Thursday, November 15, 2007

INVITATION FOR YOU ALL

Watch Sujiwo Tejo's performance in
Wayang Kulit & Wayang Orang Show
with the music from tradition & modern music instrument
(gamelan & band)
SEMAR MESEM
by Sujiwo Tejo - Dalang Edan
Saturday - 2007, Nov 17
4 & 8 pm
(16.00 & 20.00 wib)
at
Gedung Kesenian Jakarta (GKJ)

Sunday, November 11, 2007

Article No.59 in Sindo Daily (about Rasa Sayange and Malaysia)

SAYA PUNYA SAHABAT di MALAYSIA

Saya punya sahabat perempuan di Malaysia. Kami kenal pertama dalam suatu pekan festival kesenian di Singapura. Rambutnya panjang. Kulitnya kuning langsat dan bersih. Dan ia ramah-tamah.

O ya, suka pakai kain Indonesia pula dia. Ketika kami jalan kaki di Orchad Road, melihat pakaian kami, termasuk kainnya yang diriap-riapkan angin seperti rambut panjangnya, banyak orang di jalanan yang menyapa dan menyangka kami dari Indonesia.

Sahabat perempuan saya ini tidak menyangkalnya. Saya pun tak ingin.

Dalam persahabatan, waktu itu seingat saya tak ada pikiran bahwa dia lain bangsa. Paling komunikasi kadang-kadang agak macet karena perbedaan pilihan kata. Misalnya, antara lain, ia bilang “ramai” untuk “banyak”.

Tapi kalau sekadar kegagapan model begitu, toh komunikasi dengan sesama bangsa sendiri juga sering terbata-bata lantaran perbedaan suku. Ada beberapa kata yang lain penerapannya atas sebab pengaruh tata bahasa setempat. Sopir-sopir taksi di Bali kalau mau omong “sebentar lagi (nyampe tujuan)” akan bilang “lagi sebentar”.

Kalau sampeyan nelepon orang Maluku, yang terima bilang orang tujuan sampeyan itu “ada”, juga jangan langsung seneng. Jangan langsung tanya, “mana?” Karena mungkin maksudnya ada itu hidup, tapi orangnya “ada pergi” alias sedang tak di tempat.

Bahkan buat sesama suku bangsa saja komunikasi kerap tersendat. Orang Jawa Solo misalnya, akan bilang “mari” untuk “sembuh” dari penyakit fisik. Orang Jawa Timur menggunakan “mari” untuk “rampung” atau “selesai”. Sembuh dari sakit fisik menurut mereka adalah “waras”. Tapi menurut orang Solo, “waras” berarti sembuh dari penyakit jiwa.

***

Dalam persahabatan, saya baru merasa dia itu agak lain sedikit dibanding sahabat-sahabat saya di Tanah Air, ketika untuk saling berkunjung saja ternyata kami memerlukan paspor. Ke sahabat-sahabat di Indonesia, saya tak memerlukan itu bahkan kadang tak problem kalau ketinggalan KTP.

Saya juga mengalami perasaan aneh sebagai berikut. Setiap ada kabar baik tentang Malaysia, saya sering inget kalau punya sahabat di sana.

Tengah bulan lalu saya dengar University Utara Malaysia bekerja sama dengan lima universitas di Indonesia. Keenam lembaga ini juga kerja bareng Exelcomindo di bidang telekomunikasi dan aerowisata di bidang perhotelan. Mahasiswa yang sedang belajar dapat melakukan prakteknya di kedua industri itu. Ketika itu saya ingat punya sahabat di Malaysia.

Tahun lalu saya dengar juga dari temen, orang Indonesia yang tinggal di sini tetapi lahir di Malaysia karena waktu itu bapaknya sedang bertugas mengajar matematika di sana, bahwa Malaysia terang-terangan mengaku berguru banyak pada orang Indonesia. Termasuk dalam cara membuat jalan tol. Ketika itu saya juga ingat punya sahabat di Malaysia.

Ketika Malaysia waktu zaman Mahatir Mohammad bikin cikal bakal tiga bangunan, Menara Petronas, Bandara KL, dan Sirkuit Sepang, saya ingat bahwa punya sahabat di Malaysia. Lebih-lebih inget ketika bangunan-bangunan yang belum populer itu udah rampung. Tambah inget lagi ketika pihak kehumasan Malaysia berusaha keras agar bintang Hollywood Sean Connery dan Catherine Zeta-Jones shooting film Entrapment di situ sehingga bangunan-bangunan tadi dikenal dunia.

***

Tapi biasanya saya lupa bahwa saya punya sahabat di Malaysia, kalau terdengar berita nggak enak tentang negeri itu. Terutama nggak enak dalam hubungannya dengan Indonesia.

Waktu mengemuka kasus rebutan kawasan dengan Indonesia, misalnya Sipadan, Ligitan dan Ambalat, saya lupa bahwa saya punya sahabat di sana. Begitu juga waktu menyeruak kabar-kabar soal penyiksaan TKI di Malaysia, penganiayaan insan perkaratean dari Indonesia, dan lain-lain. Termasuk ketika ada ribut-ribut kabar bahwa pencurian kayu terutama di Kalimantan dan Papua disokong oleh cukong-cukong Malaysia.

Dan ini, yang terakhir, Rasa Sayange dijadikan lagu latar kampanye pariwisata Malaysia.

Mungkin karena saya kesel tapi nggak tahu musti bilang apa, seperti kekeselan Jhonavid, pemain drum White Shoes and The Couples Company ketika diwawancara buat tulisan ini. Mungkin karena dalam kasus Rasa Sayange ini saya terlalu sibuk mikir keharusan kita buat lebih hati-hati di masa depan, seperti sikap komponis Addie MS dan Miss Indonesia 2006 Nadine Chandrawinata ketika diwawancara untuk maksud serupa.

Kesel dan pikiran ke depan bikin orang lupa yang lain-lain saat ini. Makanya saya lupa punya sahabat di Malaysia.

Atau mungkin karena sahabat saya cuma satu di sana. Tapi para pejabat mustahil cuma punya satu sahabat di sana. Mereka sebagian naik melalui jenjang karir, terutama yang di Departemen Luar Negeri. Sepanjang jenjang kenaikan jabatannya itu mereka pasti banyak punya kenalan dan sahabat di Malaysia.

