Sunday, September 23, 2007

Seputar Gas, Seputar "Which is"

Dalam hidup ini ada beberapa kata untuk satu maksud. Which is orang bisa bilang “Jaka Sembung”. Which is orang bisa bilang “gak on” untuk maksud “nggak nyambung” dalam pembicaraan. Pernah juga untuk maksud yang sama itu dulu orang-orang pakai “nggak ngamper” (diambil dari istilah perlistrikan Ampere).

Sebaliknya ada satu kata untuk beberapa pengertian. Begitu dengar kata “gas”, yang muncul di benak saya ada beberapa bayangan. Kadang jenis mobil macam jip tapi amat kekar. Which is kalau tidak salah bikinan Rusia.

Masa kecil saya di Baluran, Jawa Timur, kerap kali melihat kendaraan Gas itu mondar-mondar dengan gagah. Pengendaranya gagah-gagah juga, yaitu KKO Angkatan Laut which is kini jadi marinir.

Pindah ke Bandung, ketika kuliah, “gas” ternyata bukan cuma kendaraan perang. “Gas” ternyata juga bisa berupa “Grup Apresiasi Sastra”, which is sebuah unit kegiatan mahasiswa di kampus ITB.

Alumnusnya juga sudah banyak. Misalnya, sastrawan Mohamad Ridlo Eisy, Nirwan Dewanto dan Fadjroel Rahman. Arya Gunawan Usis which is kerap menulis rubrik bahasa dan memimpin UNESCO kawasan Asia, juga jebolan GAS-ITB.

Tapi ternyata “gas” tak cuma mobil tempur dan kerumunan penyair. Ada lagi. “Gas”, which is dengan cita rasa penyingkatan tertentu, ternyata adalah kependekan dari “tugas”. Karena itu “Satgas” berkepanjangan “Satuan Tugas”.

Nggak usah diprotes kenapa kok tidak disingkat “Sattu”, which is lebih konsisten dengan mengambil suku kata depannya saja. Ya, inilah cita-rasa penyingkatan militer ketika militer lagi marak-maraknya.

Yang dikejar unsur bunyi garangnya. Tak harus taat asas dengan mengambil suku kata depan semua, tengah semua, atau belakang semua. Pernah dengar Departemen P dan K? Itu cita rasa penyingkatan sipil. Which is lain dengan “Depdikbud”. Badan Koordinasi Survei Pertanahan Nasional, bukan disingkat “Bakosurpenas”. Ini sipil. Tapi jadinya “Bakosurtanal”.

Maka nggak usah diprotes. Sim salabim, dalam riwayat negeri ini which is penuh casting militer ini, terima saja “Gas” adalah singkatan dari “tugas”.

Dan kini kita punya tiga pengertian menyangkut “gas”, yaitu mobil jenis jip which is sangat macho, kelompok penggemar sastra seperti juga Musyawarah Burung, dan tugas.

***

Pada tiga pengertian ”gas” which is telah kita dapat, kini saya tambahi lagi. Yaitu “gas” yang pada titik tertentu lucu, tapi pada suasana lainnya gawat. Inilah pedal gas pada mobil.

Lucu, terutama pada orang yang sedang belajar mengemudi, terutama ibu-ibu, dan terutama kalau kejadiannya di tempat yang aman dan lapang. Kaki kanan mereka suka ketukar-tukar menginjak pedal rem dan pedal gas. Jalannya mobil tersendat-sendat jadi kayak pelawak Srimulat which is Tesi.

Ada lagi “gas” jenis lain. Untuk orang Jawa, which is khususnya Jawa Timur di wilayah “Tapal Kuda”, wilayah perpaduan bahasa Jawa dan Madura, yaitu Pasuruan, Probolinggo, Jember, Situbondo, Bondowoso dan Banyuwangi, “gas” mungkin berarti tanah.

Karena itu mereka menyebut minyak (lengo) tanah dengan “lengo gas” which is alias minyak gas (bedakan dengan lengo klentik alias minyak kelapa).

Salah satu hiburan saya ketika SD adalah melihat pedagang grosir lengo gas menuangkan lengo itu secara eceran. Which is bening banget melihat lengo gas dituangkan dari cidukan drum ke corong jirigen. Baunya enak.

***

Maka, untuk hiburan, imbauan penyelenggara negara which is mereka menyuruh kita pindah dari minyak tanah ke gas, bisa kita tafsir dengan banyak bayangan atas dasar kata “gas”.

Which is penyelenggara negara menginginkan masyarakat lebih sejahtera dengan memiliki mobil segagah “gas” pada masa keemasannya. Which is keinginan itu sungguh mulia, karena memang sudah jadi “gas” alias “tugas” penyelenggara negaralah untuk menyejahterakan warganya.

Kalau rakyat sudah sejahtera, which is perbedaan kaya miskin tidak begitu mencolok, bukankah kita baru bisa benar-benar menerapkan mitos demokrasi karena demokrasi alias klenik modern itu baru bisa jalan pada masyarakat yang perbedaan sosialnya tidak timpang bahkan njomplang?

Imbauan penyelenggara negara untuk pindah ke gas, alias Grup Apresiasi Sastra, juga berarti imbauan agar masyarakat menggladi kemampuannya berbahasa, which is kemampuan itu menunjukkan kemampuan daya nalar pula.

Ini penting agar kalau masyarakat kelak jadi birokrat atau orang parlemen, which is kecanggihan dan ketajaman bahasa amat diperlukan, redaksional perundang-undangan jagi nggak ngombro-ombro dan banyak bolongnya. Beberapa negara industri terutama Inggris, menekankan kemampuan bahasa peserta didiknya bahkan untuk pendidikan militer.

Imbauan penyelenggara negara untuk pindah ke gas, juga berarti agar kita nggak cuma mengerem melulu dalam hidup ini, which is kalau diterus-terusin jadi bikin frustrasi. Injaklah pedal gas, supaya kehidupan tidak statis.

Paling yang bingung cuma orang-orang Jawa-Madura di “Tapal Kuda” di Jawa Timur.

“Adooo Bu, de’remma saya sudah pakai minyak gas dari dulu. Cuma minyak gas zaman dulu itu bisa ngecer, Bu. Minyak gas zaman sekarang yang pakai bung-tabung itu ndak bisa ngecer...Saya sudah tanya ke orang-orang Jakarta. Tapi saya ndak ngerti. Mereka ngomongnya wicis-wicis tok..”

*Sujiwo Tejo, Dalang Edan – http://sujiwotejo.com

*Dapatkan SMS berlangganan dari Dalang Edan Sujiwo Tejo tentang cara berbagai hal dipandang dari dunia pewayangan. Caranya, ketik reg pde1, kirim ke 9388, Tarif Rp 1.000/SMS. Apabila Anda ingin berhenti, ketik unreg pde1, kirim ke 9388

No comments: