

*Dapatkan SMS berlangganan dari Dalang Edan Sujiwo Tejo tentang cara berbagai hal dipandang dari dunia pewayangan. Caranya, ketik reg pde1, kirim ke 9388, Tarif Rp 1.000/SMS. Apabila Anda ingin berhenti, ketik unreg pde1, kirim ke 9388

Wednesday, August 22, 2007

ADA SAJADAH PANJANG TERBENTANG...(1)

Toilet umum masih penuh berkah. Di peturasan itu saya sering jumpa tokoh-tokoh yang saya diem-diem pengin ngobrol.

Belum lama saya bisa ketemu tiba-tiba kepergok Yok Koeswoyo di suatu toilet di Senayan. Pekan lalu ketemu penyair Taufiq Ismail. Ndak pake rencana. Itu di toilet umum juga. Di Menteng.

Dia kaget. Soalnya begitu kepergok saya langsung minta maaf. “Ini ada apa?” katanya sambil merapikan diri sehabis buang air.

“Pokoknya saya mau minta maaf, Mas. Di berbagai forum terbatas yang tidak ada pers, saya selalu mengkritik Mas Taufiq. Kadang sangat emosional. Gara-garanya ya lagu Bimbo. Mas Taufiq nulis syairnya. Itu lho yang ada kalimat…sajadah panjang terbentang dari buaian hingga ke liang kubur…”

Dokter hewan dan penyair kondang ini masih bengong.

“Lagu itu sudah bagus-bagus ngingetin kita, betapa sembahyang yang sejati terselenggara di sepanjang hidup, tanpa ada jadwal. Sajadahnya sepanjang waktu kelahiran sampai tanah makam…Eh, masa’ terus ada kalimat, sembahyang yang panjang itu disela-selai dengan interupsi, mencari nafkah, mencari rezeki dan lain-lain…”

Pemahaman kayak gini, menurut saya, bikin masyarakat amburadul. Nggak ada yang mikirin. Setelah sembahyang (ke masjid, gereja, vihara, kuil dan lain-lain), orang pada sibuk mikir diri sendiri. Korupsi dan lain-lain. Aktivitas kesehariannya ndak ada hubungannya dengan sembahyangnya.

Pantesan dalam mencari rezeki, orang merasa halal korupsi. Dengan kata lain, orang boleh nggak memikirkan dampak negatif bagi orang banyak. Yang penting diri dan keluarganya untung. Toh ini cuma interupsi. Toh ini sementara saja, mumpung lagi luar rel “sajadah panjang”.

Padahal, kalau saya nggak salah ingat, setiap agama punya semangat sosial. Malah ada yang bilang, sembahyang yang sebenarnya ialah berbuat kebajikan buat orang banyak. Ini nggak ada jadwalnya. Ini sepanjang waktu. Ini juga kerap dibilang dalam wayang.

Sembahyang formal dan ada jadwalnya terhadap Tuhan baru punya nilai di depan-Nya, kalau makin kuat menggerakkan orang untuk melakukan perbuatan bagi sesama. Sembahyang individualnya menjadi laksana generator yang membangkitkan energi sosial.
Saya pikir Mas Taufiq marah. Di depan cermin toilet, tokoh ini justru ketawa. “Anda benar,” katanya dengan suara khasnya yang serak. “Itu teknis saja. Waktu saya tulis saya sulit mencari kata-katanya. Begitu saja keluar kata interupsi, “ jelasnya.

***

Ramadhan sudah dekat, Ibu-ibu. Biasanya di bulan itu lagu-lagu Bimbo berkumandang. Kini ibu-ibu udah saya ceritain. Penulis liriknya sendiri sudah mengaku keliru. Jadi, sebelum Mas Taufiq meralat, mungkin baik juga ibu-ibu kasih tahu suami atau anak yang mendengarkan tembang itu.

Please bilang, “Mencari rezeki dan lain-lain bukan interupsi lho…Itu bagian yang sah dari sembahyang panjang di atas sajadah panjang…”

Menyanyi. Menulis. Jadi presiden maupun penjaga pintu rel kereta api. Semuanya mesti diniatkan menjadi bagian yang sah dari sembahyang panjang. Melawak. Bekerja di rumah jagal. Menjual jamu gendongan maupun jadi menteri dan lain-lain. Seluruhnya mesti diniatkan terselenggara di atas sajadah panjang, muka bumi. Tak ada interupsi! Tak ada intermezo keluar dari jalur sajadah panjang. Tak ada…

Maaf, Ibu-ibu, belakangan ini tulisan saya jadi serius. Saya diingetin teman, perempuan lebih suka pemikiran praktis-praktis saja. Tapi persoalan bangsa ini, kebersamaan bangsa ini, sudah demikian parahnya. Penyelesaiannya tak bisa lagi cuma dengan dasar pikiran praktis.