Apakah cekcok ini tidak mungkin dirampungkan dengan dan dalam situasi persahabatan?

*Sujiwo Tejo, Dalang Edan – http://www.sujiwotejo.com

*Dapatkan SMS berlangganan dari Dalang Edan Sujiwo Tejo tentang cara berbagai hal dipandang dari dunia pewayangan. Caranya, ketik reg pde1, kirim ke 9388, Tarif Rp 1.000/SMS. Apabila Anda ingin berhenti, ketik unreg pde1, kirim ke 9388

Saturday, October 20, 2007

Article No.58 in Sindo Daily (about Short Message Service (SMS) at Ied Mubarak)

LEBARAN TIBA, MARHABAN ya SMS yang ANEH-ANEH

Ubud termasuk yang menarik perhatian saya. Banyak studio-studio lukisan mini di sana. Seperti di Pasar Seni Ancol. Pelukisnya macam-macam. Dari berbagai daerah di Indonesia. Nongkrong di kios-kios itu, sambil ngobrol suka-duka ama pelukisnya, jadi keasyikan tersendiri.

Alamnya juga elok. Sungai-sungai. Sesawahan dan burung bangau. Jalan-jalan pagi di antara semua itu, dan langit Bali, termasuk keasyikan juga. Saya kerap memergoki orang-orang Jakarta jalan pagi sambil senam di tengah suasana itu. Termasuk sutradara Mas Slamet Rahardjo.

Sayangnya saya bawa handphone. Mestinya saya tidak usah bawa alat komunikasi itu apalagi pas Lebaran. Tapi akhirnya saya mesti bawa handphone, untuk komunikasi job-job paska Lebaran. Ya betul terjadilah: Suasana Ubud di kepala dan batin saya agak diganggu oleh SMS-SMS Lebaran.

Mestinya saya tidak usah buka SMS-SMS itu. Tapi siapa tahu soal koordinasi job paska Lebaran. Ya saya buka. Hasilnya itu tadi: saya terganggu oleh SMS-SMS Lebaran yang, pertama, gak jelas siapa pengirimnya. Kedua, ndak jelas ditujukan pada siapa. Ketiga, isinya klise.

***

Soal pertama, gak jelas siapa pengirim SMS Lebaran. Ini sudah pernah saya singgung waktu Idul Fitri tahun lalu. Rupanya orang-orang itu menyangkal ke-bhineka-tunggal-ika-an kita.

Mereka anggap semua pemilik handphone punya memori nomor-nomor telepon orang di phonebook. Mereka sangka, tanpa menulis nama pada SMS Lebaran, nama itu akan dengan sendirinya muncul di layar monitor.

Ini keliru setidaknya untuk dua hal. Pertama, orang-orang itu mengira handphone orang tidak bisa rusak memorinya. Atau menganggap handphone orang tidak bisa kecopetan maupun hilang sehingga memori termasuk nama-nama di phonebook lenyap pula.

Bhineka Tunggal Ika kan tidak harus cuma berarti Indonesia punya banyak suku dan agama. Semboyan itu bisa juga berarti, orang Indonesia terdiri dari penduduk yang handphone-nya gak pernah ilang tapi juga penduduk yang sering kehilangan atau kerusakan hp.

Kekeliruan kedua, mereka menduga semua orang hp-nya canggih. Memorinya besar. Suka gonta-ganti hp sehingga memori makin besar-makin besar terus, termasuk buat menyimpan nama-nama kontak.

Saya hidup tak minimalis banget sih. Misalnya piring di rumah tidak pas banget ma kebutuhan buat makan keluarga. Ada lebihnya sedikit. Dan saya tidak termasuk yang beraliran haram memajang piring-piring sebagai hiasan di lemari, di luar kebutuhan pokok piring buat makan.

Tapi hp saya nyaris tidak pernah ganti. Bahkan kalau rusak pun, sepanjang masih bisa diperbaiki ya saya perbaiki. Pangkon baterei rusak misalnya, ya udah, baterei saya ikat di hp dengan karet gelang.

Saya juga merasa belum butuh-butuh banget hp yang bisa motret maupun hp yang bisa kirim gambar dan email. Saya sekarang cuma sedang butuh hp yang bisa SMS dan nelepon. Jadi buat apa saya gonta-ganti hp?

Singkat kata, hp saya kuno. Memori terbatas. Dan orang-orang seperti saya tidak sedikit ternyata. Pramono Anung, Sekjen PDI-P, hp-nya juga cuma satu dan kuno. Masih banyak yang lain. Dan kami tidak merasa melanggar hukum dengan cuma punya satu hp dan kuno.

Kami cuma minta pengertian dari berbagai pihak, bahwa Bhineka Tunggal Ika juga berarti “orang yang cuma punya satu hp dan kuno boleh jugalah dianggap sebagai bagian yang sah dari penduduk NKRI”. Maka kalau nulis SMS Lebaran, mbok ya pakai nama pengirim napa sih?

***

Sekelumit dari topik itu sudah saya bahas pada Idul Fitri tahun lalu. Kini soal nama yang dikirimi SMS. Karena rata-rata nggak pake nama yang dikirimi, permintaan maaf Lebaran jadinya tidak personal lagi.

Pada zaman kartu Lebaran, setidaknya nama yang dikirimi itu ada pada amplop, meski isi kartunya juga umum. Dan meski nama pada amplop itu tulisan mesin dan ditulis oleh sekretaris maupun orang lain, setidaknya di kartu ada tanda tangan pengirim. Ada sesuatu yang personal.

Mengherankan buat saya, sementara di berbagai bidang orang berlomba-lomba buat punya sentuhan personal, sentuhan pribadi, ternyata pada ungkapan permintaan maaf Lebaran yang mestinya personal, justru malah jadi impersonal.

Di Australia misalnya, ada dokter gigi yang tidak pake papan iklan praktek. Semua pasiennya adalah pelanggan. Semua pasiennya adalah orang-orang yang merasa akan diperlakukan khusus dan hanya mereka yang tahu bahwa tempat itu adalah tempat praktek gigi. Setiap pasien yang dateng akan disambut dengan minuman kesukaan mereka, yang sudah diketahui oleh resepsionis. Dan seterusnya.

