Thursday, August 30, 2007

ADA SAJADAH PANJANG TERBENTANG…(2)

Ibu-ibu, kesanggupan saya pada Seputar Indonesia pekan lalu saya laksanakan kini. Inilah beberapa contoh orang yang tak mikirin diri sendiri dan keluarganya. Contoh orang yang, tampaknya, bahagia disebabkan oleh membahagiakan orang lain.

Ibu Sri Irianingsih (Rian), pendiri Sekolah Darurat Kartini di suatu kolong jalan layang kawasan Jakarta Utara, punya dua anak yang kini sudah berkeluarga dan mandiri. Kembarannya, Ibu Sri Roosyati (Rossy), yang juga bergerak dalam pendidikan gratis kolong itu, punya empat anak yang juga tak bermasalah.

Salah seorang anak Ibu Rian yang telah meraih pendidikan S2, tiba-tiba dapat beasiswa ambil program doktor (S3) ke Inggris. “Padahal baru setahun kerja di departemen pendidikan,” kata Bu Rian. Kelahiran Semarang 1950 ini mencoba menemukan kemungkinan rezeki itu.

“Mungkin rezeki itu karena hal yang saya lakukan sejak tahun 70-an (mengajar tak dibayar, malah kerap jual gelang, kalung dan lain-lain)...Padahal dulu waktu anak saya mau ambil doktor di luar negeri, saya bilang, gak usah. Ambil doktor di sini aja. Emang anak-anak yang kere itu gak perlu sekolah. Emang yang butuh sekolah kamu dewe…Eh, nggak tahunya…”

Sebenarnya Rian bisa mberangkatin sendiri anaknya ke luar negeri. Ada deposito kok. “Itu milik keluarga. Dihibahkan oleh ibu. Tapi untuk anak-anak miskin,” timpal Rossy yang sedang menulis buku. Maksud Rossy adalah keluarga tak mampu di sekitar jembatan Rawa Bebek, yang salah satu alumnusnya bahkan ada yang bisa melanjutkan di tempat bergengsi, Sekolah Internasional Gandhi.

Sekarang ganti, Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, MA. Puluhan tahun perempuan kelahiran Bone 1958 ini memperjuangkan kesetaraan pria-wanita. Karya-karya tulisnya antara lain Islam Menggugat Poligami (LKAJ, 1998), Potret Perempuan dalam Lektur Islam (Depag, 1999), Pedoman Dakwah Muballighat (KP-MDI, 2000), Perempuan dan Politik (Gramedia, 2005) yang ditulisnya bersama Anik Farida.

Para sejawatnya sering menyebut Siti Musdah “orang gila”, karena tiap hari kerjanya meneliti dan rapat yang gak ada uangnya. “Tapi saya merasa jadi orang yang berguna. Bisa membuat orang (perempuan) lain merasa nyaman, pada saat mereka tertindas,” katanya.

Timbal-baliknya, yang menarik, Bu Siti Musdah mengaku ditolong Tuhan dalam dua hal. Pertama, ia merasa pede aja meski nggak pakai handphone bagus, tas atau jam bagus. Kedua, selalu ada saja teman-temannya yang membelikan jam, tas dan aksesoris lainnya.

Akhirnya ia berkesimpulan, “Semakin banyak yang kita berikan, semakin banyak yang kita dapat. Memang tak harus materi seperti jam. Tapi (kesehatan) keluarga juga. Saya merasa keluarga saya ada yang melindungi.”

***

Ibu-ibu, sudah sekitar setahun saya nggak melakukan ini dalam keluarga: Kalau pas makan bareng anak-anak di rumah-rumah makan, saya minta anak-anak mencuri-curi pandang keluarga-keluarga lain di tiap meja. Mereka saya minta menebak-nebak, keluarga sebelah mana yang cuma mikirin keluargaaaaa terus, dan keluarga meja mana yang punya kepedulian pada orang lain.

Itu bisa tampak dari cara mereka makan. Itu bisa tampak dari cara mereka memperlakukan pelayan. Bisa tampak pula dari raut wajah mereka. Asyik atau nggak. Ini nggak ada hubungannya dengan ganteng atau cantik. Banyak yang rupawan, tapi nggak asyik. Dan sebaliknya.

Saya tahu, keliru menghentikan kebiasaan ini. Jadwal saya kacau balau. Tapi, ya, itu bukan excuse. Mestinya anak-anak terus saya latih. Dan mestinya makin banyak keluarga yang melatihkan ini pada anak-anaknya. Sehingga kelak presiden, gubernur, bupati maupun anggota parlemen yang cuma mikirin keluarganya gak bakal tercoblos. Wong dari pajangan foto aja bisa kerasa kok. Itu kalau kita setia pada perasaan yang terasah.

Mau gak ganteng, mau gak cantik, orang yang mikirin orang lain itu ya fotonya ya sosoknya bawa hawa yang adem. Saya ketemu Ibu Dewi Soedarjo misalnya, adem. Sayangnya ini bukan contoh yang bagus, karena ibu ini cantik. Tapi saya cuma yakin kalau misalnya gak cantik dia akan adem juga lho.

Adem karena mikirin orang lain alias liyan. Lingkungan Darmawangsa Residences di Jakarta menjuluki perempuan 45 tahun ini the power of service. Prinsipnya, minimal 10 persen dari penghasilan harus dikeluarkan buat sesama. “Termasuk kalau anak saya dapat hadiah uang dari neneknya, dia harus keluarkan paling kurang 10 persen,” kata puteri Solo yang beranak tiga ini.

Jadi setiap orang datang minta uang, dikasih?

Dewi mengangguk. “Jumlahnya saja yang tergantung hati saya. Tapi saya jarang menunda. Karena Tuhan juga tidak pernah menunda permintaan saya. Saya banyak dapat berkah dari Tuhan. Itu harus menjadi berkah buat lingkungan,” katanya.
Hasilnya, kalau boleh berkalkulasi dengan Tuhan, rumah yang dibelinya kini di kawasan Cipete tidak angker lagi. Padahal pemilik-pemilik sebelumnya kalau nggak meninggal ya sakit-sakitan. Beberapa dukun telah didatangkan ke tempat itu, termasuk dari Filipina. Mikirin orang banyak ternyata lebih ampuh dari kekuatan dukun.

Wah, dari tadi ibu-ibu ya. Ya udah, saya kenalkan dengan Ahmad Suwandi ya? Dia aktivis Fauna & Flora International. “Eh, pernah suatu siang, tiba-tiba ada orang yang mau membayari hutang saya yang sudah lama banget,” katanya. Dan itu baru secuplik pengalaman anehnya.

*Sujiwo Tejo, Dalang Edan

*Dapatkan SMS berlangganan dari Dalang Edan Sujiwo Tejo tentang cara berbagai hal dipandang dari dunia pewayangan. Caranya, ketik reg pde1, kirim ke 9388, Tarif Rp 1.000/SMS. Apabila Anda ingin berhenti, ketik unreg pde1, kirim ke 9388

Wednesday, August 22, 2007

ADA SAJADAH PANJANG TERBENTANG...(1)

Toilet umum masih penuh berkah. Di peturasan itu saya sering jumpa tokoh-tokoh yang saya diem-diem pengin ngobrol.