Saya harus kembali mengimbau, terutama kepada saya sendiri dan keluarga, bangsa yang carut-marut ini bisa perlahan ditata jika semakin banyak orang merasa bahwa seluruh aktivitas dunianya terselenggara di atas sajadah panjang. Seluruhnya jadi bagian yang sah dari sembahyang panjangnya. Artinya, aktivitas itu harus bermanfaat bagi sebanyak mungkin orang atau paling apes, tidak merugikan sesama.

***

Dan kenapa saya harus matur ke kaum ibu tentang dasar pemikiran nggak praktis ini? Karena perempuan secara umum, lebih cenderung mikirin keluarganya sendiri. Salah-salah, kalau nggak kuat banget prinsipnya, suami juga bisa kebawa cuma mikirin keluarga.

Ini nggak salah. Mungkin alami ya…Mungkin emang sudah kodratnya. Kalau saya lihat siaran flora dan fauna, betina memang cenderung jauh lebih protektif terhadap anak-anak ketimbang yang jantan. Betina jauh lebih ganas dan beringas ketika mempetaruhkan hidup keturunannya.

Tapi dalam situasi orang saling ber-jibaku mikirin diri sendiri dan kehidupan berbangsa jadi nyaris remuk ini, saya tak melihat jalan keluar lain. Titik terang penyelesaian masalah itu cuma saya lihat ketika kaum ibu mengikhlaskan diri dan suaminya, untuk lebih berguna bagi banyak orang. Tak cuma mikirin keluarganya.

Waduh, ruang tulisan hampir abis. Saya sambung pekan depan saja. Semoga Ibu-ibu masih punya waktu lagi buat baca. Saya akan kasih contoh-contohnya.

Banyak contoh, ibu-ibu yang mikirin masyarakat, asal tanpa pamrih, suaminya jarang selingkuh. Jarang kemalingan. Hantu di rumah pergi tanpa perlu bantuan gaib. Anak-anak jarang sakit serius. Tunas-tunas hari depan itu akan mendapatkan rezeki dari masyarakat juga. Abis ini ya? Swear.

*Sujiwo Tejo, Dalang Edan
*Dapatkan SMS berlangganan dari Dalang Edan Sujiwo Tejo tentang cara berbagai hal dipandang dari dunia pewayangan. Caranya, ketik reg pde1, kirim ke 9388, Tarif Rp 1.000/SMS. Apabila Anda ingin berhenti, ketik unreg pde1, kirim ke 9388
*Tulisan ini diterbitkan di Harian Seputar Indonesia, 24 Agustus 2007

Sunday, August 19, 2007

Kalau Anjing Bisa "Ngomong"

Saya tanya ke anjing. Kamu cinta nggak ma manusia? Anjing menjawab: Ah lo pura-pura kagak ngarti ya?

Bukan gitu. Persoalannya saya kurang yakin aja. Saya cuma pernah dengar. Di Jepang, di depan suatu stasiun kereta api, ada saudaramu yang lama bengong di situ. Nggak mau makan-minum. Menunggu karib manusianya pulang. Ternyata manusia itu curang. Dia nggak pernah pulang. Anjing itu pun mati di depan stasiun. Iya, kan?

“Ah, guk guk guk…sebenarnya legenda besar itu cuma contoh kecil dari besarnya cinta kami pada manusia…guk guk guk…”

Ya, udah. Gak usah judes gitu. Sekarang ganti saya tanya aja pada manusia. Sampeyan semua bener-bener cinta nggak sih ma anjing? Atau cuma sekadar style? Sama halnya sampeyan nggak cinta sungguh ke kekasih, tetapi berusaha menggaetnya agar bisa gaya di depan khalayak? Terutama di pesta-pesta sehingga sampeyan ma pasangan dijepret wartawan foto, masuk tuh ke majalah-majalah pesta yang kini makin marak?

Iya. Iya. Saya tahu. Sampeyan telah bersusah-payah buat anjing. Rela merogoh sampai Rp 200 ribuan untuk anjing Kintamani anakan aja. Atau sampai Rp 1 juta kalau usianya udah 3 bulanan. Belum buat parfum anjing yang berkisar Rp 20 ribuan untuk produk lokal dan sampai Rp 100 ribuan buat pewangi impor.

Saya tahu itu. Belum untuk anjing jenis lain yang harganya bisa sampai puluhan juta rupiah. Belum biaya salonnya. Belum kalau tiap bulan mesti ke Singapura belanja perlengkapan dan kebutuhan anjing. Ada yang mengaku rata-rata sekali belanja abis sekitar Rp 5 jutaan.

Saya tahu itu. Apalagi ajakan buat mencintai anjing juga makin marak. Najis atau nggak-nya anjing juga banyak yang menafsir ulang. Setahu saya tokoh kebangsaan dari kalangan Islam seperti almarhum Nurcholish Madjid juga nyaranin kita mencintai anjing.