Beberapa spa di Puncak tak cuma terima orang dateng. Sebagian dari mereka punya catatan “medis” setiap tamu. Mereka rajin menanyakan perkembangan kesehatan tamu via surat, sambil mengirimkan catatan “medis” mereka.

Salah satu manajemen SPBU di Bandung malah memasang stiker manajemen “Tegur karyawan kami, jika tidak mengawali sapaan sebelum mengisi bahan bakar.”

Tapi cuma segelintir banget lho, yang menyertakan nama tujuan pada SMS Lebaran. Di antaranya Mas Yudi Latif, Kepala Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Jakarta.

***

Yang terakhir soal isi SMS Lebaran, yang dipuitis-puitiskan. Mungkin pertanyaan saya, bukankah puisi itu sesungguhnya ungkapan jujur dari seseorang yang tak harus berbunga-bunga?

*Sujiwo Tejo, Dalang Edan – http://www.sujiwotejo.com

*Dapatkan SMS berlangganan dari Dalang Edan Sujiwo Tejo tentang cara berbagai hal dipandang dari dunia pewayangan. Caranya, ketik reg pde1, kirim ke 9388, Tarif Rp 1.000/SMS. Apabila Anda ingin berhenti, ketik unreg pde1, kirim ke 9388

Article No.57 in Sindo Daily (about Mudik)

MUDIK dan TAMAN SWRIWEDARI

Tiga hari lalu di Jalan Gatot Subroto, Jakarta. Saya melihat setidaknya dua pengendara sepeda motor membawa bungkusan kardus semacam oleh-oleh. Ia bonceng perempuan yang pasti istrinya. Di tengah-tengah mereka bayi usia sekitar 2-3 bulan dalam selimut.

Kelihatannya mereka bagian dari para pemudik Lebaran bersepeda motor. Bagian yang jumlahnya mencapai sekitar 2,4 juta orang, meningkat 30-an persen dari pemudik bersepeda motor tahun lalu.

Jumlah mereka hampir seperempat dari total pemudik via darat yakni 9,9 juta orang. Dan nyaris seperlima dari total pemudik termasuk yang menggunakan pesawat terbang, 14,9 juta orang.

Di antara berbagai moda angkutan Lebaran, sepeda motor terkesan asyik. Inspiratif buat menyuntik semangat melanjutkan hidup.

Setelah pemandangan yang menggugah di Gatot Subroto pagi itu, saya ketemu artis Desy Ratnasari dan presenter Adi Nugroho. “Kenapa sih orang pada mudik pas Lebaran?” tanya mereka.

Saya tahu pertanyaan itu lebih buat ramah-tamah saja. Tak usah dijawab. Toh semua orang pengin mudik. Desy sendiri segera mudik ke kampungnya di Sukabumi.

Hanya petualang sejati yang ogah mudik. Hanya petualang sejati yang punya prinsip “aku akan pergi kemana saja asal tidak kembali pulang.” Hanya petualang sejati jenis makhluk yang sesungguhnya cuma ada di komik-komik. Tak pernah ada di muka bumi yang kita pijak.

Orang-orang yang telah merantau secara fisik maupun pikiran, tetap rindu kampung halaman. Saya kerap membaca sajak-sajak Chairil Anwar maupun Rendra tentang kangennya pada kenangan saat bocah di udik.

Cina-cina perantauan juga banyak yang tak mudik secara fisik. Tapi mereka memudikkan sebagian harta-bendanya ke Cina Daratan. Orang-orang Yahudi yang senantiasa terusir dan eksodus, mirip dalam lagu The Exodus Song tahun 60-an oleh Pat Boone dan Ernest Gold, tidak pulang secara fisik. Tapi mereka membentuk perkumpulan-perkumpulan di tiap negara untuk menciptakan rasa pulang ke tanah air.

Tapi saya kira keramahan dari Desy dan Adi Nugroho tetap perlu saya respons. Iya ya, kenapa orang mesti mudik pas Lebaran? Kok tidak mudik kapan saja. Agar antrean di loket kereta api tidak panjang. Agar jalanan tidak macet. Dan sebagainya.

***

Mungkin karena setiap orang perlu setor rasa sungguh-sungguh kepada orang yang dicintai. Mudik di luar Lebaran gampang. Kereta kosong. Tiket pesawat murah. Jalanan relatif lengang. Mudik saat H-7 sampai H-1 menjelang Lebaran lain cerita.

Saya suka kagum melihat pernikahan-pernikahan agung zaman ini. Yang tempatnya di hotel bintang lima. Hiasan taman-tamanan di seputar pelaminan bisa sampai milyaran rupiah karena sebagian bunganya impor. Mungkin segala susah-payah dan biaya itu dimaksud untuk menyatakan kesungguhan cinta.

Saya cuma lebih kagum pada perkawinan dalam wayang maupun legenda. Duit masih mungkin dicari. Untuk sewa gedung dan taman bunga bikinan. Tapi Raja Arjuna Sasrabahu pada zaman sebelum Ramayana, menitahkan pembuatan Taman Sriwedari (kini jadi nama tempat di Solo) dalam tempo semalam buat isterinya Dewi Citrawati.

Arjuna dalam Mahabarata mesti mencari 40 kerbau khusus yang tak ada di dunia, yang disebut kerbau “pancal pamor”. Penengah Pandawa ini pun mesti mengumpulkan 120 orang yang semuanya kembar. Itulah syarat agar dia bisa nikahi adik Kresna, Subadra.

Dalam legenda, Bandung Bondowoso mesti menciptakan candi seribu patung dalam tempo semalam kalau mau merebut hati Roro Jonggrang.

Sekitar 5 tahun lalu pernah muncul diskusi kecil. Kenapa tidak ada ijtihad atau penyesuaian ajaran agama terhadap konteks zaman menyangkut orang naik haji. Kenapa hajian tidak dibikin setahun dua atau tiga kali. Sehingga orang tidak membludak. Sehingga infrastruktur termasuk hotel dan sanitasi yang dibangun di Mekkah tidak mubazir ketika kosong di luar musim haji.

Diskusi itu makin lama makin surut. Kini nyaris tak kedengaran lagi. Mungkin karena itu tadi, setiap orang perlu setor rasa sungguh-sungguh pada sesuatu yang ia cintai, entah orangtua, entah keluarga, entah bau tanah dan rumpun bambu di kampung halaman.

Sungguh-sungguh lantaran telah mereka lewati antrean berjam-jam di loket-loket angkutan. Sungguh-sungguh lantaran telah mereka atasi harga tiket yang melonjak atas ulah calo. Sungguh-sungguh lantaran naik sepeda motor pun jadi. Bahkan dengan bayi 2-3 bulanan, di kancah sengatan surya, angin dan debu-debu.

***

Yang mengagetkan justru pendapat presenter Hilbram Dunar. Menurutnya dua tahun belakangan ini Jakarta masih tetap ramai pas Lebaran. “Dulu kan Jakarta kalau Lebaran sepinya minta ampun,” katanya. “Apa karena orang Jakarta sudah males mudik. Atau warga Jakarta makin lama makin banyak, sehingga nggak kerasa kalau ada yang mudik?”

Saya lebih condong pada perkiraan Hilbram yang kedua. Ya, orang masih belum males mudik. Mereka seakan tahu, dengan mudik, maka setidaknya 10 trilyun rupiah uang di Jakarta beredar ke pelosok-pelosok.

Mungkin kalau untuk waktu-waktu mendatang dibalik bagus juga ya? Pemudik tidak belanja di kota dan dibawa ke kampung. Tapi belanja di kampung ya makanan, kerajinan atau apa saja, buat dibawa sebagai oleh-oleh atau barang jualan di kota. Desa dengan begitu terus berproduksi. Bukankah tiap daerah punya makanan dan kerajinan yang khas?

*Sujiwo Tejo, Dalang Edan – http://www.sujiwotejo.com

*Dapatkan SMS berlangganan dari Dalang Edan Sujiwo Tejo tentang cara berbagai hal dipandang dari dunia pewayangan. Caranya, ketik reg pde1, kirim ke 9388, Tarif Rp 1.000/SMS. Apabila Anda ingin berhenti, ketik unreg pde1, kirim ke 9388

Saturday, October 06, 2007

Article No.56 in Sindo Daily (about Jealousy)

CEMBURU

Problem pacaran, yang kelak akan tetap memerkara dalam hubungan suami isteri ya kecemburuan. Sebagian kalangan menduga, konflik artis Syahrul Gunawan dan manajemennya disulut oleh bara kecemburuan Indri. Kabarnya Indri, istri Syahrul, cemburu ke artis Intan Nuraini. Dia mantan kekasih Syahrul. Tapi kini tunggal manajemen. Jadi Indri gerah karena menduga Syahrul-Intan sering barengan dan adem dalam payung manajemen yang sama.

Benar atau tidaknya kabar itu mana kita tahu. Yang jelas Syahrul bilang, ya cemburu itu wajarlah. Bahkan, kata Syahrul…Ah, yuk kita ikut-ikutan Intan manggil Syahrul dengan Alul yuk... Bahkan, kata Alul, dengan masih ada kecemburuan, berarti masih ada cinta.

Saya setuju Alul.

***

Saya sering mikir, tak ada yang lebih merepotkan di dunia ini selain manusia. Mobil tanpa AC merepotkan pas ujan. Jendela ditutup kaca depan ngembun. Jendela dibuka masuk tempias ujan. Kadal dan kecoak juga merepotkan. Tapi manusia lebih resek dibanding semua itu.

Salah satu unsur saja. Dikasih kemiskinan, pengin kekayaan. Dikasih makmur pengin papa. Saya sering barengan misalnya dengan konglomerat dan pemusik Soegeng Sarjadi. Mobilnya bagus-bagus. Antara lain Rolls-Royce. Tapi naik mobilnya pakai sarung. Bajunya bagus-bagus, tapi makannya lebih suka tempe, mendoan, rempeyek yang rasa kencurnya masih kental dan sejenisnya.

Kecemburuan juga kayak gitu. Coba dalam sekian kurun waktu sampeyan gak dicemburui oleh orang yang mencintai sampeyan, pusing lho. Hidup jadi hambar. Di lain pihak, coba saban hari orang yang sama itu mencemburui sampeyan, wah puyeng juga. Hidup jadi ribet.

***

Alul, saya setuju sampeyan. Cemburu itu wajar. Dan saya berpendapat, semua yang terciptakan mengisi jagad ini pasti ada gunanya. Perasaan cemburu yang terciptakan di semesta ini pasti ada manfaatnya juga. Babi, cacing, lumut, guntur, kerak, orang gila dan lain-lain yang tercipta di mayapada ini pasti ada gunanya.

Soalnya apakah semua itu muncul pada saat dan tempat yang pas. Cacing ada gunanya buat penggemburan tanah. Baru problem kalau ia muncul di telinga manusia. Lumut juga gak sedap kalau tumbuh di kelopak mata orang. Atau jamur yang jadi aneh kalau timbul pada kemarau.

Cemburu jadi gak pas waktunya, kalau kita dan yang dicemburui patut diduga sedang punya konsentrasi lain seperti soal kerjaan. Apalagi kalau kerjaan itu sangat keras, sehingga patut diduga tak menyisakan waktu pada kita buat menjalin asmara baru.

Cemburu jadi gak pas tempatnya, kalau kita dan yang dicemburui jelas-jelas sedang berada di pasemoan atau ruang publik. Di tempat-tempat umum kayak gitu, keakraban dengan seseorang dan beberapa orang tak pada tempatnya serta-merta disyak-wasangkai sebagai keakraban asmara.

***

Yang merepotkan, bukan soal tempat dan waktu cemburu. Yang bikin pusing, ternyata sumber kecemburuan itu bisa macam-macam. Tak cuma orang lain perempuan atau orang lain laki-laki. Ayah, ibu, saudara, bisa menjadi pemicu kecemburuan isteri atau suami.

Sering saya melihat pasangan muda yang pasangannya tidak cemburu pada laki-laki atau perempuan lain. Ia justru cemburu pada mertuanya. Karena isteri atau suaminya lebih tampak hepi dan sibuk memperhatikan orangtuanya.

Masih untung itu orang. Ada juga kecemburuan pada bukan orang. Saya yakin Anda setuju bahwa kuda, perkutut, komputer dan lain-lain itu bukan orang. Tapi tak jarang isteri yang cemburu lantaran suaminya lebih sering mengelus burung perkutut dan kuta ketimbang mengelus-elus dirinya. Lebih sering mengelus saksofon dan alat musik lainnya ketimbang membuai isterinya. Tak sedikit para suami cemburu pada komputer karena siang-malam isterinya asyik main itu.