Belum lama saya bisa ketemu tiba-tiba kepergok Yok Koeswoyo di suatu toilet di Senayan. Pekan lalu ketemu penyair Taufiq Ismail. Ndak pake rencana. Itu di toilet umum juga. Di Menteng.

Dia kaget. Soalnya begitu kepergok saya langsung minta maaf. “Ini ada apa?” katanya sambil merapikan diri sehabis buang air.

“Pokoknya saya mau minta maaf, Mas. Di berbagai forum terbatas yang tidak ada pers, saya selalu mengkritik Mas Taufiq. Kadang sangat emosional. Gara-garanya ya lagu Bimbo. Mas Taufiq nulis syairnya. Itu lho yang ada kalimat…sajadah panjang terbentang dari buaian hingga ke liang kubur…”

Dokter hewan dan penyair kondang ini masih bengong.

“Lagu itu sudah bagus-bagus ngingetin kita, betapa sembahyang yang sejati terselenggara di sepanjang hidup, tanpa ada jadwal. Sajadahnya sepanjang waktu kelahiran sampai tanah makam…Eh, masa’ terus ada kalimat, sembahyang yang panjang itu disela-selai dengan interupsi, mencari nafkah, mencari rezeki dan lain-lain…”

Pemahaman kayak gini, menurut saya, bikin masyarakat amburadul. Nggak ada yang mikirin. Setelah sembahyang (ke masjid, gereja, vihara, kuil dan lain-lain), orang pada sibuk mikir diri sendiri. Korupsi dan lain-lain. Aktivitas kesehariannya ndak ada hubungannya dengan sembahyangnya.

Pantesan dalam mencari rezeki, orang merasa halal korupsi. Dengan kata lain, orang boleh nggak memikirkan dampak negatif bagi orang banyak. Yang penting diri dan keluarganya untung. Toh ini cuma interupsi. Toh ini sementara saja, mumpung lagi luar rel “sajadah panjang”.

Padahal, kalau saya nggak salah ingat, setiap agama punya semangat sosial. Malah ada yang bilang, sembahyang yang sebenarnya ialah berbuat kebajikan buat orang banyak. Ini nggak ada jadwalnya. Ini sepanjang waktu. Ini juga kerap dibilang dalam wayang.

Sembahyang formal dan ada jadwalnya terhadap Tuhan baru punya nilai di depan-Nya, kalau makin kuat menggerakkan orang untuk melakukan perbuatan bagi sesama. Sembahyang individualnya menjadi laksana generator yang membangkitkan energi sosial.
Saya pikir Mas Taufiq marah. Di depan cermin toilet, tokoh ini justru ketawa. “Anda benar,” katanya dengan suara khasnya yang serak. “Itu teknis saja. Waktu saya tulis saya sulit mencari kata-katanya. Begitu saja keluar kata interupsi, “ jelasnya.

***

Ramadhan sudah dekat, Ibu-ibu. Biasanya di bulan itu lagu-lagu Bimbo berkumandang. Kini ibu-ibu udah saya ceritain. Penulis liriknya sendiri sudah mengaku keliru. Jadi, sebelum Mas Taufiq meralat, mungkin baik juga ibu-ibu kasih tahu suami atau anak yang mendengarkan tembang itu.

Please bilang, “Mencari rezeki dan lain-lain bukan interupsi lho…Itu bagian yang sah dari sembahyang panjang di atas sajadah panjang…”

Menyanyi. Menulis. Jadi presiden maupun penjaga pintu rel kereta api. Semuanya mesti diniatkan menjadi bagian yang sah dari sembahyang panjang. Melawak. Bekerja di rumah jagal. Menjual jamu gendongan maupun jadi menteri dan lain-lain. Seluruhnya mesti diniatkan terselenggara di atas sajadah panjang, muka bumi. Tak ada interupsi! Tak ada intermezo keluar dari jalur sajadah panjang. Tak ada…

Maaf, Ibu-ibu, belakangan ini tulisan saya jadi serius. Saya diingetin teman, perempuan lebih suka pemikiran praktis-praktis saja. Tapi persoalan bangsa ini, kebersamaan bangsa ini, sudah demikian parahnya. Penyelesaiannya tak bisa lagi cuma dengan dasar pikiran praktis.

Saya harus kembali mengimbau, terutama kepada saya sendiri dan keluarga, bangsa yang carut-marut ini bisa perlahan ditata jika semakin banyak orang merasa bahwa seluruh aktivitas dunianya terselenggara di atas sajadah panjang. Seluruhnya jadi bagian yang sah dari sembahyang panjangnya. Artinya, aktivitas itu harus bermanfaat bagi sebanyak mungkin orang atau paling apes, tidak merugikan sesama.

***

Dan kenapa saya harus matur ke kaum ibu tentang dasar pemikiran nggak praktis ini? Karena perempuan secara umum, lebih cenderung mikirin keluarganya sendiri. Salah-salah, kalau nggak kuat banget prinsipnya, suami juga bisa kebawa cuma mikirin keluarga.

Ini nggak salah. Mungkin alami ya…Mungkin emang sudah kodratnya. Kalau saya lihat siaran flora dan fauna, betina memang cenderung jauh lebih protektif terhadap anak-anak ketimbang yang jantan. Betina jauh lebih ganas dan beringas ketika mempetaruhkan hidup keturunannya.

Tapi dalam situasi orang saling ber-jibaku mikirin diri sendiri dan kehidupan berbangsa jadi nyaris remuk ini, saya tak melihat jalan keluar lain. Titik terang penyelesaian masalah itu cuma saya lihat ketika kaum ibu mengikhlaskan diri dan suaminya, untuk lebih berguna bagi banyak orang. Tak cuma mikirin keluarganya.

Waduh, ruang tulisan hampir abis. Saya sambung pekan depan saja. Semoga Ibu-ibu masih punya waktu lagi buat baca. Saya akan kasih contoh-contohnya.

Banyak contoh, ibu-ibu yang mikirin masyarakat, asal tanpa pamrih, suaminya jarang selingkuh. Jarang kemalingan. Hantu di rumah pergi tanpa perlu bantuan gaib. Anak-anak jarang sakit serius. Tunas-tunas hari depan itu akan mendapatkan rezeki dari masyarakat juga. Abis ini ya? Swear.

*Sujiwo Tejo, Dalang Edan
*Dapatkan SMS berlangganan dari Dalang Edan Sujiwo Tejo tentang cara berbagai hal dipandang dari dunia pewayangan. Caranya, ketik reg pde1, kirim ke 9388, Tarif Rp 1.000/SMS. Apabila Anda ingin berhenti, ketik unreg pde1, kirim ke 9388
*Tulisan ini diterbitkan di Harian Seputar Indonesia, 24 Agustus 2007

Sunday, August 19, 2007

Kalau Anjing Bisa "Ngomong"

Saya tanya ke anjing. Kamu cinta nggak ma manusia? Anjing menjawab: Ah lo pura-pura kagak ngarti ya?

