Sunday, September 09, 2007

Ikhwal Hati dan Rempela, tapi bukan Resep Dapur

Minggu dua pekan lalu saya bosen hidup. Bosen banget. Tapi saya nggak pengin bunuh diri. Ndak enak. Masa’ hidup kok frustrasi. Masa’ orang yang kerja di kesenian kalah daya tahan dibanding orang-orang birokrasi. Masa’ kalah ama Yusril Ihza Mahendra. Dicopot dari sekretaris negara, ndak putus asa tuh tokoh ini…malah main film jadi Laksamana Cheng Ho.

Agar nggak bosen, biasanya saya selalu bawa alat musik kemana pun. Lumayan. Bisa buat pelipur saat tiba-tiba bosen hidup. Tapi waktu itu lupa bawa. Jadi saya pergi ke Gasibu aja. Lapangan depan Gedung Sate ini, Gedung Gubernuran di Jawa Barat, senantiasa rame kalau pas Minggu pagi. Orang senam. Jualan. Jalan-jalan. Mejeng. Dan sebagainya.

Ah, ada pengamen akrobat. Mengikat orang dengan tali-temali. Membakar. Ilustrasi musiknya pake gamelan. Ketika nonton saya nggak tahan pengin ikutan main gamelan. Saya nimbrung ikutan nabuh instrumen tradisi itu. Lama-lama capek. Dan bingung lagi. Bosen lagi.

Saya lupa. Ternyata di mobil ada titipan saksofon Kiki Dunung Basuki, seniman dari Solo, putera dalang perempuan Nyi Rumyati Ajangmas. Saya mainkan aja alat itu sambil jalan kaki keliling Gasibu. Ternyata ada orang pengin ngambil gambar. Ya udah saya berhenti berjalan.

Kebetulan saya mandek tepat di depan kaki-lima penjual mobil mainan anak-anak. Action sekalian. Main saksofon. Corong saksofon saya arahkan tepat pada mobil-mobilan tenaga baterei yang sedang memutar-mutar dipamerkan.

Eh, mobil yang sedang berputar-putar itu lantas dijumput ama pedagangnya. Saya kira dia marah. Ternyata dia menggantinya dengan baterei baru. Mobil mainan itu lantas dikasihkan ke saya. Hah? “Mas sudah menghibur saya,” alasannya.

Saya kaget. Dalam hati saya bilang, “Saya nggak niat menghibur sampeyan. Ada orang mau ambil gambar. Saya kasih gambar yang mungkin asyik, tapi mungkin mengganggu sampeyan…”

Saya menolak dikasih mobil mainan. Tapi pedagang itu ngotot terus. Saya terima juga akhirnya dan jadi oleh-oleh ketika balik ke Jakarta.

***

Mungkin ini teguran dari Tuhan kepada diriku. Sudah beberapa waktu ini saya sebel ama kebanyakan orang di Nusantara. Sebelnya, gimana orang-orang arsipelago ini bisa maju bareng-bareng menjajari negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Vietnam, kalau orang-orang kayanya tidak mikir kaum fakir, tapi sebaliknya orang-orang miskinnya juga kebangeten ndak mau merombak nasibnya sendiri.

Orang-orang miskin di Indonesia menganggap bahwa segala sesuatu dari orang kaya bukanlah uluran, bantuan, pertolongan maupun dukungan. Tapi semua itu adalah kewajiban. Perombakan nasibnya disandarkan pada orang-orang kaya yang mereka wajibkan buat membantu mereka.

Makanya ada ungkapan dike’i ati ngrogoh rempelo, dikasih hati masih juga minta rempela. Saya kira banyaknya kegagalan program-program bantuan macam kredit-kredit usaha kecil, adalah mental penerima kreditnya. Sudah tentu ini di luar faktor korupsi dalam perjalanan kucuran kredit itu.

***

Kenapa saya menuduh orang-orang miskin punya mental dike’i ati ngrogoh rempelo? Mungkin karena pengalaman lima belasan tahun yang lalu ketika pulang lebaran naik kereta. Ada seorang ibu-ibu membawa tiga bungkusan oleh-oleh mudik dalam kardus bekas mie instan. Susah payah dia naikkan bingkisan buat kampung halaman itu ke rak kereta, hingga gang gerbong macet. Saya bantuin.

Tidak ada ekspresi terima kasih, baik lisan maupun raut wajah. Eh, ibu itu malah nuding dua bungkusan lain, seolah-olah itu juga menjadi tanggung-jawab dan kewajiban saya buat merakkannya. Inilah dike’i ati ngrogoh rempelo dalam salah satu versi contohnya.

Pengalaman ini traumatis buat saya. Pengalaman ini bikin saya shock. Bahkan seingat saya, saya sangat bersemangat mendukung buku yang sedang disiapkan Dr. Sukardi Rinakit bahwa sebetulnya tidak ada gotong-royong dalam masyarakat Indonesia. Saya ceritakan juga pengalaman kereta itu dengan berapi-api.

Saya khilaf. Saya lupa. Bahwa mungkin saja saya keliru dengan main pukul rata. Bahwa bisa saja tidak semua kalangan miskin berperilaku seperti itu…take saja tanpa give (give-nya entah sekadar senyum…entah sekadar nggak mengubah bantuan itu jadi kewajiban).

Bahkan saya lupa, bahwa sebelum peristiwa Gasibu itu sebetulnya saya sudah dikasih sinyal oleh Tuhan. Ada seorang tentara rendahan. Polisi Militer. Sambil nunggu komandannya, dia itu nembang terus di emper pertokoan di bilangan Kebayoran Baru. Sangat kontras. Orangnya tinggi besar. Gagah. Pakai selempang-selempang putih yang bikin merinding. Pakai pistol lagi. Tapi tembangnya alus dan bikin ngantuk.

Saya yang nongkrong di sebelahnya lama-lama gatel. Beberapa baris tembangnya saya koreksi dikit-dikit. Saya ajari juga tembang-tembang populer dari Almarhum Ki Narto Sabdo. Dia sampe nyatet segala. Lalu pergi sebentar. Wah, wah, wah…balik lagi sudah bawa tiga bungkus rokok buat saya.

Jujur saja, saya nggak nyangka bakal sebesar itu etika take and give-nya. Gobloknya, saya cuma ingat beberapa jam peristiwa ini. Dan baru ingat lagi pada kejadian Gasibu di pagi cerah suatu Minggu, di Kota Kembang yang syahdu.

Pagi itu saya tiba-tiba juga ingat, tiga tahun lalu, ketika gladi resik wayangan, seorang penabuh penting gak bisa hadir. Saya marah. Kukuhnya, “Maaf Mas, dibayar berapa pun saya tetap nggak bisa hadir gladi. Nuwun sewu. Karena saya harus ke Wonogiri. Hajatan nikah anak temen. Soalnya dulu dia datang pas saya punya hajat manteni anak saya.”

*Sujiwo Tejo, Dalang Edan – http://www.sujiwotejo.com

*Dapatkan SMS berlangganan dari Dalang Edan Sujiwo Tejo tentang cara berbagai hal dipandang dari dunia pewayangan. Caranya, ketik reg pde1, kirim ke 9388, Tarif Rp 1.000/SMS. Apabila Anda ingin berhenti, ketik unreg pde1, kirim ke 9388

No comments: