Friday, September 28, 2007

Wayangan buat Gading-Reni Kita

Yang paling tahu soal hubungan Gading Marten dan Reni Sutiyoso pastilah cuma keduanya. Kalau gosip ya macem-macem. Ada yang bilang putra aktor Roy Marten itu pindah agama. Ayahnya yang asal Salatiga kabarnya mengeluh karena Gading meninggalkannya.

Tapi Gading membantah. Masa’, katanya, tega-teganya ia ngacir dari agama orangtuanya. Cuma, gosip lain menyebut, Gading terperangah saat diberi tahu bahwa keluhan Roy itu diceritakan oleh sumber terpercaya dari lingkungan keluarga lho.

Pekan lalu saya mendengar selentingan dari infotainment bahwa pasangan putra aktor dan putri seorang gubernur itu telah menikah di Bali. Benarkah? Ya, itu tadi, kita tak akan pernah tahu pastinya. Namanya juga gosip. Desas-desus. Kabar burung.

***

Konflik yang timbul dari kisah cinta sudah lumrah. Telah berabad-abad pula kejadiannya. Termasuk dampaknya terhadap orangtua kedua belah pihak. Bagi saya, yang menarik bukan konfliknya. Romantismenya itulah yang lebih asyik buat disimak.

Dengarlah pengakuan Gading soal kenapa ia tertarik Reni (ini kalau cinta terpaksa harus dijelas-jelaskan alasannya meski sebenarnya mustahil menjelaskan alasan cinta). Karena, katanya, jiwa sosial Reni. Waktu banjir Jakarta, Reni cepat turun tangan. Ia tak bawa embel-embel nama orangtua, orang nomor satu di kawasan banjir itu.

Sebaliknya, Reni tetap dekat dengan Gading meski gosip menyebut bahwa kekasihnya itu playboy. Isu yang agak masuk akal kalau dicocok-cocokkan dengan kelakuan bapaknya, Roy Marten, setidaknya dalam versi film.

Roy hampir selalu jadi playboy di gedung bioskop, termasuk pacaran dengan dosennya (diperankan Rae Sita) dalam film Cintaku di Kampus Biru, film dengan setting kampus UGM atas dasar novel dosen UGM pula, Ashadi Siregar.

Saya masih inget salah satu adegannya. Ibu dosen telentang di lantai ruang kuliah. Rambutnya menjurai ke lantai. Di atas wajahnya ada wajah mahasiswa playboy itu. Pemerannya ayah Gading.

Mengenang film itu. Mendengar kabar burung tentang Gading. Tapi Reni tetap dekat dengan Gading. Sungguh kisah cinta yang romantis dan mahal.

***

Selain soal romantisme, sebagai dalang saya juga tertarik pada betapa prediksi-prediksi kisah pewayangan kerap benar-benar muncul dalam kenyataan. Wayang menyebut, setiap manusia pasti akan mengalami 12 kali peperangan termasuk perang antara anak dan orangtuanya. Kayaknya Pak Sutiyoso-Reni sedang dalam tahap itu deh.

Baratayuda, yaitu perang antar-saudara kandung, perang yang sangat dikenal, sesungguhnya cuma perang ke-4 atau salah satu fase perang yang telah atau akan dialami setiap insan. Selain perang di Tegal Kuru Setra itu ada juga yang disebut perang Gojali (orangtua) Suto (anak).

Kresna dalam Mahabarata pernah berperang dengan anaknya sendiri, Bomanarakasura, bahkan sampai membunuhnya untuk alasan kenegaraan. Wisrawa dalam Ramayana, pernah berperang dengan anaknya sendiri, Danapati, karena rebutan perempuan yaitu Sukesi yang kemudian beranak Rahwana.

Kini, di luar wayang, Sutiyoso sedang “berperang” juga dengan anaknya sendiri karena perbedaan agama Gading-Reni. Ibu-ibu jangan merasa bangga maupun menertawakan, karena cepat atau lambat, sebagai orangtua, Ibu-ibu juga akan berantem dengan anak sendiri dari perkara pilihan profesi sampai perkara jodoh.

Aduh, tapi kebayang deh perang dengan anak sendiri, dengan darah daging sendiri, dengan orang yang pernah kita lihat gumoh dan popoknya, orang yang kita cintai tak dengan cara pacaran. Pasti banyak kikuknya. Pasti banyak tangis diem-diem-nya.

Sutiyoso boleh punya wajah jenderal perang, seperti jenderal Ryamizard Ryacudu, Hendropriyono, Bibit Waluyo dan Ari Soedewo. Kalangan swasta yang merindukan ketegasan dan “tangan besi” kepemimpinan nasional, banyak yang menginginkannya jadi presiden mendatang.

Tapi, aduh...ini berhadapan dengan anak sendiri. Anak perempuan lagi. Tak sedikit laki-laki yang mati kutu pada anak perempuannya sendiri. Rudy Wowor, guru tari yang keras itu, juga mati kutu pada anak perempuannya, aktris Madina.

Adegan perang Kresna-Boma dan Wisrawa-Danapati juga tak diiringi dengan repertoar gamelan perang biasa. Repertoarnya kikuk, sedih. Lantunan pesindennya juga menyayat-nyayat dan gloomy.