Bukan gitu. Persoalannya saya kurang yakin aja. Saya cuma pernah dengar. Di Jepang, di depan suatu stasiun kereta api, ada saudaramu yang lama bengong di situ. Nggak mau makan-minum. Menunggu karib manusianya pulang. Ternyata manusia itu curang. Dia nggak pernah pulang. Anjing itu pun mati di depan stasiun. Iya, kan?

“Ah, guk guk guk…sebenarnya legenda besar itu cuma contoh kecil dari besarnya cinta kami pada manusia…guk guk guk…”

Ya, udah. Gak usah judes gitu. Sekarang ganti saya tanya aja pada manusia. Sampeyan semua bener-bener cinta nggak sih ma anjing? Atau cuma sekadar style? Sama halnya sampeyan nggak cinta sungguh ke kekasih, tetapi berusaha menggaetnya agar bisa gaya di depan khalayak? Terutama di pesta-pesta sehingga sampeyan ma pasangan dijepret wartawan foto, masuk tuh ke majalah-majalah pesta yang kini makin marak?

Iya. Iya. Saya tahu. Sampeyan telah bersusah-payah buat anjing. Rela merogoh sampai Rp 200 ribuan untuk anjing Kintamani anakan aja. Atau sampai Rp 1 juta kalau usianya udah 3 bulanan. Belum buat parfum anjing yang berkisar Rp 20 ribuan untuk produk lokal dan sampai Rp 100 ribuan buat pewangi impor.

Saya tahu itu. Belum untuk anjing jenis lain yang harganya bisa sampai puluhan juta rupiah. Belum biaya salonnya. Belum kalau tiap bulan mesti ke Singapura belanja perlengkapan dan kebutuhan anjing. Ada yang mengaku rata-rata sekali belanja abis sekitar Rp 5 jutaan.

Saya tahu itu. Apalagi ajakan buat mencintai anjing juga makin marak. Najis atau nggak-nya anjing juga banyak yang menafsir ulang. Setahu saya tokoh kebangsaan dari kalangan Islam seperti almarhum Nurcholish Madjid juga nyaranin kita mencintai anjing.

Itu pula ajaran Cak Nur, panggilannya akrab, kepada keluarganya. Di lingkungan RT/RW-nya, keluarga ini dikenal sebagai penyayang hewan termasuk anjing. Prinsip, tak ada ciptaan Tuhan yang hina, apalagi telah terbukti anjing berjasa pada keamanan lingkungan dari kriminalitas.

Ya. Duit udah keluar buat anjing, sampai ke urusan perawatan kuku. Saran untuk mencintai anjing, dalam arti juga nggak mendiskriminasikan ciptaan Tuhan sudah kerap kita dengar. Tapi kembali ke pertanyaan: Sampeyan bener-bener sudah cinta anjing nggak?

Kalau ke Puntadewa alias Yudhistira dalam wayang, saya sudah nggak perlu tanya itu lagi hehe…Cintanya pada anjing sudah proven. Oleh penjaga gerbang sorga, Yudhistira dilarang masuk firdaus itu kalau ia terus bersama anjing yang tiba-tiba mengikutinya.

“O, ya sudah,” jawab sulung Pandawa ini, “Kalau gitu ndak usah masuk surga aku juga ndak patheken. Anjing ini aku nggak tahu siapa namanya. Tiba-tiba ikut aku sejak aku menjelang mati. Setelah di depan sorga ini aku tidak mungkin menghardiknya pergi. Mending aku masuk neraka saja…”

O, bumi gonjang-ganjing…Bareng dengan ucapan lirih Sang Puntadewa itu, anjing yang bernama Lingga-Maya kembali ke wujudnya yang sejati, Dewa Darma.

Eh, sori, kegoda wayang sampai lupa, saya tadi nanya apa ya ke sampeyan?

*Sujiwo Tejo, Dalang Edan

*diterbitkan di rubrik "Frankly Speaking" - area magazine, edisi 93 / Agustus 2007

Nuklir dan Helm Kambing

Ibu-ibu, saya ketik tulisan ini menjelang berangkat ke Semenanjung Muria, Jawa Tengah, tempat bakal dibangun pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Kira-kira 40-an km dari Jepara. Tepatnya di kecamatan Kembang, Desa Balong, di kawasan yang dipercaya sebagai petilasan Wali Syech Siti Jenar.

Sore sebelumnya saya di-SMS bahwa masyarakat Balong minta lakon Dewa Ruci ditambah jadi Dewa Ruci Tolak PTLN. Wah, bagi saya lakon asli “Dewa Ruci” jadi kebablasan gaul kalau mesti diimbuhi “tolak PLTN”.

Ini kan lakon agak sakral, tentang pertemuan Bima dengan Tuhan, sama halnya mitos tentang Syech Siti Jenar yang manunggal dengan Tuhan (lantas disalah-tafsirkan oleh masyarakat pada masa itu).

Ini kan lakon yang tema dominannya soal sembahyang tertinggi. Bahwa puncak sembahyang bukanlah formalitas menyembah, tapi berbuat kebajikan buat orang banyak.
Dalam segi lakon Dewa Ruci, untuk konteks Indonesia, sembahyang tertinggi hari ini adalah membuka lapangan kerja, memperbaiki pendidikan misalnya melalui perjuangan agar anggaran pendidikan mencapai minimal 20 persen APBN sesuai Undang-undang, menyelenggarakan rumah sakit dan obat-obatan untuk kalangan tak mampu dan sebagainya.

Itulah sari pati cerita Dewa Ruci. Tapi ya udahlah. Kompromi. Saya usul, dan akhirnya diterima masyarakat Balong, lakonnya jadi Dewa Ruci Mikir Nuklir. Karena menolak PLTN di zaman kayak gini agak riskan.

Gimana mau nolak? Negara yang pengin maju mesti punya tenaga nuklir. Perdamaian kan terwujud kalau setiap negara di dunia punya senjata andalan. Bukankah dosen kewiraan kita dulu bilang, kalau ingin damai bersiaplah perang. Maksudnya, kalau setiap negara punya gigi, negara lain tak akan seenaknya main serang.

Saya kira kok soalnya bukan menolak PLTN. Soalnya cuma memikirkan, apakah tabiat bangsa ini sudah memenuhi syarat untuk mengelola nuklir yang penuh risiko itu? Ya soal disiplinnya. Ya soal kebutuhan akan rasa amannya. Dan sebagainya.

Wong kecelakaan transportasi bolak-balik terjadi. Gara-garanya ya balik ke situ-situ lagi. Faktor manusia. Ya kelengahan pengemudi (pilot, masinis). Ya kelengahan perawatan mesin maupun pengaturan jalur.

Saya khawatirnya PLTN ini jadi kayak demokrasi. Mentang-mentang demokrasi lagi musim, dan didukung mitos bahwa demokrasi adalah yang terbaik di dunia, maka semua negara ikut-ikutan demokratis.

Padahal, seperti berkali-kali saya matur di forum ini, syarat demokrasi itu tingkat pendidikan masyarakat relatif tidak terlampau timpang. Doktornya banyak. Tapi jauh lebih buanyak lagi yang nggak tamat SD dan buta huruf. Perbedaan tingkat kekayaan masyarakat juga tidak terlalu njomplang.