***

Cinta itu segalanya. Tapi yang paling repot kalau kita menyangka bahwa segala hal juga bisa dikerjakan dan dibicarakan dengan orang yang kita cintai. “Ngobrol aja kamu ama si A, B, C dan siapa lagi gitu. Kamu udah nggak butuh aku. Kamu lebih butuh mereka,” biasanya gitu inti pertengkaran cemburu.

Kadang lupa disadari bahwa obrolan dengan si A, B, C dan khususnya teman-teman kerja itu adalah obrolan dalam lingkup teknis dan profesi. Wakil Presiden Pak Hatta ngobrol soal ekonomi negara ya dengan staf-stafnya. Bahkan isterinya sendiri tak dikasih tahu kalau esok paginya akan ada pemotongan nilai rupiah.

Ada topik yang tak bisa dibicarakan dengan orang yang kita cintai karena mungkin perbedaan profesi dan tingkat pendidikan formal. Bahkan ada pula rahasia, termasuk rahasia negara, yang mungkin wajar kalau tak kita bongkar di depan orang yang kita cintai.

Tapi kita tetap memerlukan orang yang kita cintai untuk ngomongin yang lebih dalam dari semua topik dan rahasia itu termasuk rahasia profesi dan negara, antara lain rasa takut, rasa tak percaya diri, kecemasan…

***

Saya setuju Alul. Cemburu itu wajar. Selanjutnya kita tinggal memilih, akan bekerja sama dengan keluarga atau terpisah sama sekali dalam menjalankan profesi. Contoh yang barengan keluarga juga ada. Kelompok musik Slank misalnya dikelola oleh Bunda Iffet, ibu dari pemain drum Bimbim.

“Ada negatifnya, tapi tetap saja baik kalau keluarga itu dilibatkan dalam pekerjaan,” kata Helmy Yahya, presenter yang kerap pula mengelola artis. Tapi, presenter Ersa Mayori menandaskan, kalau seseorang memutuskan orang lain yang mengelola, keluarga tidak bisa ikut campur. Masukan dari keluarga tetap penting. Tapi yang menyampaikan ke manajer tetaplah yang bersangkutan, jangan keluarga.

*Sujiwo Tejo, Dalang Edan – http://www.sujiwotejo.com

*Dapatkan SMS berlangganan dari Dalang Edan Sujiwo Tejo tentang cara berbagai hal dipandang dari dunia pewayangan. Caranya, ketik reg pde1, kirim ke 9388, Tarif Rp 1.000/SMS. Apabila Anda ingin berhenti, ketik unreg pde1, kirim ke 9388

*telah diterbitkan di Harian Sindo, 5 Oktober 2007

Frankly Speaking in Area Magazine ed.97/October '07 (about Halloween)

HALO RASA TAKUT, HALO "HALLOWEEN"

Kayaknya ada apa ndak Halloween atau pesta hantu lainnya lagi, setiap orang perlu rasa takut deh. Jadi selain perlu sembilan bahan kebutuhan pokok alias sembako, perlu cita-cita, perlu pulsa, orang hidup juga perlu deg-degan.

Punya duit banyak? Terbang jauh ke Afrika. Menyelamlah dengan ikan-ikan hiu bersama wisatawan dunia. Tanpa duit melimpah perjumpaan dengan ketakutan dapat dilakukan pula. Gratis pun bahkan dapat.

Di komedi putar pasar malam keliling di kampung-kampung, biasanya juga ada bilik hantunya. Ya nggak setipe hantu Goblin dalam Halloween. Tapi wujudnya aneh. Orang sudah bisa takut melihat wajah-wajah yang mengerikan itu tanpa duit sebanyak buat gathering dengan para hiu.

Tak punya uang sama sekali, tinggal nongkrong di beberapa ruas jalan umum. Terutama malem Minggu. Banyaklah di situ balapan sepeda motor yang bikin merinding.

Soal yang mau dibikin ngeri itu obyeknya apa dan warnanya bagaimana, tinggal soal kehumasan. Hitam dan oranye yang dianggap sebagai warna tradisional Halloween, dengan kehumasan toh sekarang kadang jadi ungu, hijau atau merah.

Kok persis kasus kolesterol ya?

Sebagai “hantu”, beberapa dokter bilang kolesterol jauh lebih mengerikan ketimbang nikotin. Nikotin cuma bikin “pipa” darah ndak luwes dan ndak lentur. Jadi riskan kalau kegencet atau ketekuk. Kolesterol? Wah ini bikin “pipa” darah menyempit. Lama-lama tersumbat.

Tapi kehumasan telah membuatnya lain. Gencarnya kampanye anti-rokok dan stiker peringatan terhadap perokok, telah membuat “hantu” nikotin tampil jauh lebih mengerikan ketimbang “hantu” kolesterol.

Mungkin orang sebenarnya sudah tahu semua soal itu. Mereka cuma nggak mau capek aja kalau harus masang stiker anti-kolesterol. Bayangkan tiap udang, kambing, dan lain-lain termasuk pohon kelapa harus ditempel itu. Rumah-rumah makan Padang juga (sembari nempel “awas kencing manis” buat warung-warung Jawa).

Sekarang orang-orangan sawah buat pengusir burung bagi saya tidak menakutkan. Masih lebih menakutkan jaelangkung. Lama-lama, kalau pesta Halloween yang antara lain berakar dari tradisi panen di Irlandia kian merebak di Nusantara, orang-orangan sawah bisa mengerikan.

Untungnya yang lebih kerap dipakai sebagai simbol Halloween sekarang labu. Bukan orang-orangan sawah. Mungkin lama-lama labu akan tampil lebih horor ketimbang batok kelapa yang kerap jadi kepala jaelangkung.

Saya sih lebih merindukan kehumasan atau kampanye yang begini, agak klise, tapi tetap aktual: Yang perlu kita takuti bukan hantu Halloween atau hantu apa pun. Yang perlu kita takuti adalah ketakutan itu sendiri.

Makanya topeng Halloween mestinya bukan topeng yang bikin orang takut. Tapi topeng yang ekspresinya ketakutan sendiri. Harapannya, yang nonton topeng itu takut pada ketakutan.