***

Hal lain yang menarik dalam kasus Gading-Reni, saya cuma dengar Sutiyoso tak setuju hubungan anaknya dengan Gading karena perbedaan agama. Saya tak pernah dengar Sutiyoso tak setuju lantaran ayah Gading mantan narapidana.

Bila yang terakhir ini yang terjadi, gawat. Itu namanya hukuman moral. Bisa gawat positif, bisa gawat negatif. Negatif, bagi narapidana yang betul-betul sudah kapok selepas usai masa hukuman fisiknya. Hukuman moral dari masyarakat akan membuatnya tak bergairah membikin lembaran baru hidup yang lebih baik.

Positif jika bui tak membuatnya jera. Aktris Happy Salma melihat hukuman moral, yang bisa dijatuhkan pada seseorang sampai ke keluarga-keluarganya, bisa efektif.

Bagi penyanyi Nugie, secara umum sekarang ini penjara fisik sudah tidak efektif untuk membuat orang sadar. Selain hukum moral, dia mengusulkan hukum adat. “Kita bisa bikin paguyuban-paguyuban suku yang berfungsi menerapkan nilai-nilai adat. Tapi pengontrolnya mesti ketat ya,” kata Nugie.

Dan kita tinggal mengikuti episode lanjutan kisah cinta Reni-Gading.

*Sujiwo Tejo, Dalang Edan – http://www.sujiwotejo.com

*Dapatkan SMS berlangganan dari Dalang Edan Sujiwo Tejo tentang cara berbagai hal dipandang dari dunia pewayangan. Caranya, ketik reg pde1, kirim ke 9388, Tarif Rp 1.000/SMS. Apabila Anda ingin berhenti, ketik unreg pde1, kirim ke 9388

*Artikel ini telah diterbitkan di Harian Seputar Indonesia edisi 28 September 2007

Tuesday, September 25, 2007

“Area” dan Arena Mendalang Singkat

Wah, Area ulang tahun ya? Ini yang ke-4. Asyik juga. Dan saya juga makasih sebagai mantan wartawan telah disuruh nulis rutin di media massa yang kini sedang bertanggap-warsa ini.

Bukan apa-apa. Bikin tulisan, ya kolom, esai atau apa aja, itu laksana candu. Seperti lagu Hotel California-nya The Eagles. Sekali Engkau masuk ke dalamnya, impossible Kau akan pernah mampu total meninggalkannya.

Sempat saya guncang terhadap nasib media cetak ketika pertelevisian awal-awal marak di Indonesia seperti di Amerika tahun 50-an. Di sini kejadiannya tahun 90-an.

Saat itu stasiun televisi menjamur. Penonton media audio-visual nambah cepat. Tapi pangsa media cetak tak beranjak dari 10 jutaan orang pembaca. Ini dari 200 jutaan lebih warga Arsipelago lho?

Orang bobo ditemenin televisi. Tak koran atau majalah. Kalau demi hemat listrik televisi itu kita matiin, orangnya kebangun. “Jangan dimatiin. Sepi. Takut,” begitu biasanya mereka menjawab sambil merem.

Belum portal-portal berita di internet. Kepemilikan handphone juga tumbuh pesat. Kini kabarnya sudah 50 juta orang lebih punya handphone. Mereka nyetir mobil bahkan sepeda motor sambil ber-“telefaun”-ria. Berita-berita bisa diakses via telepon genggam juga.

Eh, dalam keadaan yang sepertinya tak ada masa depan buat koran dan majalah itu, ternyata masih ada juga orang yang nekad dan mau-maunya bikin media cetak. Termasuk Reza Puspo, Aksara Sophiaan, Wulan Natasha dan lain-lain yang membidani lahirnya Area.

Mungkin mereka belajar dari kasus di Amerika dan Inggris. Televisi boleh marak. Orang tidur di-nina-bobo-kan televisi. Tapi buang air besar paling enak sambil baca kabar cetakan. Oke, tapi berapa orang di Nusantara ini punya kebiasaan iqro’ di toilet?

Atau perjalanan? Orang-orang tidak bisa membawa televisi kala melancong. Di kapal atau pesawat atau bus, adanya televisi bersama. Channel-nya tidak bisa kita atur semau kita.

Makanya media cetak berlomba-lomba memperkecil tampilan cetakannya. Ini agar kertasnya, kalau dibolak-balik, tidak mengganggu teman sebelah di perjalanan. Tapi kok saya lebih sering lihat mereka baca komik atau novel ketimbang koran atau majalah?

Ah, yang paling tahu jawabannya pastilah orang-orang pers cetak termasuk para penggagas Area. Saya paling cuma bisa berandai-andai. Termasuk ambil amsal dari bisnis download musik via handphone.

Kenapa misalnya orang masih juga beli CD album musik padahal sudah bisa men-download via telepon genggamnya? Ini terutama di Indonesia. Karena, kata temen-temen di dunia pernadaan, konsumen kita tetep pengin pegang sosok fisik nada-nada itu. Ya keping cakramnya. Ya cover-nya.