Sebelum syarat itu terpenuhi…ya…bentuk formalnya sih demokratis. Tapi pemilih akan terus-menerus dibodohi oleh partai dan calon-calon pemimpin. Dan yang jadi pemimpin eksekurif maupun elite partai adalah orang-orang dari jaringan kelompok kaya-raya yang itu-itu juga.

Dalam konteks ini, dan 62 tahun merdeka, kasak-kusuk yang makin santer agar kita balik lagi ke bentuk kerajaan perlu kita beri perhatian serius.

***

Sekitar 2 pekan lalu, di Blok M, Jakarta, saya melihat ada helm asyik. Bukan saja pelindung kepala ini dilapisi bulu kambing. Gila, sekalian tanduknya dipasang. Sekali lagi asyik. Saya seneng juga lihatnya. Ini cara yang baik buat mengusir stres, baik stres yang menonton maupun yang jadi tontonan, stres karena Indonesia gini-gini terus.

Tapi, Bu, kalau dia terjungkal, dan yang kena aspal duluan adalah ujung tanduk, bukannya leher si orang asyik itu lebih mungkin patah? Kenapa juga otoritas yang mengatur tertib berkendara, polisi, tak ambil tindakan?

Itu di darat, Bu. Di udara, bukannya dalam 62 tahun merdeka ini kita masih sering lihat orang naik menara, membetulkan listrik atau apa, telanjang kaki dan tanpa sabuk pengait. Bukan itu saja, satu tangannya biasanya masih sempat-sempatnya pegang rokok. Dia bergelayutan di ketinggian rangka besi sambil klepas-klepus ngeluarin asep.

Yang ini juga bukan di darat. Tapi tak terlalu tinggi seperti di menara. Yaitu di atas gerbong kereta api. Saya selalu heran kenapa ini nggak ditambahkan pada Tujuh atau Delapan Keajaiban Dunia. Ajaib dong! Di atas gerbong mereka bisa berbaring tidur, tanpa pembatas atau penghalang yang bisa menahan pergeserannya akibat kemiringan rel dan gaya lontar ketika kereta api belok.

Kalau Ibu-ibu pedagang sayur pasar pagi masih mending. Mereka tidur di bagian paling belakang mobil bak, di atas tumpukan sayur. Tapi kan sayur beda ma atap gerbong. Atap gerbong lebih masif. Sayur masih ada empuk-empuknya dan “nelan” badan, sehingga orang yang tidur di atasnya relatif lebih terlindung untuk kegeser atau terlontar.
Dan masih banyak contoh lain.

***

Menolak PLTN berarti menunggu masyarakat siap. Masyarakat siap, prosesnya bisa dibiarkan alami. Atau proses itu tidak diserahkan ke alam penuh-penuh, jadi tidak alami, tapi diberi sentuhan kebudayaan dikit. Jadi cepet.

Dari hal yang kecil-kecil aja. Yang penting menempa disiplin dan mempertinggi kebutuhan akan rasa aman. Misalnya, Ibu-ibu selalu wanti-wanti dan keras kepada anak, agar setiap buka pintu mobil, mereka harus menengok ke luar-belakang mobil lebih dulu. Setiap mau nutup pintu mobil, mereka harus menyapukan mata ke rangka pintu karena sering kali ada jari atau lengan dari penumpang depan atau belakang. Sering juga masih ada betis orang karena tumit masih di aspal.

Kalau Ibu-ibu keras, lama-lama anak-anak akan punya naluri itu setiap buka-tutup pintu mobil. Punya naluri serupa untuk aktivitas lain yang lebih luas sehingga kita siap ber-PLTN.

*Sujiwo Tejo, Dalang Edan

*diterbitkan di Harian Seputar Indonesia - 18 Agustus 2007

17 AGUSTUS-AN DI SEMENANJUNG MURIA

Dikarenakan adanya undangan mendadak yang baru dikonfirmasikan Jumat kemarin ini (10/8/07), maka Sujiwo Tejo bersama Bintang Indrianto dan sahabat-sahabatnya, dengan sangat terpaksa membatalkan penampilannya ber-17-an di MoE-Jazz&Lounge, Bintaro Jaya sektor 3A, pada Jumat 17 Agustus malam.

Rombongan "Presiden YAIYO" yaitu Sujiwo Tejo bersama "Menhankam/Pangab" Bintang Indrianto dengan deretan para "Kepala Staf"-nya yaitu Kiki Dunung-Taufan Irianto-Imam Garmansyah akan tampil di Semenanjung Muria, sekitar 40km dari kota Semarang, pada tanggal 17 Agustus 2007.

Pada 16 Agustus siang, rombongan akan berziarah ke makam Syeikh Siti Jenar. Lalu malamnya, Sujiwo Tejo akan melakukan wayangan, mendalang, dengan mengambil cerita, Dewa Ruci.

Menurut Sujiwo Tejo, dirinya dan grup diundang untuk memeriahkan HUT Kemerdekaan RI di Muria, dimana pada 17 Agustus pagi hari mereka juga akan turut serta dalam upacara bendera.

Penampilan "Presiden YAIYO" di Muria, semata-mata bukan karena mereka memilih "berpihak" kepada para penentang pembangunan PLTN Muria, tapi karena kehadiran mereka untuk mengajak semua pihak bersukacita saja, "Mari sama-sama kita bergembira, ikut merayakan 17-an. Saya memilih berada di tengah-tengah, saya menghargai perbedaan pendapat. Berbeda pendapat boleh saja, asal semua dilakukan dengan saling menghormati dan saling pengertian."

Intinya, menurut Tejo, mereka memilih berada di tengah-tengah rakyat di kawasan Muria sana. Kita datangi mereka, dan kita ingin sekali menghibur mereka.

Menurut Sujiwo Tejo dan disetujui pula oleh Bintang Indrianto bahwa, "Presiden YAIYO" tetap merencanakan "mengunjungi dan menghibur" rakyat seputaran Bintaro di MoE-Jazz&Lounge pada acara JAZZIEST-Night, kemungkinan dijadwalkan pada Jumat, 31 Agustus 2007.

”Bintaro tetap kok akan dikunjungi karena rakyat di sana pasti juga butuh hiburan dari kami kan?”, ucap Tejo. Dan, tambah Bintang, karena memang acara jazz di sana cukup menarik dan kami tertantang banget untuk nge-jazz abis di acara itu. "Tentu saja, jazz-nya Presiden YAIYO dong. Eh apa bener sih kita ini nge-jazz, aku gak ngerti sebetulnya.....," ucap Tejo lantas tertawa, dan Bintang pun juga ikut tertawa lebar.

Oh ya, juga disampaikan kabar gembira, yang sangat patut untuk disyukuri bahwasanya album YAIYO sudah masuk cetakan ketiga! Pada akhir minggu ini sudah masuk lagi order 1000 CD tambahan, dikarenakan 2000 CD sebelumnya sudah habis terjual. Terima kasih banyak untuk seluruh pencinta musik yang sudah memberikan respon positif dan perhatiannya kepada album YAIYO.

