Friday, June 29, 2007

Blablabla tentang Yang di Atas

Please forgive me because I don't have enough time to translate Sujiwo Tejo's column that published weekly in Harian Seputar Indonesia every Friday. But I think it's necessary to know or get closer to him throuh his written. So I try to posting all his column by now. Thanks and I hope you all will enjoy those

BLABLABLA TENTANG YANG DI ATAS

Tadinya tulisan ini saya tujukan buat ibu-ibu tertentu. Ibu-ibu yang mendambakan putra-putrinya kelak punya pendapatan yang pasti per bulannya. Tiap akhir atau awal bulan tidak kelimpungan maupun berdebar-debar akan asap dapurnya sebulan ke depan.

Tapi seorang temen ngingetin, ya kalau kayak gitu mah setiap ibu-ibu kepengin. Ya, sudah. Ndak papa. Gus Dur bilang, “gitu aja kok repot.” Ya, saya tujukan saja tulisan ini buat semua ibu-ibu.

Bahwa, punya penghasilan tetap nggak mendorong manusia untuk senantiasa, setiap seperjutaan detik bahkan, ingat Tuhan. Selalu berharap-harap akan uluran tangan-Nya.

Bahwa, orang yang punya pendapatan tetap apalagi dengan segala tunjangannya, akan kerap terjebak dalam formalitas pengingatan Tuhan. Ia mengingat Tuhan setidaknya saat shalat, ke gereja, ke vihara dan sebagainya. Di luar itu Tuhan terlupakan.

Buat apa selalu mengingat-ingat Tuhan kayak kita selalu ingat kekasih? Hari ini setelah demam beberapa hari tiba-tiba anak dinyatakan positif demam berdarah, hari ini juga ia bisa membawanya ke rumah sakit dengan langkah pasti.

Beda dibanding kepala rumah tangga yang tak punya penghasilan pasti. Mau membopong anak ke rumah sakit, makin muncul “wajah” Tuhan yang sebelumnya telah muncul senantiasa. Mungkin sambil bergumam, “Tuhan, aku nggak ada uang. Kau tahu itu. Tapi anak ini adalah titipanmu jua, aku yakin, kau tak akan berpangku tangan. Never!”

Di rumah sakit, sambil membayangkan saat-saat kesembuhan anaknya, mungkin kepala rumah tangga itu akan berkata, “Tuhan, aku sudah nggak tahu lagi akan nyari uang di mana. Tapi aku akan berjalan. Entah ke mana. Bimbing dan arahkan langkah kaki dan hatiku, sehingga perjalanan ini menghasilkan duit buat bayar rumah sakit.”

Begitu dan seterusnya.

Ibu-ibu, bukankah indah memiliki anak yang selalu ingat akan Tuhannya? Yang berdoa secara sungguh-sungguh dan konkret, karena ketakutannya konkret, kecemasannya pun nyata? Yang doanya nggak basa-basi? Dan yang ingat akan Tuhannya bukan saja tatkala di mesjid atau gereja tapi melupakannya begitu berada di rapat kabinet, sidang di DPR maupun tempat-tempat kerja lainnya?

***

Ibu-ibu, kalau sampeyan kebetulan warga Surabaya kali aja pernah diajak melukis oleh Cak Kandar bersama seribuan lebih perempuan. Saya mau cerita, abis peristiwa besar yang belum lama berlangsung itu, saya ketemu Cak Kandar di kota yang sama.

Kaitannya dengan tulisan ini adalah penuturan Cak Kandar, yang dulu dikenal sebagai pelukis bulu ayam, di awal-awal karir keseniannya. Rezeki nggak mulus. Hidup setengah luntang-lantung. Tapi, katanya, justru dengan itu ia selalu ingat Tuhan. Sampai suatu hari, karena rezeki juga masih seret, ia marah-marah kepada kekasihnya…ya Tuhan itu.

“Waktu itu saya betul-betul marah. Sampai keluar dari mulut saya: Tuhan, kalau sampai pameran saya selesai dan Adam Malik (waktu itu wakil presiden) tidak melihat, aku tidak percaya kamu ada!” kisah Cak Kandar. Keesokan harinya ia merinding. Telepon yang ia angkat adalah dari protokol wakil presiden yang memberi tahu Adam Malik akan melihat lukisan Cak Kandar.

Bisa saja sih, kerja kantoran, dengan pendapatan fixed, tetap bakal membuat seseorang religius dalam arti mengingat Tuhan tak henti-henti. Tapi biasanya setelah melalui “tamparan” peristiwa nyata yang mau nggak mau bikin orang jadi religius.

O ya…sebelum berlanjut…agar tak rancu…Saya ingin bedakan religi dan religiusitas, yang saya sarikan dari pendapat almarhum Romo Mangunwijaya.

Religi itu agama. Religiusitas itu rasa kebertuhanan setiap saat. Orangnya disebut religius. Orang yang religius kemungkinan besar punya agama. Apapun agamanya. Tapi orang yang beragama belum tentu religius karena misalnya, ia cuma ingat Tuhan ketika shalat atau ke gereja, dan abis itu lupa Tuhan sehingga tingkah laku kesehariannya (ya korupsinya, ya tipu-tipunya, ya culas-culasnya) tak ada kaitan sama sekali dengan sajadah maupun gerejanya...

Kembali ke laaapt…eh ke topik. Ya, harus ada tamparan peristiwa konkret yang membuat orang-orang kantoran, yang beragama tapi tak religius, itu yakin bahwa Tuhan betul-betul ada dan nyata.

***

Dua pekan lalu seorang pegawai, staf senior saya, yang berkantor di kawasan Kuningan mengalami kecelakaan kecil di jalan raya. Dia bermobil, bersama teman sekantornya. Dan lawannya adalah pengendara sepeda motor dengan helm menutup wajah penuh-penuh.

Kecelakaan itu tak membuat berhenti kedua pihak. Tapi, karena kesal, ketika mobil kembali melaju, si bapak ini mengumpat abis pengendara sepeda motor. Temannya bahkan mengingatkan jangan sampai berlebihan nyumpahin. Masih juga bapak ini mengumpat, bahkan sampai nyumpahin agar pengendara sepeda motor itu mati.

Sesampai di kantor, telepon berdering. Yang ngangkat teman bapak itu. Berita duka. Ya, tak jauh dari kecelakaan tadi si pengendara sepeda motor kemudian terjatuh. Mati. Dan, ternyata, ia adalah anak si bapak itu sendiri.

Terserah ibu-ibu, tetap berkeinginan anak kelak punya penghasilan tetap dan biarkan religiusitasnya datang setelah “tamparan” peristiwa? Atau biarkan anak punya cita-cita nggak jadi orang kantoran? Musim liburan, musim yang penuh waktu buat ngobrol dengan anak-anak.

*H Sujiwo Tejo, Dalang Edan