Yang sudah pasti, seperti kerap saya saksikan sendiri, pembaca sudah makin nggak sabaran dalam membaca. Pilihan pengisi senggang, televisi dan main handphone, selalu tersedia. Maka mereka baca judul-judul berita atau tulisan aja. Kalaupun harus membaca, ya sepintas-sepintas.

Tak heran kalau redaksi kini makin ketat membatasi panjang tulisan. It’s ok. Don’t worry be sesingkat-singkatnya. Kalau perlu, redaksi pers cetak minta ke wartawan dan kolomnis bikin tulisan dengan cuma satu anak kalimat, kami para penulis siap.

Zaman berubah. Siapa takut. Masa’ kalah ama dalang senior Mas Manteb Sudarsono. Biasa ndalang semalam suntuk, tapi pernah di Eropa cuma dikasih waktu pentas 3 menit, juga go kok. Tenang aja. Pokoknya buueeresss!

*Sujiwo Tejo, Dalang Edan - www.sujiwotejo.com

*telah diterbitkan di rubrik Frankly Speaking - Area free magazine edisi 96, September 2007

Sunday, September 23, 2007

Seputar Gas, Seputar "Which is"

Dalam hidup ini ada beberapa kata untuk satu maksud. Which is orang bisa bilang “Jaka Sembung”. Which is orang bisa bilang “gak on” untuk maksud “nggak nyambung” dalam pembicaraan. Pernah juga untuk maksud yang sama itu dulu orang-orang pakai “nggak ngamper” (diambil dari istilah perlistrikan Ampere).

Sebaliknya ada satu kata untuk beberapa pengertian. Begitu dengar kata “gas”, yang muncul di benak saya ada beberapa bayangan. Kadang jenis mobil macam jip tapi amat kekar. Which is kalau tidak salah bikinan Rusia.

Masa kecil saya di Baluran, Jawa Timur, kerap kali melihat kendaraan Gas itu mondar-mondar dengan gagah. Pengendaranya gagah-gagah juga, yaitu KKO Angkatan Laut which is kini jadi marinir.

Pindah ke Bandung, ketika kuliah, “gas” ternyata bukan cuma kendaraan perang. “Gas” ternyata juga bisa berupa “Grup Apresiasi Sastra”, which is sebuah unit kegiatan mahasiswa di kampus ITB.

Alumnusnya juga sudah banyak. Misalnya, sastrawan Mohamad Ridlo Eisy, Nirwan Dewanto dan Fadjroel Rahman. Arya Gunawan Usis which is kerap menulis rubrik bahasa dan memimpin UNESCO kawasan Asia, juga jebolan GAS-ITB.

Tapi ternyata “gas” tak cuma mobil tempur dan kerumunan penyair. Ada lagi. “Gas”, which is dengan cita rasa penyingkatan tertentu, ternyata adalah kependekan dari “tugas”. Karena itu “Satgas” berkepanjangan “Satuan Tugas”.

Nggak usah diprotes kenapa kok tidak disingkat “Sattu”, which is lebih konsisten dengan mengambil suku kata depannya saja. Ya, inilah cita-rasa penyingkatan militer ketika militer lagi marak-maraknya.

Yang dikejar unsur bunyi garangnya. Tak harus taat asas dengan mengambil suku kata depan semua, tengah semua, atau belakang semua. Pernah dengar Departemen P dan K? Itu cita rasa penyingkatan sipil. Which is lain dengan “Depdikbud”. Badan Koordinasi Survei Pertanahan Nasional, bukan disingkat “Bakosurpenas”. Ini sipil. Tapi jadinya “Bakosurtanal”.

Maka nggak usah diprotes. Sim salabim, dalam riwayat negeri ini which is penuh casting militer ini, terima saja “Gas” adalah singkatan dari “tugas”.

Dan kini kita punya tiga pengertian menyangkut “gas”, yaitu mobil jenis jip which is sangat macho, kelompok penggemar sastra seperti juga Musyawarah Burung, dan tugas.

***

Pada tiga pengertian ”gas” which is telah kita dapat, kini saya tambahi lagi. Yaitu “gas” yang pada titik tertentu lucu, tapi pada suasana lainnya gawat. Inilah pedal gas pada mobil.

Lucu, terutama pada orang yang sedang belajar mengemudi, terutama ibu-ibu, dan terutama kalau kejadiannya di tempat yang aman dan lapang. Kaki kanan mereka suka ketukar-tukar menginjak pedal rem dan pedal gas. Jalannya mobil tersendat-sendat jadi kayak pelawak Srimulat which is Tesi.

Ada lagi “gas” jenis lain. Untuk orang Jawa, which is khususnya Jawa Timur di wilayah “Tapal Kuda”, wilayah perpaduan bahasa Jawa dan Madura, yaitu Pasuruan, Probolinggo, Jember, Situbondo, Bondowoso dan Banyuwangi, “gas” mungkin berarti tanah.

Karena itu mereka menyebut minyak (lengo) tanah dengan “lengo gas” which is alias minyak gas (bedakan dengan lengo klentik alias minyak kelapa).

Salah satu hiburan saya ketika SD adalah melihat pedagang grosir lengo gas menuangkan lengo itu secara eceran. Which is bening banget melihat lengo gas dituangkan dari cidukan drum ke corong jirigen. Baunya enak.