Thursday, August 16, 2007

REVIEW KONSER YAIYO (2)

PRESIDEN YAIYO Bertemu Rakyat
Mengajak Damai dan Tersenyum Ramai Ramai

JAKARTA, YAIYO – Harapan masih ada, ucap lantang Presiden YAIYO di hadapan masyarakatnya. Masih akan ada (Harapan), tegas Presiden YAIYO, yang mendapatkan sambutan riuh dari masyarakat yang memenuhi lapangan alun-alun ibukota, Jakarta, kemarin siang.

Permintaan sang Presiden, agar semua elemen masyarakat tetap semangat, terus berjuang tapi tetap santai. Janganlah saling membenci, jangan saling menjatuhkan, janganlah memelihara permusuhan. Semua masalah, ucap Presiden, adalah milik semua. Bukan hanya milik golongan, keluarga, kalangan tertentu saja. Maka, lanjutnya, semua pihak tanpa terkecuali harus saling bantu membantu,melepaskan diri dari masalah tersebut.

Presiden meminta jajaran para pembantunya, para menteri kabinet YAIYO, untuk hati-hati jangan sampai mereka terlena di laut tangis rakyat. Hati-hati jangan mereka haha hihi di laut keringat rakyat. Pesan Presiden dengan tegas, sambil mengepalkan tangan Presiden berucap lantang, "Awas awaslah di gunung kesabaran rakyat". Para menteri hendaknya, mawas dirilah di gunung kesabaran rakyat!

Sementara itu, ternyata sang Presiden juga adalah pelukis. Ia pun tak ragu menjual lukisan-lukisan potret dari berbagai kalangan, dan dari situ dengan jujur dan tegas Presiden menyatakan,"Bagi mereka yang membeli lukisan saya memang karena suka, sungkan, nggak tega maupun terpaksa, terima kasih sebesar-besarnya. Merekalah produser eksekutif album rekaman saya ini."

Seorang Presiden, ketika masih aktif, menghasilkan album rekaman? Betul sekali, ini album rekaman musik. Musiknya campur sari, gado-gado, diulek jadi satu ditaburi berbagai bumbu yang kemudian diguyurkan sedikit air di atasnya….

Mungkinkah seorang Presiden menghasilkan sebuah album rekaman? Sang penata musik mengungkapkan, ia seolah seperti lahir kembali menjadi seorang menteri. Ia merasa begitu terhormat ketika diberi tanggung jawab mengatur dan "mengelola" musik untuk Presidennya. Dan ia kemudian memang diberi wewenang penuh oleh sang Presiden.

Dengan wewenang resmi di tangan, sang pengatur musik dengan sigap dan segera, melarang sang Presiden campur tangan urusan musik. Diapun melarang keras sang Presiden melanjutkan kesenangannya memainkan pelbagai alat musik. Cukup bermain trumpet selain bernyanyi, tegas si musisi. Dan sang Presiden pun mengatakan,"Dia (si musisi pengatur musik itu) adalah satu dari hanya segelintir orang yang tidak bisa, tidak sanggup saya marahi…"

Malah si penata musik melangkah lebih jauh, ia pun dengan tegas melarang sang Presiden melakukan rekaman ulang suaranya. Kabarnya, sang musisi mengaku puas dengan isian vocal yang sebenarnya "guide" vokal dari sang Presiden. Menurut sumber yang layak dipercaya, sang Presiden mengikuti begitu saja perintah sang musisi yang amat sangat dipercayainya itu.

Negara Kesatuan Republik YAIYO

Itulah sekelumit kisah dari Negara Kesatuan Republik YAIYO. Negara tetangga kita. Tapi kenapa ini malah menjadi seperti mata acara di salah satu stasiun televisi swasta? Yang pasti, yang tidak boleh melakukan take vokal lagi, untuk mencoba menyanyi dengan "benar" itu adalah sang "Presiden" yaitu Sujiwo Tejo. Mantan wartawan, dalang "kontemporer", rambut ikal panjang, sutradara pertunjukkan teater, penulis, berbadan tidak terlalu kurus, pemusik multi instrumentalis, aktor, pencipta lagu, tertawa keras ngakaknya khas….dan lalu, siapa yang tidak kenal?

Sementara sang musisi bernama Bintang Indrianto. Bassis sejak era trend musik jazz/fusion tahun 1980-an, bergabung dengan banyak grup-grup ternama, sempat menjadi session-player laris untuk show dan rekaman. Kini makin tegas dan jelas, menjadi bassis sekaligus produser musik jazz dengan hasil garapan yang kian diperhatikan khalayak ramai.

Ini adalah cerita seputar garapan album gres dari Sujiwo Tejo, yang bertajuk, YAIYO, album keempatnya. Dan kali ini memang banyak perbedaannya dibanding tiga album sebelumnya. Ia menyanyi bahasa Indonesia sepenuhnya kali ini. Ia tidak lagi mengurusi hingga sektor aransemen. Dan iapun berjuang, berjalan sendirian. Pilihannyapun, bergerilya penuh semangat. Antara lain kelihatan jelas, ia menjual album keempatnya dalam format compact disc ini dari mulut ke mulut, teman ke teman, kerabat ke kerabat.

Dijual dengan bandrol relatif murah, di bawah harga yang umum untuk sebuah produk album musik lokal versi compact disc. Niatnya, biar supaya lebih banyak masyarakat dapat menerima, menikmati dan terhibur oleh album keempatnya ini. Sebuah langkah jelas yang jadi pembuktian ampuh, bahwasanya musik dalam albumnya kali ini memang mengajak rakyat semua bersama-sama menghibur diri. Bukankah menghibur diri juga adalah hak setiap rakyat?

YAIYO Anak-Anak dan YAIYO Kritik Sosial

Menyoal kemasan musiknya, yang digarap seksama oleh Bintang Indrianto, memang beragam unsur-unsur musik dapat terasakan bunyi-bunyiannya. Aneka macam musik dicampur jadi satu, diblend dalam waktu cukup, dan lantas siap dihidangkan! Pada banyak lagu, ada pola melodi dolanan anak-anak, diambil dari berbagai macam etnis, yang menjadi dasar lagu. Tak heran, kalau saja ingatan kita masih baik, kemungkinan telinga kita akan langsung cepat menjadi akrab.

Dolanan anak-anak menjadi fondasi dasar untuk bangunan kritik sosial yang bertebaran di semua lagu karya Sujiwo Tejo kali ini. Menurut sang Presiden eh Sujiwo Tejo, ia melihat sekeliling, lagu-lagu kritik sosial belakangan tak lagi terdengar. Tapi, lanjutnya, bukan lantas kritik harus pedas, menyerang dan mengoyak-oyak. Bukan lagi jamannya saling serang menyerang berapi-api, sudah tidak masanya lagi menyuburkan permusuhan!

Kritik sambil tetap santai, penuh canda, rasanya jauh lebih nikmat. Tidak perlu menampar tapi lebih bijaksana menggelitik saja. Jadi semua pihak bisa tersenyum. Kalau senyum terus disunggingkan, maka kedamaian akan lebih terasa. Damai yok Damai, tersenyumlah ramai ramai….Itulah ajakan Sujiwo Tejo. Bintang menimpali, kritik tapi dengan swing dan blues jadi bakalan tetap sejuk dan nyaman deh….