Spirit ular bisa dicontoh. Menurut banyak pawang ular, binatang itu amat sibuk dengan ketakutannya pada manusia. Mereka menyerang justru pada puncak ketakutan. Tapi akting dan mimiknya kok menakutkan ya?

Mungkin para pembuat topeng bisa bikin modifikasi sehingga ekspresi wajah ular yang dikreasikan lebih sesuai dengan isi hati ular itu sendiri.

Ya. Kita perlu takut pada ketakutan. Artinya kita perlu berani. Masa depan kian butuh keberanian. Karena kepandaian, kekayaan, kekuasaan, semuanya mati kutu berhadapan dengan keberanian.

*Sujiwo Tejo, Dalang Edan - www.sujiwotejo.com

*telah diterbitkan di area Magazine, edisi 97, Oktober 2007

Friday, September 28, 2007

Wayangan buat Gading-Reni Kita

Yang paling tahu soal hubungan Gading Marten dan Reni Sutiyoso pastilah cuma keduanya. Kalau gosip ya macem-macem. Ada yang bilang putra aktor Roy Marten itu pindah agama. Ayahnya yang asal Salatiga kabarnya mengeluh karena Gading meninggalkannya.

Tapi Gading membantah. Masa’, katanya, tega-teganya ia ngacir dari agama orangtuanya. Cuma, gosip lain menyebut, Gading terperangah saat diberi tahu bahwa keluhan Roy itu diceritakan oleh sumber terpercaya dari lingkungan keluarga lho.

Pekan lalu saya mendengar selentingan dari infotainment bahwa pasangan putra aktor dan putri seorang gubernur itu telah menikah di Bali. Benarkah? Ya, itu tadi, kita tak akan pernah tahu pastinya. Namanya juga gosip. Desas-desus. Kabar burung.

***

Konflik yang timbul dari kisah cinta sudah lumrah. Telah berabad-abad pula kejadiannya. Termasuk dampaknya terhadap orangtua kedua belah pihak. Bagi saya, yang menarik bukan konfliknya. Romantismenya itulah yang lebih asyik buat disimak.

Dengarlah pengakuan Gading soal kenapa ia tertarik Reni (ini kalau cinta terpaksa harus dijelas-jelaskan alasannya meski sebenarnya mustahil menjelaskan alasan cinta). Karena, katanya, jiwa sosial Reni. Waktu banjir Jakarta, Reni cepat turun tangan. Ia tak bawa embel-embel nama orangtua, orang nomor satu di kawasan banjir itu.

Sebaliknya, Reni tetap dekat dengan Gading meski gosip menyebut bahwa kekasihnya itu playboy. Isu yang agak masuk akal kalau dicocok-cocokkan dengan kelakuan bapaknya, Roy Marten, setidaknya dalam versi film.

Roy hampir selalu jadi playboy di gedung bioskop, termasuk pacaran dengan dosennya (diperankan Rae Sita) dalam film Cintaku di Kampus Biru, film dengan setting kampus UGM atas dasar novel dosen UGM pula, Ashadi Siregar.

Saya masih inget salah satu adegannya. Ibu dosen telentang di lantai ruang kuliah. Rambutnya menjurai ke lantai. Di atas wajahnya ada wajah mahasiswa playboy itu. Pemerannya ayah Gading.

Mengenang film itu. Mendengar kabar burung tentang Gading. Tapi Reni tetap dekat dengan Gading. Sungguh kisah cinta yang romantis dan mahal.

***

Selain soal romantisme, sebagai dalang saya juga tertarik pada betapa prediksi-prediksi kisah pewayangan kerap benar-benar muncul dalam kenyataan. Wayang menyebut, setiap manusia pasti akan mengalami 12 kali peperangan termasuk perang antara anak dan orangtuanya. Kayaknya Pak Sutiyoso-Reni sedang dalam tahap itu deh.

Baratayuda, yaitu perang antar-saudara kandung, perang yang sangat dikenal, sesungguhnya cuma perang ke-4 atau salah satu fase perang yang telah atau akan dialami setiap insan. Selain perang di Tegal Kuru Setra itu ada juga yang disebut perang Gojali (orangtua) Suto (anak).

Kresna dalam Mahabarata pernah berperang dengan anaknya sendiri, Bomanarakasura, bahkan sampai membunuhnya untuk alasan kenegaraan. Wisrawa dalam Ramayana, pernah berperang dengan anaknya sendiri, Danapati, karena rebutan perempuan yaitu Sukesi yang kemudian beranak Rahwana.

Kini, di luar wayang, Sutiyoso sedang “berperang” juga dengan anaknya sendiri karena perbedaan agama Gading-Reni. Ibu-ibu jangan merasa bangga maupun menertawakan, karena cepat atau lambat, sebagai orangtua, Ibu-ibu juga akan berantem dengan anak sendiri dari perkara pilihan profesi sampai perkara jodoh.

Aduh, tapi kebayang deh perang dengan anak sendiri, dengan darah daging sendiri, dengan orang yang pernah kita lihat gumoh dan popoknya, orang yang kita cintai tak dengan cara pacaran. Pasti banyak kikuknya. Pasti banyak tangis diem-diem-nya.

Sutiyoso boleh punya wajah jenderal perang, seperti jenderal Ryamizard Ryacudu, Hendropriyono, Bibit Waluyo dan Ari Soedewo. Kalangan swasta yang merindukan ketegasan dan “tangan besi” kepemimpinan nasional, banyak yang menginginkannya jadi presiden mendatang.

Tapi, aduh...ini berhadapan dengan anak sendiri. Anak perempuan lagi. Tak sedikit laki-laki yang mati kutu pada anak perempuannya sendiri. Rudy Wowor, guru tari yang keras itu, juga mati kutu pada anak perempuannya, aktris Madina.

Adegan perang Kresna-Boma dan Wisrawa-Danapati juga tak diiringi dengan repertoar gamelan perang biasa. Repertoarnya kikuk, sedih. Lantunan pesindennya juga menyayat-nyayat dan gloomy.

***

Hal lain yang menarik dalam kasus Gading-Reni, saya cuma dengar Sutiyoso tak setuju hubungan anaknya dengan Gading karena perbedaan agama. Saya tak pernah dengar Sutiyoso tak setuju lantaran ayah Gading mantan narapidana.