Itu pula ajaran Cak Nur, panggilannya akrab, kepada keluarganya. Di lingkungan RT/RW-nya, keluarga ini dikenal sebagai penyayang hewan termasuk anjing. Prinsip, tak ada ciptaan Tuhan yang hina, apalagi telah terbukti anjing berjasa pada keamanan lingkungan dari kriminalitas.

Ya. Duit udah keluar buat anjing, sampai ke urusan perawatan kuku. Saran untuk mencintai anjing, dalam arti juga nggak mendiskriminasikan ciptaan Tuhan sudah kerap kita dengar. Tapi kembali ke pertanyaan: Sampeyan bener-bener sudah cinta anjing nggak?

Kalau ke Puntadewa alias Yudhistira dalam wayang, saya sudah nggak perlu tanya itu lagi hehe…Cintanya pada anjing sudah proven. Oleh penjaga gerbang sorga, Yudhistira dilarang masuk firdaus itu kalau ia terus bersama anjing yang tiba-tiba mengikutinya.

“O, ya sudah,” jawab sulung Pandawa ini, “Kalau gitu ndak usah masuk surga aku juga ndak patheken. Anjing ini aku nggak tahu siapa namanya. Tiba-tiba ikut aku sejak aku menjelang mati. Setelah di depan sorga ini aku tidak mungkin menghardiknya pergi. Mending aku masuk neraka saja…”

O, bumi gonjang-ganjing…Bareng dengan ucapan lirih Sang Puntadewa itu, anjing yang bernama Lingga-Maya kembali ke wujudnya yang sejati, Dewa Darma.

Eh, sori, kegoda wayang sampai lupa, saya tadi nanya apa ya ke sampeyan?

*Sujiwo Tejo, Dalang Edan

*diterbitkan di rubrik "Frankly Speaking" - area magazine, edisi 93 / Agustus 2007

Nuklir dan Helm Kambing

Ibu-ibu, saya ketik tulisan ini menjelang berangkat ke Semenanjung Muria, Jawa Tengah, tempat bakal dibangun pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Kira-kira 40-an km dari Jepara. Tepatnya di kecamatan Kembang, Desa Balong, di kawasan yang dipercaya sebagai petilasan Wali Syech Siti Jenar.

Sore sebelumnya saya di-SMS bahwa masyarakat Balong minta lakon Dewa Ruci ditambah jadi Dewa Ruci Tolak PTLN. Wah, bagi saya lakon asli “Dewa Ruci” jadi kebablasan gaul kalau mesti diimbuhi “tolak PLTN”.

Ini kan lakon agak sakral, tentang pertemuan Bima dengan Tuhan, sama halnya mitos tentang Syech Siti Jenar yang manunggal dengan Tuhan (lantas disalah-tafsirkan oleh masyarakat pada masa itu).

Ini kan lakon yang tema dominannya soal sembahyang tertinggi. Bahwa puncak sembahyang bukanlah formalitas menyembah, tapi berbuat kebajikan buat orang banyak.
Dalam segi lakon Dewa Ruci, untuk konteks Indonesia, sembahyang tertinggi hari ini adalah membuka lapangan kerja, memperbaiki pendidikan misalnya melalui perjuangan agar anggaran pendidikan mencapai minimal 20 persen APBN sesuai Undang-undang, menyelenggarakan rumah sakit dan obat-obatan untuk kalangan tak mampu dan sebagainya.

Itulah sari pati cerita Dewa Ruci. Tapi ya udahlah. Kompromi. Saya usul, dan akhirnya diterima masyarakat Balong, lakonnya jadi Dewa Ruci Mikir Nuklir. Karena menolak PLTN di zaman kayak gini agak riskan.

Gimana mau nolak? Negara yang pengin maju mesti punya tenaga nuklir. Perdamaian kan terwujud kalau setiap negara di dunia punya senjata andalan. Bukankah dosen kewiraan kita dulu bilang, kalau ingin damai bersiaplah perang. Maksudnya, kalau setiap negara punya gigi, negara lain tak akan seenaknya main serang.

Saya kira kok soalnya bukan menolak PLTN. Soalnya cuma memikirkan, apakah tabiat bangsa ini sudah memenuhi syarat untuk mengelola nuklir yang penuh risiko itu? Ya soal disiplinnya. Ya soal kebutuhan akan rasa amannya. Dan sebagainya.

Wong kecelakaan transportasi bolak-balik terjadi. Gara-garanya ya balik ke situ-situ lagi. Faktor manusia. Ya kelengahan pengemudi (pilot, masinis). Ya kelengahan perawatan mesin maupun pengaturan jalur.

Saya khawatirnya PLTN ini jadi kayak demokrasi. Mentang-mentang demokrasi lagi musim, dan didukung mitos bahwa demokrasi adalah yang terbaik di dunia, maka semua negara ikut-ikutan demokratis.