Kali ini Sujiwo Tejo dikawal oleh Bintang Indrianto berikut para "Kepala Staf Musisi"nya. Seperti Taufan Irianto Makasar, "Kepala Staf" drums. Ada lagi Imam Garmansyah Bandung, "Kepala Staf" keyboard. Kemudian masih ada "Kepala Staf" perkusi kendang dan saksofon. Dan 10 repertoar baru Sujiwo Tejo mengisi album keempatnya, yang sebagian besar telah disiapkan untuk dihidangkan kepada para penonton malam minggu, 4 Agustus kemarin.

Oh ya, malam kemarin itu adalah konser akrab "Sang Presiden YAIYO" di ibukota. Setelah menggaet sukses dalam kesempatan konser di Surabaya lalu Solo dan Malang, lengkap dengan cerita "bonus" berhasil menjual 1000 keping compact disc dalam kurun waktu seminggu saja! Maka kini giliran ibukota Jakarta nan metropolitan yang disinggahi, bukan untuk melakukan "sekedar" temu wicara apalagi menggelar acara kelompencapir, tapi untuk mengajak publik ramai ramai bersukacita bareng, sama sama menghibur diri.

Konser Akrab Presiden Yaiyo ini terselenggara atas kerjasama Semarmesem dengan Toba Dream Family Café, dengan didukung Indiejazz. Tak lupa berkat dukungan dari Otomotion 97,5FM, C n J 99,9 FM dan Pro2 FM 105. Dan turut "bergabung", "panglima" tamu yang tak kalah sohor namanya, Viky Sianipar.

Dan bagaimana kejadian sesungguhnya dari konser Saturday Night itu? Yang pasti, Sujiwo Tejo berkostum putih-putih asyik bergoyang, berjoget, melompat dan tetap tertawa lebar. Aktif mengajak penontonnya terus sukacita, ikut bergoyang. Penonton menimpalinya dengan keplok-keplok tangan berirama mengikuti lagu, atau juga tertawa ramai menyambut guyonan dan sentilan Tejo.

Tejo lantas berganti kostum sarung hijau, lalu sempat bertelanjang dada. Sujiwo Tejo sempat-sempatnya pula memanggil Emha Ainun Najib untuk didaulat membawakan puisi, dan dijawab Emha nggak siap nanti saja. Emha malah digiring Tejo "berdakwah" segala. Lalu juga Jenderal Wiranto yang purnawirawan digaetnya naik pentas, biasalah berpidato sejenak dan bilang tidak sedang berkampanye, lalu mengalunlah lagu `Tuhan'nya Bimbo oleh beliau. Para musisi mengiringi sangat jazzy dan "usil", jenderalpun menebar senyum.

Di deretan penonton masih ada Sukardi Rinangkit dari Soegeng Sarjadi Syndicates, ada wakil-wakil dari petinggi Negara ini, ada beberapa artis seperti Sita RSD hingga Inggrid Wijanarko dan Sumita Tobing. Lalu tentu saja terselip puluhan fans "fanatik" Sujiwo Tejo, ada yang datang dari Bogor, Bekasi bahkan Tangerang dan Serang!

Sang "Presiden YAIYO" tak sanggup berkata-kata lagi hanya bisa kembali menebarkan senyum lebar dan tertawa ngakak khasnya. "Panglima" Bintang Indrianto juga hanya melempar senyum, begitupun halnya dengan para "kepala staf musisi" lainnya. "Panglima tamu" Viky Sianipar, notabene dia juga adalah sekaligus pemilik tempat pertunjukkan tersebut, dengan baju "pinjaman" dari sang "Presiden YAIYO" juga hanya dapat tertawa dan sibuk menyambut uluran ucapan selamat para penonton.

Sayangnya, acara sukses begini ternyata luput dari perhatian teman-teman wartawan, baik itu dari kalangan media cetak maupun media elektronik. Kemungkinan dikategorikan sebuah acara biasa yang dianggap tidak penting untuk disaksikan. Sangat biasalah, untuk jenis musik-musik "pinggiran" atawa musik segmented, sebuah pola pandang yang selalu dipelihara terus jaman ke jaman. Tema sentral penampilan Sang PRESIDEN dengan musik jazz, agaknya bukanlah sesuatu yang menarik. Apalagi hanya seorang "PRESIDEN YAIYO" yang nge-jazz, nge-blues, nge-progressive....

So, what's next, Mr. President? Well, anjing menggonggong kafilah jalan terus, malah ngebut....Di depan mata, menurut juru bicara kepresidenan Yaiyo, ada jadwal menyinggahi lagi beberapa kota bahkan tengah digodok kemungkinan Presiden YAIYO melakukan "perlawatan" ke Sulawesi, terutama Makassar dan Donggala dalam waktu dekat ini. Menurut sang jubir, Presiden sangat berkeinginan menjumpai rakyatnya dimanapun berada, agar supaya semuanya bisa "berjuang tapi tetap santai, bisa tetap tersenyum ramai-ramai, karena harapan masih ada…." /dM

Wednesday, August 15, 2007

REVIEW KONSER YAIYO (1)

Buat teman2 yang tidak sempat datang menyaksikan aksi Sujiwo Tejo dkk., berikut ini adalah salah satu review Konser YAIYO dari Sujiwo Tejo. Terima kasih mas Fahroni atas perkenannya mengambil review buatan mas. Buat teman2 penggemar Sujiwo Tejo, bolehlah berkunjung ke website mas Fahroni: www.fahroniarifin.com. Asyik website-nya....:)
Kalau ada teman2 lain yang juga bikin review, silakan kasih info ke saya, nanti saya hubungi untuk mempublikasikannya juga di blog ini.


NONTON SUJIWO TEJO LAGI
by Fahroni Arifin
(http://fahroniarifin.com/nonton-sujiwo-tejo-lagi.htm)


Karena kesepian ditinggal ‘liburan’ Fifi & Zidan ke Bandung selama 2 minggu, Sabtu malam saya cari-cari acara. Beruntung ada launching album terbaru Sujiwo Tejo, ‘YAIYO’, di salah satu kafe di Tebet. Sudah lama saya tidak pasang radar atas seniman satu ini meski album pertamanya masih sering saya putar. Perkenalan saya dengan lagu-lagu Sujiwo Tejo dimulai sejak SMA, saat album pertama ‘Pada Suatu Ketika’ keluar. Waktu itu diantara teman main SMA cuma saya pendengar Tejo. Ia memang artis yang pasarnya segmented dan tidak populer dikalangan generasi Pop. Dan padatnya aktifitas saat kuliah mengalihkan pantauan saya atas album-album berikutnya.

Karena tidak mengikuti evolusinya, saya tersentak dengan ekspresi dan eksplorasi Tejo di album terbaru ini. Ia menunjukkan kebebasannya yang liar, hampir seluruh lagu berbalik menentang selera umum. Lewat jalur indie, album terbaru ini diproduksi swadaya dan diedarkan dari mulut ke mulut dengan harga yang hampir BEP, jelas nekat. Ini hiburan untuk kelas bawah jadi harus murah, katanya. Ia tidak kompromi dengan label besar yang biasanya mengatur-atur isi dan nilai sebuah album. Ketika seniman atau artis lain kehilangan jati diri dan idealismenya seiring kesuksesan, Tejo malah bersikap sebaliknya. Awalnya saya pikir ia sudah kaya dari hasil main film atau ngelukisnya sehingga nggak butuh duit dari nyanyi, ternyata nggak juga. Ceplas-ceplos dia bilang masih sulit mendanai tur gerilyanya.