***

Maka, untuk hiburan, imbauan penyelenggara negara which is mereka menyuruh kita pindah dari minyak tanah ke gas, bisa kita tafsir dengan banyak bayangan atas dasar kata “gas”.

Which is penyelenggara negara menginginkan masyarakat lebih sejahtera dengan memiliki mobil segagah “gas” pada masa keemasannya. Which is keinginan itu sungguh mulia, karena memang sudah jadi “gas” alias “tugas” penyelenggara negaralah untuk menyejahterakan warganya.

Kalau rakyat sudah sejahtera, which is perbedaan kaya miskin tidak begitu mencolok, bukankah kita baru bisa benar-benar menerapkan mitos demokrasi karena demokrasi alias klenik modern itu baru bisa jalan pada masyarakat yang perbedaan sosialnya tidak timpang bahkan njomplang?

Imbauan penyelenggara negara untuk pindah ke gas, alias Grup Apresiasi Sastra, juga berarti imbauan agar masyarakat menggladi kemampuannya berbahasa, which is kemampuan itu menunjukkan kemampuan daya nalar pula.

Ini penting agar kalau masyarakat kelak jadi birokrat atau orang parlemen, which is kecanggihan dan ketajaman bahasa amat diperlukan, redaksional perundang-undangan jagi nggak ngombro-ombro dan banyak bolongnya. Beberapa negara industri terutama Inggris, menekankan kemampuan bahasa peserta didiknya bahkan untuk pendidikan militer.

Imbauan penyelenggara negara untuk pindah ke gas, juga berarti agar kita nggak cuma mengerem melulu dalam hidup ini, which is kalau diterus-terusin jadi bikin frustrasi. Injaklah pedal gas, supaya kehidupan tidak statis.

Paling yang bingung cuma orang-orang Jawa-Madura di “Tapal Kuda” di Jawa Timur.

“Adooo Bu, de’remma saya sudah pakai minyak gas dari dulu. Cuma minyak gas zaman dulu itu bisa ngecer, Bu. Minyak gas zaman sekarang yang pakai bung-tabung itu ndak bisa ngecer...Saya sudah tanya ke orang-orang Jakarta. Tapi saya ndak ngerti. Mereka ngomongnya wicis-wicis tok..”

*Sujiwo Tejo, Dalang Edan – http://sujiwotejo.com

*Dapatkan SMS berlangganan dari Dalang Edan Sujiwo Tejo tentang cara berbagai hal dipandang dari dunia pewayangan. Caranya, ketik reg pde1, kirim ke 9388, Tarif Rp 1.000/SMS. Apabila Anda ingin berhenti, ketik unreg pde1, kirim ke 9388

Saturday, September 15, 2007

CINTA

Kali ini soal cinta. Soal sejuta rasa. Begitu kalau pinjam syair lagu mbak Titiek Puspa.

Tapi mbak “nenek genit” itu emang bener sih. Apa lagi coba yang lebih sejuta rasa ketimbang cinta? Saking sejuta rasanya, tak bisa cinta itu dilukiskan dengan kata-kata. Pun tak bisa dikatakan dengan sejuta lukisan.

Pernah saya mimpi. Suatu hari, entah kapan ya, kalau berkesempatan bikin teater lagi kayak dulu-dulu, saya akan bikin adegan begini:

Di sebuah kafe, seorang perempuan yang lagi getol-getolnya pada soal filsafat dan politik, jengah. Ngambek dia. Pasalnya, band kafe membawakan tembang cinta melulu. Dari petang sampai larut.

Perempuan itu memberesi tasnya. Menjelang beranjak ia protes pada pacarnya, “Kenapa sih dari petang tadi orang nyanyi lagu cintaaaaa melulu. Bahkan sejak sebelum Masehi..”

Sang pacar menjawab sekenanya, “Emang dalam hidup ini ada lagi yang lebih penting ketimbang cinta?”

Meski dijawab asal, di luar dugaan, perempuan itu tak jadi pulang. Perempuan itu (gambarkanlah rambutnya luruh sepunggung, hitam kehijauan oleh cahaya kafe, putih matanya senantiasa berembun) tak jadi pulang.

Ia tinggal di kafe itu sepanjang masa. Mempertimbangkan lagi penting atau tidaknya filsafat dan politik. Perlu atau tidaknya mengikuti berita pencalonan mbak Mega sebagai presiden oleh PDI-P. Manfaat atau tidaknya menunggu-nunggu siapa calon dari Golkar. Dan sebagainya. Dan sepanjang masa pula perempuan itu mendengarkan cuma tembang-tembang cinta di suatu kafe di pusat politik.

***

Gita-gita cinta terus disenandungkan. Sepanjang abad. Tapi cinta tak kunjung dimengerti. Orang selalu ingin mendengar penjelasannya lagi. Ingin lagi. Lewat drama, lukisan, sastra termasuk yang paling banyak adalah lewat musik.