Padahal, seperti berkali-kali saya matur di forum ini, syarat demokrasi itu tingkat pendidikan masyarakat relatif tidak terlampau timpang. Doktornya banyak. Tapi jauh lebih buanyak lagi yang nggak tamat SD dan buta huruf. Perbedaan tingkat kekayaan masyarakat juga tidak terlalu njomplang.

Sebelum syarat itu terpenuhi…ya…bentuk formalnya sih demokratis. Tapi pemilih akan terus-menerus dibodohi oleh partai dan calon-calon pemimpin. Dan yang jadi pemimpin eksekurif maupun elite partai adalah orang-orang dari jaringan kelompok kaya-raya yang itu-itu juga.

Dalam konteks ini, dan 62 tahun merdeka, kasak-kusuk yang makin santer agar kita balik lagi ke bentuk kerajaan perlu kita beri perhatian serius.

***

Sekitar 2 pekan lalu, di Blok M, Jakarta, saya melihat ada helm asyik. Bukan saja pelindung kepala ini dilapisi bulu kambing. Gila, sekalian tanduknya dipasang. Sekali lagi asyik. Saya seneng juga lihatnya. Ini cara yang baik buat mengusir stres, baik stres yang menonton maupun yang jadi tontonan, stres karena Indonesia gini-gini terus.

Tapi, Bu, kalau dia terjungkal, dan yang kena aspal duluan adalah ujung tanduk, bukannya leher si orang asyik itu lebih mungkin patah? Kenapa juga otoritas yang mengatur tertib berkendara, polisi, tak ambil tindakan?

Itu di darat, Bu. Di udara, bukannya dalam 62 tahun merdeka ini kita masih sering lihat orang naik menara, membetulkan listrik atau apa, telanjang kaki dan tanpa sabuk pengait. Bukan itu saja, satu tangannya biasanya masih sempat-sempatnya pegang rokok. Dia bergelayutan di ketinggian rangka besi sambil klepas-klepus ngeluarin asep.

Yang ini juga bukan di darat. Tapi tak terlalu tinggi seperti di menara. Yaitu di atas gerbong kereta api. Saya selalu heran kenapa ini nggak ditambahkan pada Tujuh atau Delapan Keajaiban Dunia. Ajaib dong! Di atas gerbong mereka bisa berbaring tidur, tanpa pembatas atau penghalang yang bisa menahan pergeserannya akibat kemiringan rel dan gaya lontar ketika kereta api belok.

Kalau Ibu-ibu pedagang sayur pasar pagi masih mending. Mereka tidur di bagian paling belakang mobil bak, di atas tumpukan sayur. Tapi kan sayur beda ma atap gerbong. Atap gerbong lebih masif. Sayur masih ada empuk-empuknya dan “nelan” badan, sehingga orang yang tidur di atasnya relatif lebih terlindung untuk kegeser atau terlontar.
Dan masih banyak contoh lain.

***

Menolak PLTN berarti menunggu masyarakat siap. Masyarakat siap, prosesnya bisa dibiarkan alami. Atau proses itu tidak diserahkan ke alam penuh-penuh, jadi tidak alami, tapi diberi sentuhan kebudayaan dikit. Jadi cepet.

Dari hal yang kecil-kecil aja. Yang penting menempa disiplin dan mempertinggi kebutuhan akan rasa aman. Misalnya, Ibu-ibu selalu wanti-wanti dan keras kepada anak, agar setiap buka pintu mobil, mereka harus menengok ke luar-belakang mobil lebih dulu. Setiap mau nutup pintu mobil, mereka harus menyapukan mata ke rangka pintu karena sering kali ada jari atau lengan dari penumpang depan atau belakang. Sering juga masih ada betis orang karena tumit masih di aspal.

Kalau Ibu-ibu keras, lama-lama anak-anak akan punya naluri itu setiap buka-tutup pintu mobil. Punya naluri serupa untuk aktivitas lain yang lebih luas sehingga kita siap ber-PLTN.

*Sujiwo Tejo, Dalang Edan

*diterbitkan di Harian Seputar Indonesia - 18 Agustus 2007

17 AGUSTUS-AN DI SEMENANJUNG MURIA

Dikarenakan adanya undangan mendadak yang baru dikonfirmasikan Jumat kemarin ini (10/8/07), maka Sujiwo Tejo bersama Bintang Indrianto dan sahabat-sahabatnya, dengan sangat terpaksa membatalkan penampilannya ber-17-an di MoE-Jazz&Lounge, Bintaro Jaya sektor 3A, pada Jumat 17 Agustus malam.

Rombongan "Presiden YAIYO" yaitu Sujiwo Tejo bersama "Menhankam/Pangab" Bintang Indrianto dengan deretan para "Kepala Staf"-nya yaitu Kiki Dunung-Taufan Irianto-Imam Garmansyah akan tampil di Semenanjung Muria, sekitar 40km dari kota Semarang, pada tanggal 17 Agustus 2007.