Bila yang terakhir ini yang terjadi, gawat. Itu namanya hukuman moral. Bisa gawat positif, bisa gawat negatif. Negatif, bagi narapidana yang betul-betul sudah kapok selepas usai masa hukuman fisiknya. Hukuman moral dari masyarakat akan membuatnya tak bergairah membikin lembaran baru hidup yang lebih baik.

Positif jika bui tak membuatnya jera. Aktris Happy Salma melihat hukuman moral, yang bisa dijatuhkan pada seseorang sampai ke keluarga-keluarganya, bisa efektif.

Bagi penyanyi Nugie, secara umum sekarang ini penjara fisik sudah tidak efektif untuk membuat orang sadar. Selain hukum moral, dia mengusulkan hukum adat. “Kita bisa bikin paguyuban-paguyuban suku yang berfungsi menerapkan nilai-nilai adat. Tapi pengontrolnya mesti ketat ya,” kata Nugie.

Dan kita tinggal mengikuti episode lanjutan kisah cinta Reni-Gading.

*Sujiwo Tejo, Dalang Edan – http://www.sujiwotejo.com

*Dapatkan SMS berlangganan dari Dalang Edan Sujiwo Tejo tentang cara berbagai hal dipandang dari dunia pewayangan. Caranya, ketik reg pde1, kirim ke 9388, Tarif Rp 1.000/SMS. Apabila Anda ingin berhenti, ketik unreg pde1, kirim ke 9388

*Artikel ini telah diterbitkan di Harian Seputar Indonesia edisi 28 September 2007

Tuesday, September 25, 2007

“Area” dan Arena Mendalang Singkat

Wah, Area ulang tahun ya? Ini yang ke-4. Asyik juga. Dan saya juga makasih sebagai mantan wartawan telah disuruh nulis rutin di media massa yang kini sedang bertanggap-warsa ini.

Bukan apa-apa. Bikin tulisan, ya kolom, esai atau apa aja, itu laksana candu. Seperti lagu Hotel California-nya The Eagles. Sekali Engkau masuk ke dalamnya, impossible Kau akan pernah mampu total meninggalkannya.

Sempat saya guncang terhadap nasib media cetak ketika pertelevisian awal-awal marak di Indonesia seperti di Amerika tahun 50-an. Di sini kejadiannya tahun 90-an.

Saat itu stasiun televisi menjamur. Penonton media audio-visual nambah cepat. Tapi pangsa media cetak tak beranjak dari 10 jutaan orang pembaca. Ini dari 200 jutaan lebih warga Arsipelago lho?

Orang bobo ditemenin televisi. Tak koran atau majalah. Kalau demi hemat listrik televisi itu kita matiin, orangnya kebangun. “Jangan dimatiin. Sepi. Takut,” begitu biasanya mereka menjawab sambil merem.

Belum portal-portal berita di internet. Kepemilikan handphone juga tumbuh pesat. Kini kabarnya sudah 50 juta orang lebih punya handphone. Mereka nyetir mobil bahkan sepeda motor sambil ber-“telefaun”-ria. Berita-berita bisa diakses via telepon genggam juga.

Eh, dalam keadaan yang sepertinya tak ada masa depan buat koran dan majalah itu, ternyata masih ada juga orang yang nekad dan mau-maunya bikin media cetak. Termasuk Reza Puspo, Aksara Sophiaan, Wulan Natasha dan lain-lain yang membidani lahirnya Area.

Mungkin mereka belajar dari kasus di Amerika dan Inggris. Televisi boleh marak. Orang tidur di-nina-bobo-kan televisi. Tapi buang air besar paling enak sambil baca kabar cetakan. Oke, tapi berapa orang di Nusantara ini punya kebiasaan iqro’ di toilet?

Atau perjalanan? Orang-orang tidak bisa membawa televisi kala melancong. Di kapal atau pesawat atau bus, adanya televisi bersama. Channel-nya tidak bisa kita atur semau kita.

Makanya media cetak berlomba-lomba memperkecil tampilan cetakannya. Ini agar kertasnya, kalau dibolak-balik, tidak mengganggu teman sebelah di perjalanan. Tapi kok saya lebih sering lihat mereka baca komik atau novel ketimbang koran atau majalah?

Ah, yang paling tahu jawabannya pastilah orang-orang pers cetak termasuk para penggagas Area. Saya paling cuma bisa berandai-andai. Termasuk ambil amsal dari bisnis download musik via handphone.

Kenapa misalnya orang masih juga beli CD album musik padahal sudah bisa men-download via telepon genggamnya? Ini terutama di Indonesia. Karena, kata temen-temen di dunia pernadaan, konsumen kita tetep pengin pegang sosok fisik nada-nada itu. Ya keping cakramnya. Ya cover-nya.

Yang sudah pasti, seperti kerap saya saksikan sendiri, pembaca sudah makin nggak sabaran dalam membaca. Pilihan pengisi senggang, televisi dan main handphone, selalu tersedia. Maka mereka baca judul-judul berita atau tulisan aja. Kalaupun harus membaca, ya sepintas-sepintas.

Tak heran kalau redaksi kini makin ketat membatasi panjang tulisan. It’s ok. Don’t worry be sesingkat-singkatnya. Kalau perlu, redaksi pers cetak minta ke wartawan dan kolomnis bikin tulisan dengan cuma satu anak kalimat, kami para penulis siap.

Zaman berubah. Siapa takut. Masa’ kalah ama dalang senior Mas Manteb Sudarsono. Biasa ndalang semalam suntuk, tapi pernah di Eropa cuma dikasih waktu pentas 3 menit, juga go kok. Tenang aja. Pokoknya buueeresss!

*Sujiwo Tejo, Dalang Edan - www.sujiwotejo.com

*telah diterbitkan di rubrik Frankly Speaking - Area free magazine edisi 96, September 2007

Sunday, September 23, 2007

Seputar Gas, Seputar "Which is"

Dalam hidup ini ada beberapa kata untuk satu maksud. Which is orang bisa bilang “Jaka Sembung”. Which is orang bisa bilang “gak on” untuk maksud “nggak nyambung” dalam pembicaraan. Pernah juga untuk maksud yang sama itu dulu orang-orang pakai “nggak ngamper” (diambil dari istilah perlistrikan Ampere).