Belum lama ini saya main-main ke tempat sesama orang Jember, Anang. Ke studionya. Kawasan Pondok Indah. Eh, ternyata dia juga lagi mixing album barunya yang nggak direlease dalam bentuk cd maupun kaset. Duet dengan Yanti (KD). Ternyata juga soal cinta. Udah rampung kelihatannya. Siang-siang di suatu gardu Satpam di Ciputat, saya mendengar tembang duet cinta itu dari radio Bens.

Pasti nanti ada teman-teman pemusik lain yang masih ingin share soal cinta. Dan pasti masyarakat belum puas juga. Mereka diem-diem akan terus memohon para seniman membuat tafsir baru perkara sejuta rasa ini. Dan pasti para seniman tak akan bisa tuntas serta final menjelaskannya.

Bagi saya, cinta memang tidak bisa dijelaskan. Cinta berbeda dibanding sepeda motor, negara, Borobudur dan lain-lain. Semua bisa didefinisikan. Semua bisa dijelaskan but love...

Paling-paling perkara sejuta rasa ini cuma bisa ditandai gejala-gejalanya, tanpa bisa kita jelaskan tuntas definisinya. Bagi saya, kalau putera atau puteri ibu ditanya kenapa mencintai seseorang, apa alasannya, dan mereka bisa menjawab tuntas, berarti mereka tak menampakkan gejala cinta. Bukan cinta itu namanya. Itu itung-itungan.

Salah satu hiburan saya kalau nonton kabar kriminal di televisi adalah menyimak ekspresi mata salah seorang pasangan, jika pasangannya diborgol oleh polisi entah gara-gara narkoba, nyolong duit dan lain-lain.

Pasangan itu biasanya membela mati-matian. Sebagian, kayaknya, karena yang sedang diborgol itu merupakan tulang punggung ekonomi pasangan. Ini juga itung-itungan. Bukan cinta.

Tapi, yang biasanya saya terhibur, ada juga yang membela mati-matian bukan lantaran sumber daya duitnya diborgol polisi. Itu agak bisa kita raba-raba dari nyala matanya di kamera. Dia membela dan tidak tahu alasannya membela. Sama halnya dia jatuh cinta pada yang diborgol itu tanpa tahu alasannya. Pokoknya cinta aja.

Ibu-ibu, karena tak ada yang tiba-tiba di dunia, termasuk tindak kriminal, pasti dulu-dulunya ketika awal pacaran sudah ada gelagat kriminalitas itu pada calon pasangan. Pasti keluarga yang anggotanya dipacari oleh orang yang punya potensi kriminal itu tak setuju. Pasti dia berjuang mati-matian untuk tetap bisa pacaran ma dia, terlepas keluarganya setuju atau tidak. Seru!

Itu yang menghibur saya. Masih banyak cinta di muka bumi ini. Dan nyata.

***

Ibu-ibu yang saya hormati, semuanya, yang berambut panjang maupun pendek, kemarin saya ke sebuah tempat yang sudah lama tidak saya kunjungi, Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta. Ternyata saya bertemu senior saya, pelukis Sri Warso Wahono dan Syahnagra.

Dari situ saya dapat kabar duka. Seorang senior seniman sedang stroke di kota “S”. Sudah tak bisa mendeteksi sahabat. Dulu dia dikenal sebagai perayu ulung dan banyak banget pasangannya. Mas Sri Warso wanti-wanti, agar kita semua inget masa tua, suatu masa yang datangnya cepat tapi sangat halus sampai kita tak merasa tau-tau udah tua dan stroke.

Saya mendebat. Kalau kita terlalu hati-hati demi masa tua, nggak makan ini, nggak makan itu, nggak ngrayu ini nggak ngrayu itu, bukannya kita jadi stres juga dan akhirnya stroke juga.

Syahnagra punya jawaban dahsyat, yang mungkin berguna juga buat ibu-ibu lebih-lebih untuk bahan renungan di awal puasa ini. “Tidak usah takut ngadepin masa tua,” katanya. “Hidup wajar saja sekarang. Nggak usah ketat pantang ini-itu. Yang penting ada orang yang mencintai kita. Masa tua kita akan tenang.”

Ibu-ibu, maaf nih, suami cinta Ibu nggak sih? Atau sekadar “asal tidak cerai” dan “demi anak-anak”?

*Sujiwo Tejo, Dalang Edan – http://www.sujiwotejo.com
*tulisan ini telah diterbitkan di Harian Seputar Indonesia, edisi 14 September 2007

*Dapatkan SMS berlangganan dari Dalang Edan Sujiwo Tejo tentang cara berbagai hal dipandang dari dunia pewayangan. Caranya, ketik reg pde1, kirim ke 9388, Tarif Rp 1.000/SMS. Apabila Anda ingin berhenti, ketik unreg pde1, kirim ke 9388

“…Letakkan Kepalamu di Bawah Telapak Kakimu...”

Waktu nyantri, saya suka sajak-sajak sufi. Dekat sekali sih ama pedalangan. Saya suka penggal syair Jalaluddin Rumi:

…tangga menuju langit adalah kepalamu…
maka letakkanlah kepalamu di bawah telapak kakimu…


Saya tafsir sekenanya. Seingat saya, jalan ke Tuhan ya pikiranmu itu. Lalu, paradoksnya, taruhlah pikiranmu di bawah perbuatanmu. Lakukanlah apa saja. Asal diniatkan buat Tuhan. Jangan (terlalu) pakai nalar. Kau akan ketemu Tuhan.