Sangat jauh dengan album pertama yang kontemplatif dengan syair Jawa bermakna dalam -meski beberapa lagu kocak dan nyinyir khasnya Tejo-, ‘YAIYO‘ cenderung emosional dan literal. Semuanya tentang kritik sosial yang dibawakan pedas dan tanpa kalingan (terhalang). Ia bahkan menyebut ada satu lagu yang kalau dinyanyikan Live akan menyebabkan revolusi, akhirnya dalam sesi malam itu lagu tersebut hanya diputarkan rekamannya. Ada-ada saja, tapi itulah Tejo, seniman multi talenta yang berandalan dan membebaskan diri dari ikatan-ikatan.

Mungkin karena tidak dibayangi tuntutan label, album ini digarap dengan sebebas-bebasnya. Bintang Indrianto, bassis ternama yang dipercaya menata aransemen, secara liberal memasukkan bunyi-bunyian dari beragam suasana dan etnis. Diaduk senikmat kopi-karamel-krim-decaf yang saya sruput malam itu. Kabarnya Sujiwo Tejo selaku pemilik album tidak boleh melarang atau mencampuri arahan Bintang. Selain itu terlibat juga Viky Sianipar, musisi muda yang fokus pada musik etnis-kontemporer, menambah keragaman. Hasilnya adalah album yang merdeka baik musik maupun isinya.

Kalau Anda seperti saya yang tidak mengikuti metamorfosa Tejo, akan butuh waktu untuk beradaptasi dengan album ini. Karena saya yakin selera semua fans Tejo, terlayani oleh album pertamanya. Tapi bagaimanapun, album ini justru menunjukkan ekspresi Sujiwo Tejo yang sebenarnya, hanya masalah waktu sampai fans sejatinya menyukai. Dan sebagai produk budaya, album ini berada pada level tersendiri yang layak diapresiasi. Untuk mendapat hidangan yang lezat, kadang kita harus belajar melepas ego dengan tidak mendikte seniman atas karyanya dan menerima suapan apa adanya.

Tuesday, August 07, 2007

Lain "Liyan" Lain Orang Lain

Ibu-ibu keseluruhan, tanpa kecuali, seingat saya dalam forum di Seputar Indonesia ini, sudah lumayan sering saya singgung kian mendesaknya mikirin orang lain. Kini mohon maaf saya masih nggak bosan-bosan juga mengulang tema itu meski dalam varian lain. Abis mo gimana lagi? Ya masih ini-ini pula inti persoalan bangsa. Bahwa kita, termasuk saya, masih juga tak kunjung mikirin orang lain.

Yang kita hirauin melulu diri sendiri. Yang senantisa belibet di benak kita cuma bagaimana membangun keluarga. Paling jauh ya saudara. Bukan di luar itu. Bukan other. The other. Atau orang pedalangan Jawa bilang liyan.

Suku-suku lain, dengan bahasa yang lebih tua ketimbang bahasa Indonesia, tentu punya kata-kata sendiri buat liyan. Yang nggak ada dalam bahasa Indonesia. Maklum, bahasa Indonesia relatif jauh lebih muda dibanding rata-rata bahasa daerah di nusantara.

Sengaja tidak saya rujuk terjemahan other itu ke dalam bahasa Indonesia, misalnya “orang lain”. “Orang lain” bukan kata, tapi kata majemuk, alias gabungan dua kata. Saya nggak sreg menerjemahkan kata dari suatu bahasa ke dalam gabungan kata dalam bahasa lain. Alasannya, secara umum, kata majemuk atau kata bentukan kurang memiliki akar budaya yang kuat pada cara berpikir dan penghayatan hidup suatu kaum.

Ajakan buat mikirin orang lain, salah-salah bisa mudah dipatahkan oleh para penentangnya. Buat apa merhatiin mereka? Dan atas dasar apa kita harus mikirin mereka? Bukankah tanggung jawab kita cuma pada diri sendiri dan keluarga serta sanak-famili?

Ajakan buat mikirin liyan agak susah dipatahkan oleh yang berseberangan pendapat. Karena di dalam liyan terkandung makna diri kita sendiri. Ada diri kita di dalam liyan. Di dalam liyan ada…

Ah, Ibu-ibu tanpa kecuali, saya barusan merasa seakan-akan ditowel oleh Bagong, panakawan dalam wayang. Dia ngingetin saya agar bertahap-tahap dalam menyampaikan pendapat. Alasan Bagong, tidak seluruh Ibu-ibu sedang jernih pikirannya untuk bersedia cepat memahami perbedaan orang lain dan liyan.

Menurut Bagong, tanggung-jawab ibu-ibu seabrek-abrek. Jadi pikirannya susah bening. Ruwet ngatur belanja bulanan. Kepikiran karena anak ke sekolah ketinggalan salah satu bukunya atau kaus kakinya. Belum lagi kalau suaminya tiba-tiba cepat tersinggung. Tersinggung sedikit demam. Tersinggung lagi, masuk rumah sakit. Wah...

***

Baiklah Ibu-ibu, saya akan menyajikan contoh, bahwa kita tak bisa menerjemahkan “liyan” yang cuma satu kata itu menjadi “orang lain” yang terdiri atas dua kata. Karena di balik setiap kata ada konsep yang berawal dari akar budaya suatu kaum. Arti “liyan” sama dengan “orang lain”, namun pemikiran dan penghayatan hidup suatu kaum terhadap kata tersebut berbeda.

Sebagai contoh, sister bisa aja kita terjemahkan menjadi saudara perempuan. Artinya sejenis. Tapi akar budaya yang melahirkan arti keduanya berbeda. Sister lahir dari budaya yang juga mementingkan informasi jenis kelamin dalam hubungan keluarga.

Saudara perempuan lahir dari budaya yang lebih mengutamakan info akan hubungan darah dalam keluarga. Bahwa yang punya hubungan darah itu jenisnya laki atau perempuan, ya urusan belakanganlah.

Malah, lebih penting ketimbang ngurus apakah dia lelaki atau perempuan, adalah ngurus dia itu lebih tua atau lebih muda. Kalau lebih tua kakak. Lebih muda adik. Nah, sekarang gantian bahasa Inggris nggak punya konsep itu. Mereka pakailah kata majemuk dengan unsur “lebih tua” atau “lebih muda”, elder sister atau younger sister.

Kayaknya bahasa India punya konsep yang kuat akar budayanya untuk hubungan dengan “kakak ipar”. Bahasa Mandarin punya konsep serupa untuk jenjang dan urutan “paman”. Kayaknya lho. Kok pada film-film India maupun Mandarin yang disulih-suara saya sering melihat mulut mereka maksimal melafalkan dua suku kata, singkat, tapi suaranya dalam bahasa Indonesia terdengar panjang “kakak ipar” maupun “paman kedua”.