Pada 16 Agustus siang, rombongan akan berziarah ke makam Syeikh Siti Jenar. Lalu malamnya, Sujiwo Tejo akan melakukan wayangan, mendalang, dengan mengambil cerita, Dewa Ruci.

Menurut Sujiwo Tejo, dirinya dan grup diundang untuk memeriahkan HUT Kemerdekaan RI di Muria, dimana pada 17 Agustus pagi hari mereka juga akan turut serta dalam upacara bendera.

Penampilan "Presiden YAIYO" di Muria, semata-mata bukan karena mereka memilih "berpihak" kepada para penentang pembangunan PLTN Muria, tapi karena kehadiran mereka untuk mengajak semua pihak bersukacita saja, "Mari sama-sama kita bergembira, ikut merayakan 17-an. Saya memilih berada di tengah-tengah, saya menghargai perbedaan pendapat. Berbeda pendapat boleh saja, asal semua dilakukan dengan saling menghormati dan saling pengertian."

Intinya, menurut Tejo, mereka memilih berada di tengah-tengah rakyat di kawasan Muria sana. Kita datangi mereka, dan kita ingin sekali menghibur mereka.

Menurut Sujiwo Tejo dan disetujui pula oleh Bintang Indrianto bahwa, "Presiden YAIYO" tetap merencanakan "mengunjungi dan menghibur" rakyat seputaran Bintaro di MoE-Jazz&Lounge pada acara JAZZIEST-Night, kemungkinan dijadwalkan pada Jumat, 31 Agustus 2007.

”Bintaro tetap kok akan dikunjungi karena rakyat di sana pasti juga butuh hiburan dari kami kan?”, ucap Tejo. Dan, tambah Bintang, karena memang acara jazz di sana cukup menarik dan kami tertantang banget untuk nge-jazz abis di acara itu. "Tentu saja, jazz-nya Presiden YAIYO dong. Eh apa bener sih kita ini nge-jazz, aku gak ngerti sebetulnya.....," ucap Tejo lantas tertawa, dan Bintang pun juga ikut tertawa lebar.

Oh ya, juga disampaikan kabar gembira, yang sangat patut untuk disyukuri bahwasanya album YAIYO sudah masuk cetakan ketiga! Pada akhir minggu ini sudah masuk lagi order 1000 CD tambahan, dikarenakan 2000 CD sebelumnya sudah habis terjual. Terima kasih banyak untuk seluruh pencinta musik yang sudah memberikan respon positif dan perhatiannya kepada album YAIYO.

Thursday, August 16, 2007

REVIEW KONSER YAIYO (2)

PRESIDEN YAIYO Bertemu Rakyat
Mengajak Damai dan Tersenyum Ramai Ramai

JAKARTA, YAIYO – Harapan masih ada, ucap lantang Presiden YAIYO di hadapan masyarakatnya. Masih akan ada (Harapan), tegas Presiden YAIYO, yang mendapatkan sambutan riuh dari masyarakat yang memenuhi lapangan alun-alun ibukota, Jakarta, kemarin siang.

Permintaan sang Presiden, agar semua elemen masyarakat tetap semangat, terus berjuang tapi tetap santai. Janganlah saling membenci, jangan saling menjatuhkan, janganlah memelihara permusuhan. Semua masalah, ucap Presiden, adalah milik semua. Bukan hanya milik golongan, keluarga, kalangan tertentu saja. Maka, lanjutnya, semua pihak tanpa terkecuali harus saling bantu membantu,melepaskan diri dari masalah tersebut.

Presiden meminta jajaran para pembantunya, para menteri kabinet YAIYO, untuk hati-hati jangan sampai mereka terlena di laut tangis rakyat. Hati-hati jangan mereka haha hihi di laut keringat rakyat. Pesan Presiden dengan tegas, sambil mengepalkan tangan Presiden berucap lantang, "Awas awaslah di gunung kesabaran rakyat". Para menteri hendaknya, mawas dirilah di gunung kesabaran rakyat!

Sementara itu, ternyata sang Presiden juga adalah pelukis. Ia pun tak ragu menjual lukisan-lukisan potret dari berbagai kalangan, dan dari situ dengan jujur dan tegas Presiden menyatakan,"Bagi mereka yang membeli lukisan saya memang karena suka, sungkan, nggak tega maupun terpaksa, terima kasih sebesar-besarnya. Merekalah produser eksekutif album rekaman saya ini."

Seorang Presiden, ketika masih aktif, menghasilkan album rekaman? Betul sekali, ini album rekaman musik. Musiknya campur sari, gado-gado, diulek jadi satu ditaburi berbagai bumbu yang kemudian diguyurkan sedikit air di atasnya….

Mungkinkah seorang Presiden menghasilkan sebuah album rekaman? Sang penata musik mengungkapkan, ia seolah seperti lahir kembali menjadi seorang menteri. Ia merasa begitu terhormat ketika diberi tanggung jawab mengatur dan "mengelola" musik untuk Presidennya. Dan ia kemudian memang diberi wewenang penuh oleh sang Presiden.