Tapi menginjak SMA, guru agama bilang, beragama mbok pakai akal. Jangan cuma ikut-ikutan. Termasuk berpuasa.

Mulailah saya pakai banyak pikiran. Artinya harus ada jawaban buat “kenapa” pada setiap tugas peribadahan. Kenapa kita puasa? Karena perut ibarat mesin, perlu istirahat.

Masuk akal. Lingkungan saya di Situbondo ada lima pabrik gula. Semuanya istirahat tiap enam bulan sebelum musim giling tebu. Tapi kok ada juga yang nggak butuh istirahat tuh. Paling gampang jam dan tanggalan di laptop. Laptop mati atau nggak, nggak ada urusan. Dia hidup terus seperti jantung.

O, nggak ding. Puasa itu untuk menggladi solidaritas sosial. Kita harus sanggup merasakan lapar. Jadi punya kasih sayang pada orang papa. Lho, tapi kalau ini tujuan puasa, lantas gimana puasa orang yang sehari-hari telah miskin dan lapar?

Sebentar…Kalau gitu, bisa aja puasa untuk latihan nahan diri. Ah, ini lebih masuk akal. Tiap hari ada produk baru apalagi handphone. Sekarang sudah 50-an juta orang Indonesia pakai handphone. Sudah itu keinginan beli handphone-nya lebih tinggi dibanding Himalaya. Makanya Nokia juga pernah launching produk barunya di sini, bukan di negara-negara kaya. Orang-orang kitanya pakai antre lagi kayak mau masuk ujian perguruan tinggi.

Belum baju. Belum mobil. Belum aksesoris. Wah... Tiap detik ibaratnya semua itu menjibuni kita. Sampai kita megap-megap diperbudak oleh nafsu membeli. Daya tahan kita ditagih buat membeli yang perlu-perlu aja. Maka kita perlu puasa buat latihan.

Lho, tapi kalau cuma buat latihan nahan ndak beli-beli, kan nggak usah dengan puasa? Udah aja saban hari, nggak melulu di bulan Ramadhan, kita latihan nahan diri buat beli yang perlu-perlu aja.

Belum perlu main internet sepanjang masa? Ya beli handphone yang nggak pake internet-internetan. Belum perlu motret atau kirim gambar pakai handphone, ya beli handphone yang lugu-lugu aja. Tangan masih kuat? Itung-itung senam, ya nggak usah beli mobil yang pintunya nutup sendiri.

Kalau mau jalan-jalan di internet atau media massa lain, latihan nahan dirilah untuk tak terlena di sana. Kalau bahan-bahan yang Anda jumpai di situ ternyata tak bisa dikaitkan dengan pengambilan keputusan hidup pribadi dan profesional Anda, itu namanya “data”, bukan “informasi”.

Latihan nahan diri untuk menjadi “masyarakat informasi” yang sejati, ndak usah sampai ngombro-ombro jadi “masyarakat informasi yang semu” alias “masyarakat data”, itu sudah puasa yang bagus. Kita tak jadi budak pemodal agung yang menguasai dunia, yang menggembar-gemborkan “masyarakat informasi” tapi sesungguhnya cuma nimbun kita dengan “data-data”.

Jadi, kalau dipikir-pikir, kenapa kita masih perlu puasa Ramadhan? Ternyata, karena tangga menuju langit adalah kepalamu…letakkan kepalamu di bawah telapak kakimu…

*Sujiwo Tejo, Dalang Edan - www.sujiwotejo.com
*telah diterbitkan di rubrik Frankly Speaking, Area Free Magazine edisi 95 /September 2007

Sunday, September 09, 2007

Ikhwal Hati dan Rempela, tapi bukan Resep Dapur

Minggu dua pekan lalu saya bosen hidup. Bosen banget. Tapi saya nggak pengin bunuh diri. Ndak enak. Masa’ hidup kok frustrasi. Masa’ orang yang kerja di kesenian kalah daya tahan dibanding orang-orang birokrasi. Masa’ kalah ama Yusril Ihza Mahendra. Dicopot dari sekretaris negara, ndak putus asa tuh tokoh ini…malah main film jadi Laksamana Cheng Ho.

Agar nggak bosen, biasanya saya selalu bawa alat musik kemana pun. Lumayan. Bisa buat pelipur saat tiba-tiba bosen hidup. Tapi waktu itu lupa bawa. Jadi saya pergi ke Gasibu aja. Lapangan depan Gedung Sate ini, Gedung Gubernuran di Jawa Barat, senantiasa rame kalau pas Minggu pagi. Orang senam. Jualan. Jalan-jalan. Mejeng. Dan sebagainya.

Ah, ada pengamen akrobat. Mengikat orang dengan tali-temali. Membakar. Ilustrasi musiknya pake gamelan. Ketika nonton saya nggak tahan pengin ikutan main gamelan. Saya nimbrung ikutan nabuh instrumen tradisi itu. Lama-lama capek. Dan bingung lagi. Bosen lagi.