Tambah kelihatan aneh kalau adegannya adalah seseorang yang berlarian memburu orang lain, dengan napas tersengal-sengal dan mestinya cuma sanggup meneriakkan satu suku kata macam “Mas”, “Dik”, “Hoi”. Anehnya, si ngos-ngosan itu malah masih sempet-sempetnya menyerukan dua suku kata “kakak ipaaar” atau “Paman keduaaa”…

Arti “kakak ipar” dan apa yang terucap dalam bahasa aslinya pasti sama. Tapi konsep pemikiran dan penghayatan hidup atas kedua kata itu berbeda. Kalau apa yang ada di dalam kepala dan hati berbeda dengan apa yang terucap di mulut, ya jadi aneh. Setidaknya, dengan kepekaan sedikit saja, kita yang menonton adegan itu jadi merasa janggal.

Begitu pula “orang lain” dan “liyan”. Pada “orang lain” kita tidak melihat “aku”, tapi pada “liyan” kita selalu mengamati seksama bagian mana dari dia yang merupakan diri kita sendiri. Ya, pasti tidak seekstrem perhatian ketika kita berusaha mencari-cari keberadaan kita sendiri kalau kita sedang mengamati anak kandung.

Terima kasih kepada Mbak Dewi Soedardjo yang cantik, pemimpin persekutuan doa di kawasan Cipete dan pekerja sosial, yang mengilhami tulisan saya. Yang membuat saya juga makin yakin bahwa tidak seluruh ibu-ibu cuma mikirin keluarganya, di tengah bangsa yang entah umurnya tinggal berapa panen jagung lagi ini saking kiran rapuhnya sikap kebersamaan.

*Sujiwo Tejo, Dalang Edan
*diterbitkan di Harian Seputar Indonesia, 03 Agustus 2007

Wednesday, August 01, 2007

"Pilkadal" Jakarta: Kendaraan Rakyat vs Tembang Kemenangan

This article / column had published in "Frankly Speaking" AREA Magazine,
Edition No. 92, August 2007. Sujiwo Tejo write regularly every two-week for this free magazine. Hope you all will enjoy this...:)

-------------------------------------------------------------------------------------

“PILKADAL” JAKARTA:
KENDARAAN RAKYAT vs TEMBANG KEMENANGAN

Siapa bilang Pilkada DKI Jakarta ndak menarik? Mungkin bagi segelintir tokoh, iya. Ndak asyik.

Pengamat politik Saiful Mujani dari Lembaga Survei Indonesia bilang Pilkada DKI sekarang cuma ritual politik. Demokrasi cuma diatasnamakan. Partisipasi pemilih tak lantaran keyakinan pada pilihannya.

Sejawat saya lainnya, Indra J. Piliang, peneliti dari CSIS, bikin ramalan. Wah, bakal tambah banyak lho golongan putih alias Golput di Pilkada DKI kali ini. Ramalan atau tepatnya prediksi itu pakai dasar. Dasarnya, kian banyak warga DKI Jakarta, lebih 70 persen, tidak bener-bener ngerasa punya partai.

Ah, apapun kata Saiful, apapun kata Indra, Pilkada DKI Jakarta bagi saya kok tetap menarik. Terutama untuk iseng-iseng aja daripada bengong ngisi waktu kemacetan lalu lintas Jakarta. Misalnya iseng-iseng utak-atik nama. Fauzi, calon nomor 2, itu apa. Daradjatun, calon nomor 1, itu apa.

Aduh jadi nyesel dulu saya mondok di pesantren cuma sebentar. Jadinya Bahasa Arab saya pas-pasan. Tapi seingat saya, mohon dikoreksi kalau keliru, Fauzi berarti “kemenangan”. Daradjatun dari “darojah”, kalau tidak salah lho, artinya sekitar…yaa…kendaraanlah.

Bowo itu kalau di wayang atau gamelan artinya semacam tembang awal tanpa beat sebelum masuk lagu yang ber-beat. Katakanlah intro. Adang ini yang saya agak jatuh bangun bisa tahu artinya. Wong Bahasa Sunda saya pas-pasan. Tapi, dari 10 tahunan saya tinggal di Bandung, kesan saya Adang itu punya konotasi kerakyatan. Julukan atau nama-nama rakyat.

Artinya yang lagi bertarung dalam Pilkada DKI Jakarta kali ini adalah Kendaraan Rakyat dan Tembang Intro Kemenangan. Wah seru juga. Horeee…tepuk tangan dong. Tengkyu tengkyu…

Jadi siapa bilang Pilkada DKI Jakarta tidak menarik? Gila. Menarik dong? Bayangkan kendaraan yang dipercaya oleh rakyat, artinya menang karena mewakili suara rakyat, bertarung ama tokoh yang pasti menang juga karena arti nama tokoh itu aja udah gita keunggulan.

(Mohon kalau nanti ada koreksi dari pembaca atas Bahasa Arab dan Sunda saya, jangan terlalu jauh dari arti itu ya? Hehe…karena dalam iseng-iseng Pilkada ini saya udah terlanjur suka pada arti menurut versi udel saya sendiri.)

Hanya sandiwara politik kalau merujuk pendapat Saiful Mujani? Atau bakal meningkatnya Golput kayak di Medan, Lampung dan Surabaya, seperti kata Indra? Lantas kita bilang Pilkada ini pahit atau tidak menarik?

Ya, namanya juga Pilkada, Ndra, Ful. Kalian ngerti nggak sih? Itu kan dari pil atau obat. Pil kan umumnya juga pahit. Marilah kita telan sama-sama kepahitan ini dengan hepi. Ya Ndra? Ya Ful?

Masih untung warga DKI…aduh maaf saya kok masih juga nggak ngerti bedanya DKI, pemda, pemprov…. Pokoknya kawasan yang dari dulu gini-gini ajalah…Ya, masih untung penghuni DKI Jakarta ndak semuanya bayi yang cadel, yang kalau bilang “daerah” pasti “daelah”. Singkatannya jadi Pilkada, bukan Pilkadal. Jadi masih untung.

Lantas ada yang anggap pahit, kenapa keputusan Mahkamah Konstitusi tentang bolehnya calon independen ikut Pilkada baru dikeluarkan pada saat-saat pendaftaran calon gubernur sudah ditutup?

Ah, udah laaah….Telen aja kepahitan itu dengan hepi. Dengan nama Pilkada aja, bukan Pilkadal, itu udah langkah maju kok…Serius nih.

*Sujiwo Tejo, Dalang Edan

Konser Akrab YAIYO: Jakarta, 4 Agustus 2007

On Saturday, August 4, 08.00 p.m
Konser Akrab YAIYO
Sujiwo Tejo & Bintang Indrianto

will be held at
TOBA DREAM Family Cafe,
Jl. Dr. Sahardjo No.25,
Tebet-Manggarai, Jakarta Selatan

ENTRY FEE = Rp 0,- (FREE!)

And get new CD album 'YAIYO" at the venue
with special price (with discount).

Or get the CD before, please call:
Angel Kusuma - 08180700660
Sumiaty - 0811183974

Good luck for Tejo...and SEE YOU THERE!