Dengan wewenang resmi di tangan, sang pengatur musik dengan sigap dan segera, melarang sang Presiden campur tangan urusan musik. Diapun melarang keras sang Presiden melanjutkan kesenangannya memainkan pelbagai alat musik. Cukup bermain trumpet selain bernyanyi, tegas si musisi. Dan sang Presiden pun mengatakan,"Dia (si musisi pengatur musik itu) adalah satu dari hanya segelintir orang yang tidak bisa, tidak sanggup saya marahi…"

Malah si penata musik melangkah lebih jauh, ia pun dengan tegas melarang sang Presiden melakukan rekaman ulang suaranya. Kabarnya, sang musisi mengaku puas dengan isian vocal yang sebenarnya "guide" vokal dari sang Presiden. Menurut sumber yang layak dipercaya, sang Presiden mengikuti begitu saja perintah sang musisi yang amat sangat dipercayainya itu.

Negara Kesatuan Republik YAIYO

Itulah sekelumit kisah dari Negara Kesatuan Republik YAIYO. Negara tetangga kita. Tapi kenapa ini malah menjadi seperti mata acara di salah satu stasiun televisi swasta? Yang pasti, yang tidak boleh melakukan take vokal lagi, untuk mencoba menyanyi dengan "benar" itu adalah sang "Presiden" yaitu Sujiwo Tejo. Mantan wartawan, dalang "kontemporer", rambut ikal panjang, sutradara pertunjukkan teater, penulis, berbadan tidak terlalu kurus, pemusik multi instrumentalis, aktor, pencipta lagu, tertawa keras ngakaknya khas….dan lalu, siapa yang tidak kenal?

Sementara sang musisi bernama Bintang Indrianto. Bassis sejak era trend musik jazz/fusion tahun 1980-an, bergabung dengan banyak grup-grup ternama, sempat menjadi session-player laris untuk show dan rekaman. Kini makin tegas dan jelas, menjadi bassis sekaligus produser musik jazz dengan hasil garapan yang kian diperhatikan khalayak ramai.

Ini adalah cerita seputar garapan album gres dari Sujiwo Tejo, yang bertajuk, YAIYO, album keempatnya. Dan kali ini memang banyak perbedaannya dibanding tiga album sebelumnya. Ia menyanyi bahasa Indonesia sepenuhnya kali ini. Ia tidak lagi mengurusi hingga sektor aransemen. Dan iapun berjuang, berjalan sendirian. Pilihannyapun, bergerilya penuh semangat. Antara lain kelihatan jelas, ia menjual album keempatnya dalam format compact disc ini dari mulut ke mulut, teman ke teman, kerabat ke kerabat.

Dijual dengan bandrol relatif murah, di bawah harga yang umum untuk sebuah produk album musik lokal versi compact disc. Niatnya, biar supaya lebih banyak masyarakat dapat menerima, menikmati dan terhibur oleh album keempatnya ini. Sebuah langkah jelas yang jadi pembuktian ampuh, bahwasanya musik dalam albumnya kali ini memang mengajak rakyat semua bersama-sama menghibur diri. Bukankah menghibur diri juga adalah hak setiap rakyat?

YAIYO Anak-Anak dan YAIYO Kritik Sosial

Menyoal kemasan musiknya, yang digarap seksama oleh Bintang Indrianto, memang beragam unsur-unsur musik dapat terasakan bunyi-bunyiannya. Aneka macam musik dicampur jadi satu, diblend dalam waktu cukup, dan lantas siap dihidangkan! Pada banyak lagu, ada pola melodi dolanan anak-anak, diambil dari berbagai macam etnis, yang menjadi dasar lagu. Tak heran, kalau saja ingatan kita masih baik, kemungkinan telinga kita akan langsung cepat menjadi akrab.

Dolanan anak-anak menjadi fondasi dasar untuk bangunan kritik sosial yang bertebaran di semua lagu karya Sujiwo Tejo kali ini. Menurut sang Presiden eh Sujiwo Tejo, ia melihat sekeliling, lagu-lagu kritik sosial belakangan tak lagi terdengar. Tapi, lanjutnya, bukan lantas kritik harus pedas, menyerang dan mengoyak-oyak. Bukan lagi jamannya saling serang menyerang berapi-api, sudah tidak masanya lagi menyuburkan permusuhan!

Kritik sambil tetap santai, penuh canda, rasanya jauh lebih nikmat. Tidak perlu menampar tapi lebih bijaksana menggelitik saja. Jadi semua pihak bisa tersenyum. Kalau senyum terus disunggingkan, maka kedamaian akan lebih terasa. Damai yok Damai, tersenyumlah ramai ramai….Itulah ajakan Sujiwo Tejo. Bintang menimpali, kritik tapi dengan swing dan blues jadi bakalan tetap sejuk dan nyaman deh….