Saya lupa. Ternyata di mobil ada titipan saksofon Kiki Dunung Basuki, seniman dari Solo, putera dalang perempuan Nyi Rumyati Ajangmas. Saya mainkan aja alat itu sambil jalan kaki keliling Gasibu. Ternyata ada orang pengin ngambil gambar. Ya udah saya berhenti berjalan.

Kebetulan saya mandek tepat di depan kaki-lima penjual mobil mainan anak-anak. Action sekalian. Main saksofon. Corong saksofon saya arahkan tepat pada mobil-mobilan tenaga baterei yang sedang memutar-mutar dipamerkan.

Eh, mobil yang sedang berputar-putar itu lantas dijumput ama pedagangnya. Saya kira dia marah. Ternyata dia menggantinya dengan baterei baru. Mobil mainan itu lantas dikasihkan ke saya. Hah? “Mas sudah menghibur saya,” alasannya.

Saya kaget. Dalam hati saya bilang, “Saya nggak niat menghibur sampeyan. Ada orang mau ambil gambar. Saya kasih gambar yang mungkin asyik, tapi mungkin mengganggu sampeyan…”

Saya menolak dikasih mobil mainan. Tapi pedagang itu ngotot terus. Saya terima juga akhirnya dan jadi oleh-oleh ketika balik ke Jakarta.

***

Mungkin ini teguran dari Tuhan kepada diriku. Sudah beberapa waktu ini saya sebel ama kebanyakan orang di Nusantara. Sebelnya, gimana orang-orang arsipelago ini bisa maju bareng-bareng menjajari negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Vietnam, kalau orang-orang kayanya tidak mikir kaum fakir, tapi sebaliknya orang-orang miskinnya juga kebangeten ndak mau merombak nasibnya sendiri.

Orang-orang miskin di Indonesia menganggap bahwa segala sesuatu dari orang kaya bukanlah uluran, bantuan, pertolongan maupun dukungan. Tapi semua itu adalah kewajiban. Perombakan nasibnya disandarkan pada orang-orang kaya yang mereka wajibkan buat membantu mereka.

Makanya ada ungkapan dike’i ati ngrogoh rempelo, dikasih hati masih juga minta rempela. Saya kira banyaknya kegagalan program-program bantuan macam kredit-kredit usaha kecil, adalah mental penerima kreditnya. Sudah tentu ini di luar faktor korupsi dalam perjalanan kucuran kredit itu.

***

Kenapa saya menuduh orang-orang miskin punya mental dike’i ati ngrogoh rempelo? Mungkin karena pengalaman lima belasan tahun yang lalu ketika pulang lebaran naik kereta. Ada seorang ibu-ibu membawa tiga bungkusan oleh-oleh mudik dalam kardus bekas mie instan. Susah payah dia naikkan bingkisan buat kampung halaman itu ke rak kereta, hingga gang gerbong macet. Saya bantuin.

Tidak ada ekspresi terima kasih, baik lisan maupun raut wajah. Eh, ibu itu malah nuding dua bungkusan lain, seolah-olah itu juga menjadi tanggung-jawab dan kewajiban saya buat merakkannya. Inilah dike’i ati ngrogoh rempelo dalam salah satu versi contohnya.

Pengalaman ini traumatis buat saya. Pengalaman ini bikin saya shock. Bahkan seingat saya, saya sangat bersemangat mendukung buku yang sedang disiapkan Dr. Sukardi Rinakit bahwa sebetulnya tidak ada gotong-royong dalam masyarakat Indonesia. Saya ceritakan juga pengalaman kereta itu dengan berapi-api.

Saya khilaf. Saya lupa. Bahwa mungkin saja saya keliru dengan main pukul rata. Bahwa bisa saja tidak semua kalangan miskin berperilaku seperti itu…take saja tanpa give (give-nya entah sekadar senyum…entah sekadar nggak mengubah bantuan itu jadi kewajiban).

Bahkan saya lupa, bahwa sebelum peristiwa Gasibu itu sebetulnya saya sudah dikasih sinyal oleh Tuhan. Ada seorang tentara rendahan. Polisi Militer. Sambil nunggu komandannya, dia itu nembang terus di emper pertokoan di bilangan Kebayoran Baru. Sangat kontras. Orangnya tinggi besar. Gagah. Pakai selempang-selempang putih yang bikin merinding. Pakai pistol lagi. Tapi tembangnya alus dan bikin ngantuk.

Saya yang nongkrong di sebelahnya lama-lama gatel. Beberapa baris tembangnya saya koreksi dikit-dikit. Saya ajari juga tembang-tembang populer dari Almarhum Ki Narto Sabdo. Dia sampe nyatet segala. Lalu pergi sebentar. Wah, wah, wah…balik lagi sudah bawa tiga bungkus rokok buat saya.

Jujur saja, saya nggak nyangka bakal sebesar itu etika take and give-nya. Gobloknya, saya cuma ingat beberapa jam peristiwa ini. Dan baru ingat lagi pada kejadian Gasibu di pagi cerah suatu Minggu, di Kota Kembang yang syahdu.