Sebaliknya ada satu kata untuk beberapa pengertian. Begitu dengar kata “gas”, yang muncul di benak saya ada beberapa bayangan. Kadang jenis mobil macam jip tapi amat kekar. Which is kalau tidak salah bikinan Rusia.

Masa kecil saya di Baluran, Jawa Timur, kerap kali melihat kendaraan Gas itu mondar-mondar dengan gagah. Pengendaranya gagah-gagah juga, yaitu KKO Angkatan Laut which is kini jadi marinir.

Pindah ke Bandung, ketika kuliah, “gas” ternyata bukan cuma kendaraan perang. “Gas” ternyata juga bisa berupa “Grup Apresiasi Sastra”, which is sebuah unit kegiatan mahasiswa di kampus ITB.

Alumnusnya juga sudah banyak. Misalnya, sastrawan Mohamad Ridlo Eisy, Nirwan Dewanto dan Fadjroel Rahman. Arya Gunawan Usis which is kerap menulis rubrik bahasa dan memimpin UNESCO kawasan Asia, juga jebolan GAS-ITB.

Tapi ternyata “gas” tak cuma mobil tempur dan kerumunan penyair. Ada lagi. “Gas”, which is dengan cita rasa penyingkatan tertentu, ternyata adalah kependekan dari “tugas”. Karena itu “Satgas” berkepanjangan “Satuan Tugas”.

Nggak usah diprotes kenapa kok tidak disingkat “Sattu”, which is lebih konsisten dengan mengambil suku kata depannya saja. Ya, inilah cita-rasa penyingkatan militer ketika militer lagi marak-maraknya.

Yang dikejar unsur bunyi garangnya. Tak harus taat asas dengan mengambil suku kata depan semua, tengah semua, atau belakang semua. Pernah dengar Departemen P dan K? Itu cita rasa penyingkatan sipil. Which is lain dengan “Depdikbud”. Badan Koordinasi Survei Pertanahan Nasional, bukan disingkat “Bakosurpenas”. Ini sipil. Tapi jadinya “Bakosurtanal”.

Maka nggak usah diprotes. Sim salabim, dalam riwayat negeri ini which is penuh casting militer ini, terima saja “Gas” adalah singkatan dari “tugas”.

Dan kini kita punya tiga pengertian menyangkut “gas”, yaitu mobil jenis jip which is sangat macho, kelompok penggemar sastra seperti juga Musyawarah Burung, dan tugas.

***

Pada tiga pengertian ”gas” which is telah kita dapat, kini saya tambahi lagi. Yaitu “gas” yang pada titik tertentu lucu, tapi pada suasana lainnya gawat. Inilah pedal gas pada mobil.

Lucu, terutama pada orang yang sedang belajar mengemudi, terutama ibu-ibu, dan terutama kalau kejadiannya di tempat yang aman dan lapang. Kaki kanan mereka suka ketukar-tukar menginjak pedal rem dan pedal gas. Jalannya mobil tersendat-sendat jadi kayak pelawak Srimulat which is Tesi.

Ada lagi “gas” jenis lain. Untuk orang Jawa, which is khususnya Jawa Timur di wilayah “Tapal Kuda”, wilayah perpaduan bahasa Jawa dan Madura, yaitu Pasuruan, Probolinggo, Jember, Situbondo, Bondowoso dan Banyuwangi, “gas” mungkin berarti tanah.

Karena itu mereka menyebut minyak (lengo) tanah dengan “lengo gas” which is alias minyak gas (bedakan dengan lengo klentik alias minyak kelapa).

Salah satu hiburan saya ketika SD adalah melihat pedagang grosir lengo gas menuangkan lengo itu secara eceran. Which is bening banget melihat lengo gas dituangkan dari cidukan drum ke corong jirigen. Baunya enak.

***

Maka, untuk hiburan, imbauan penyelenggara negara which is mereka menyuruh kita pindah dari minyak tanah ke gas, bisa kita tafsir dengan banyak bayangan atas dasar kata “gas”.

Which is penyelenggara negara menginginkan masyarakat lebih sejahtera dengan memiliki mobil segagah “gas” pada masa keemasannya. Which is keinginan itu sungguh mulia, karena memang sudah jadi “gas” alias “tugas” penyelenggara negaralah untuk menyejahterakan warganya.

Kalau rakyat sudah sejahtera, which is perbedaan kaya miskin tidak begitu mencolok, bukankah kita baru bisa benar-benar menerapkan mitos demokrasi karena demokrasi alias klenik modern itu baru bisa jalan pada masyarakat yang perbedaan sosialnya tidak timpang bahkan njomplang?

Imbauan penyelenggara negara untuk pindah ke gas, alias Grup Apresiasi Sastra, juga berarti imbauan agar masyarakat menggladi kemampuannya berbahasa, which is kemampuan itu menunjukkan kemampuan daya nalar pula.

Ini penting agar kalau masyarakat kelak jadi birokrat atau orang parlemen, which is kecanggihan dan ketajaman bahasa amat diperlukan, redaksional perundang-undangan jagi nggak ngombro-ombro dan banyak bolongnya. Beberapa negara industri terutama Inggris, menekankan kemampuan bahasa peserta didiknya bahkan untuk pendidikan militer.

Imbauan penyelenggara negara untuk pindah ke gas, juga berarti agar kita nggak cuma mengerem melulu dalam hidup ini, which is kalau diterus-terusin jadi bikin frustrasi. Injaklah pedal gas, supaya kehidupan tidak statis.

Paling yang bingung cuma orang-orang Jawa-Madura di “Tapal Kuda” di Jawa Timur.

“Adooo Bu, de’remma saya sudah pakai minyak gas dari dulu. Cuma minyak gas zaman dulu itu bisa ngecer, Bu. Minyak gas zaman sekarang yang pakai bung-tabung itu ndak bisa ngecer...Saya sudah tanya ke orang-orang Jakarta. Tapi saya ndak ngerti. Mereka ngomongnya wicis-wicis tok..”

*Sujiwo Tejo, Dalang Edan – http://sujiwotejo.com

*Dapatkan SMS berlangganan dari Dalang Edan Sujiwo Tejo tentang cara berbagai hal dipandang dari dunia pewayangan. Caranya, ketik reg pde1, kirim ke 9388, Tarif Rp 1.000/SMS. Apabila Anda ingin berhenti, ketik unreg pde1, kirim ke 9388