Kali ini Sujiwo Tejo dikawal oleh Bintang Indrianto berikut para "Kepala Staf Musisi"nya. Seperti Taufan Irianto Makasar, "Kepala Staf" drums. Ada lagi Imam Garmansyah Bandung, "Kepala Staf" keyboard. Kemudian masih ada "Kepala Staf" perkusi kendang dan saksofon. Dan 10 repertoar baru Sujiwo Tejo mengisi album keempatnya, yang sebagian besar telah disiapkan untuk dihidangkan kepada para penonton malam minggu, 4 Agustus kemarin.

Oh ya, malam kemarin itu adalah konser akrab "Sang Presiden YAIYO" di ibukota. Setelah menggaet sukses dalam kesempatan konser di Surabaya lalu Solo dan Malang, lengkap dengan cerita "bonus" berhasil menjual 1000 keping compact disc dalam kurun waktu seminggu saja! Maka kini giliran ibukota Jakarta nan metropolitan yang disinggahi, bukan untuk melakukan "sekedar" temu wicara apalagi menggelar acara kelompencapir, tapi untuk mengajak publik ramai ramai bersukacita bareng, sama sama menghibur diri.

Konser Akrab Presiden Yaiyo ini terselenggara atas kerjasama Semarmesem dengan Toba Dream Family Café, dengan didukung Indiejazz. Tak lupa berkat dukungan dari Otomotion 97,5FM, C n J 99,9 FM dan Pro2 FM 105. Dan turut "bergabung", "panglima" tamu yang tak kalah sohor namanya, Viky Sianipar.

Dan bagaimana kejadian sesungguhnya dari konser Saturday Night itu? Yang pasti, Sujiwo Tejo berkostum putih-putih asyik bergoyang, berjoget, melompat dan tetap tertawa lebar. Aktif mengajak penontonnya terus sukacita, ikut bergoyang. Penonton menimpalinya dengan keplok-keplok tangan berirama mengikuti lagu, atau juga tertawa ramai menyambut guyonan dan sentilan Tejo.

Tejo lantas berganti kostum sarung hijau, lalu sempat bertelanjang dada. Sujiwo Tejo sempat-sempatnya pula memanggil Emha Ainun Najib untuk didaulat membawakan puisi, dan dijawab Emha nggak siap nanti saja. Emha malah digiring Tejo "berdakwah" segala. Lalu juga Jenderal Wiranto yang purnawirawan digaetnya naik pentas, biasalah berpidato sejenak dan bilang tidak sedang berkampanye, lalu mengalunlah lagu `Tuhan'nya Bimbo oleh beliau. Para musisi mengiringi sangat jazzy dan "usil", jenderalpun menebar senyum.

Di deretan penonton masih ada Sukardi Rinangkit dari Soegeng Sarjadi Syndicates, ada wakil-wakil dari petinggi Negara ini, ada beberapa artis seperti Sita RSD hingga Inggrid Wijanarko dan Sumita Tobing. Lalu tentu saja terselip puluhan fans "fanatik" Sujiwo Tejo, ada yang datang dari Bogor, Bekasi bahkan Tangerang dan Serang!

Sang "Presiden YAIYO" tak sanggup berkata-kata lagi hanya bisa kembali menebarkan senyum lebar dan tertawa ngakak khasnya. "Panglima" Bintang Indrianto juga hanya melempar senyum, begitupun halnya dengan para "kepala staf musisi" lainnya. "Panglima tamu" Viky Sianipar, notabene dia juga adalah sekaligus pemilik tempat pertunjukkan tersebut, dengan baju "pinjaman" dari sang "Presiden YAIYO" juga hanya dapat tertawa dan sibuk menyambut uluran ucapan selamat para penonton.

Sayangnya, acara sukses begini ternyata luput dari perhatian teman-teman wartawan, baik itu dari kalangan media cetak maupun media elektronik. Kemungkinan dikategorikan sebuah acara biasa yang dianggap tidak penting untuk disaksikan. Sangat biasalah, untuk jenis musik-musik "pinggiran" atawa musik segmented, sebuah pola pandang yang selalu dipelihara terus jaman ke jaman. Tema sentral penampilan Sang PRESIDEN dengan musik jazz, agaknya bukanlah sesuatu yang menarik. Apalagi hanya seorang "PRESIDEN YAIYO" yang nge-jazz, nge-blues, nge-progressive....