Pagi itu saya tiba-tiba juga ingat, tiga tahun lalu, ketika gladi resik wayangan, seorang penabuh penting gak bisa hadir. Saya marah. Kukuhnya, “Maaf Mas, dibayar berapa pun saya tetap nggak bisa hadir gladi. Nuwun sewu. Karena saya harus ke Wonogiri. Hajatan nikah anak temen. Soalnya dulu dia datang pas saya punya hajat manteni anak saya.”

*Sujiwo Tejo, Dalang Edan – http://www.sujiwotejo.com

*Dapatkan SMS berlangganan dari Dalang Edan Sujiwo Tejo tentang cara berbagai hal dipandang dari dunia pewayangan. Caranya, ketik reg pde1, kirim ke 9388, Tarif Rp 1.000/SMS. Apabila Anda ingin berhenti, ketik unreg pde1, kirim ke 9388

Sunday, September 02, 2007

“Where Have All the ‘Orang-orang Padang’ Gone?”

Saya punya temen. Insinyur elektro. Tapi ia Padang. Tahu kan maksud saya? Yup, ‘tul. Di awal-awal tumbuhnya mal di negeri ini, ketika semua harga jadi pas bandrol, dia punya komentar menarik. “Matilah tradisi tawar-menawar kita,” katanya.

Buat dia, ternyata, tawar-tawaran tak cuma tarik-ulur harga. Lebih mendasar ketimbang itu, tawar-menawar adalah komunikasi. Itulah inti penjajaan produk ketika suatu komoditas belum dipasangi harga pas. Dasar orang Padang, ya?

Tapi saya kemudian seperti dibawanya keluar Sumatera Barat. Bukankah tradisi nego harga juga tumbuh di berbagai penjuru Nusantara? Saya jadi teringat Sumenep pada tahun-tahun SM (bukan Sebelum Masehi tapi Sebelum Mal). Ah, tetapi Makassar juga. Denpasar. Semarang. Yogya. Sala. Bandung. Banda Aceh. Serang. Dan sebagainya.

Pola komunikasi tawar-menawar ini bisa jadi mekanisme penyaring kelas masyarakat. Di kalangan pedagang, mereka yang suka tak menjawab penawaran nekad dan murah, apalagi pakai merengut dan buang muka, sudah pasti ditinggalkan pembelinya. Di kalangan pembeli, ada tempat khusus dalam lingkungan keluarga bagi anggotanya yang lihai menawar.

Sebelum zaman pas bandrol itu, mekanisme tawar-menawar juga bisa dijadikan tolok ukur. Sejauh mana masyarakat, pembeli dan pedagang, masih menyepakati simbol-simbol budaya lokal. Hak-hak khusus semacam prerogatif bagi presiden juga berlaku bagi produk dan transaksi tertentu.

Pedagang pusara dan batu nisan sudah pasti mikir beribu kali buat menjajakan dagangannya. Karena dia tahu masyarakat tak boleh atau pamali menawar jenis produk ini. Masyarakat pedagang kaki lima dalam area wayangan sudah tahu, makanan harus gratis jika buat dalang yang tiba-tiba kelaparan di tengah pementasan.

Anak kiyai, anak pandita, anak tokoh-tokoh agama harus dapat perlakuan harga khusus (anak pejabat tak termasuk). Sering kali kaum pedagang pantang tidak gratis pada darah-daging orang khusus itu. Sama halnya, demi urusan pelarisan, mereka akan pantang pasang harga fixed pada pembeli pertama.

Untung sebagaimana umumnya proses kebudayaan. Semua berputar seperti cakra manggilingan. Orang kembali tertarik mengunjungi pasar-pasar yang pake tawar-ria. Taman Puring di kawasan Kebayoran Baru kian marak. Orang-orang mulai melirik belanja di KRL Jakarta-Bogor. Harganya tergantung waktu dan tempat. Makin sore dan makin dekat Bogor, dagangan kian murah.

Di Pasar Pagi, asal pintar nawar, parfum kabarnya bisa sampai selisih 50 persen ketimbang di mal. Belum lagi di Pasar Uler. Komunikasi lengkap sudah di kawasan sempit ini. Karena selain ada komunikasi mulut, juga ada komunikasi badan saking desak-desakannya manusia. Ini belum lagi kalau kita sebut tempat-tempat serupa di New York, Seoul, Amsterdam dan lain-lain.

Mal emang masih ada. Dan terus kian gede-gedean. Tapi sekarang, sekali-sekali kalau terpaksa pergi ke mal, saya selalu terkenang kata-kata insinyur but Padang itu. Harga-harga final udah terpasang. Komunikasi dengan penjaja paling banter ya senyam-senyum.

Suasananya jadi dingin. Situasinya jadi seperti melihat kumpulan manusia kini. Seseorang berpidato. Khalayak tak memandang yang berpidato. Semua tunduk baca teks pidato yang sudah disebarkan oleh panitia. Pidatonya jadi harga pas. Tak lebih, tak kurang dari naskah yang telah diedarkan seperti bandrol. Ndak asyik.

*Sujiwo Tejo, Dalang Edan
*Artikel ini diterbitkan di rubrik 'Frankly Speaking' Area Magazine edisi 94/ September 2007