So, what's next, Mr. President? Well, anjing menggonggong kafilah jalan terus, malah ngebut....Di depan mata, menurut juru bicara kepresidenan Yaiyo, ada jadwal menyinggahi lagi beberapa kota bahkan tengah digodok kemungkinan Presiden YAIYO melakukan "perlawatan" ke Sulawesi, terutama Makassar dan Donggala dalam waktu dekat ini. Menurut sang jubir, Presiden sangat berkeinginan menjumpai rakyatnya dimanapun berada, agar supaya semuanya bisa "berjuang tapi tetap santai, bisa tetap tersenyum ramai-ramai, karena harapan masih ada…." /dM

Wednesday, August 15, 2007

REVIEW KONSER YAIYO (1)

Buat teman2 yang tidak sempat datang menyaksikan aksi Sujiwo Tejo dkk., berikut ini adalah salah satu review Konser YAIYO dari Sujiwo Tejo. Terima kasih mas Fahroni atas perkenannya mengambil review buatan mas. Buat teman2 penggemar Sujiwo Tejo, bolehlah berkunjung ke website mas Fahroni: www.fahroniarifin.com. Asyik website-nya....:)
Kalau ada teman2 lain yang juga bikin review, silakan kasih info ke saya, nanti saya hubungi untuk mempublikasikannya juga di blog ini.


NONTON SUJIWO TEJO LAGI
by Fahroni Arifin
(http://fahroniarifin.com/nonton-sujiwo-tejo-lagi.htm)


Karena kesepian ditinggal ‘liburan’ Fifi & Zidan ke Bandung selama 2 minggu, Sabtu malam saya cari-cari acara. Beruntung ada launching album terbaru Sujiwo Tejo, ‘YAIYO’, di salah satu kafe di Tebet. Sudah lama saya tidak pasang radar atas seniman satu ini meski album pertamanya masih sering saya putar. Perkenalan saya dengan lagu-lagu Sujiwo Tejo dimulai sejak SMA, saat album pertama ‘Pada Suatu Ketika’ keluar. Waktu itu diantara teman main SMA cuma saya pendengar Tejo. Ia memang artis yang pasarnya segmented dan tidak populer dikalangan generasi Pop. Dan padatnya aktifitas saat kuliah mengalihkan pantauan saya atas album-album berikutnya.

Karena tidak mengikuti evolusinya, saya tersentak dengan ekspresi dan eksplorasi Tejo di album terbaru ini. Ia menunjukkan kebebasannya yang liar, hampir seluruh lagu berbalik menentang selera umum. Lewat jalur indie, album terbaru ini diproduksi swadaya dan diedarkan dari mulut ke mulut dengan harga yang hampir BEP, jelas nekat. Ini hiburan untuk kelas bawah jadi harus murah, katanya. Ia tidak kompromi dengan label besar yang biasanya mengatur-atur isi dan nilai sebuah album. Ketika seniman atau artis lain kehilangan jati diri dan idealismenya seiring kesuksesan, Tejo malah bersikap sebaliknya. Awalnya saya pikir ia sudah kaya dari hasil main film atau ngelukisnya sehingga nggak butuh duit dari nyanyi, ternyata nggak juga. Ceplas-ceplos dia bilang masih sulit mendanai tur gerilyanya.

Sangat jauh dengan album pertama yang kontemplatif dengan syair Jawa bermakna dalam -meski beberapa lagu kocak dan nyinyir khasnya Tejo-, ‘YAIYO‘ cenderung emosional dan literal. Semuanya tentang kritik sosial yang dibawakan pedas dan tanpa kalingan (terhalang). Ia bahkan menyebut ada satu lagu yang kalau dinyanyikan Live akan menyebabkan revolusi, akhirnya dalam sesi malam itu lagu tersebut hanya diputarkan rekamannya. Ada-ada saja, tapi itulah Tejo, seniman multi talenta yang berandalan dan membebaskan diri dari ikatan-ikatan.

Mungkin karena tidak dibayangi tuntutan label, album ini digarap dengan sebebas-bebasnya. Bintang Indrianto, bassis ternama yang dipercaya menata aransemen, secara liberal memasukkan bunyi-bunyian dari beragam suasana dan etnis. Diaduk senikmat kopi-karamel-krim-decaf yang saya sruput malam itu. Kabarnya Sujiwo Tejo selaku pemilik album tidak boleh melarang atau mencampuri arahan Bintang. Selain itu terlibat juga Viky Sianipar, musisi muda yang fokus pada musik etnis-kontemporer, menambah keragaman. Hasilnya adalah album yang merdeka baik musik maupun isinya.

Kalau Anda seperti saya yang tidak mengikuti metamorfosa Tejo, akan butuh waktu untuk beradaptasi dengan album ini. Karena saya yakin selera semua fans Tejo, terlayani oleh album pertamanya. Tapi bagaimanapun, album ini justru menunjukkan ekspresi Sujiwo Tejo yang sebenarnya, hanya masalah waktu sampai fans sejatinya menyukai. Dan sebagai produk budaya, album ini berada pada level tersendiri yang layak diapresiasi. Untuk mendapat hidangan yang lezat, kadang kita harus belajar melepas ego dengan tidak mendikte seniman atas karyanya dan menerima suapan apa adanya.