Tuesday, September 25, 2007

“Area” dan Arena Mendalang Singkat

Wah, Area ulang tahun ya? Ini yang ke-4. Asyik juga. Dan saya juga makasih sebagai mantan wartawan telah disuruh nulis rutin di media massa yang kini sedang bertanggap-warsa ini.

Bukan apa-apa. Bikin tulisan, ya kolom, esai atau apa aja, itu laksana candu. Seperti lagu Hotel California-nya The Eagles. Sekali Engkau masuk ke dalamnya, impossible Kau akan pernah mampu total meninggalkannya.

Sempat saya guncang terhadap nasib media cetak ketika pertelevisian awal-awal marak di Indonesia seperti di Amerika tahun 50-an. Di sini kejadiannya tahun 90-an.

Saat itu stasiun televisi menjamur. Penonton media audio-visual nambah cepat. Tapi pangsa media cetak tak beranjak dari 10 jutaan orang pembaca. Ini dari 200 jutaan lebih warga Arsipelago lho?

Orang bobo ditemenin televisi. Tak koran atau majalah. Kalau demi hemat listrik televisi itu kita matiin, orangnya kebangun. “Jangan dimatiin. Sepi. Takut,” begitu biasanya mereka menjawab sambil merem.

Belum portal-portal berita di internet. Kepemilikan handphone juga tumbuh pesat. Kini kabarnya sudah 50 juta orang lebih punya handphone. Mereka nyetir mobil bahkan sepeda motor sambil ber-“telefaun”-ria. Berita-berita bisa diakses via telepon genggam juga.

Eh, dalam keadaan yang sepertinya tak ada masa depan buat koran dan majalah itu, ternyata masih ada juga orang yang nekad dan mau-maunya bikin media cetak. Termasuk Reza Puspo, Aksara Sophiaan, Wulan Natasha dan lain-lain yang membidani lahirnya Area.

Mungkin mereka belajar dari kasus di Amerika dan Inggris. Televisi boleh marak. Orang tidur di-nina-bobo-kan televisi. Tapi buang air besar paling enak sambil baca kabar cetakan. Oke, tapi berapa orang di Nusantara ini punya kebiasaan iqro’ di toilet?

Atau perjalanan? Orang-orang tidak bisa membawa televisi kala melancong. Di kapal atau pesawat atau bus, adanya televisi bersama. Channel-nya tidak bisa kita atur semau kita.

Makanya media cetak berlomba-lomba memperkecil tampilan cetakannya. Ini agar kertasnya, kalau dibolak-balik, tidak mengganggu teman sebelah di perjalanan. Tapi kok saya lebih sering lihat mereka baca komik atau novel ketimbang koran atau majalah?

Ah, yang paling tahu jawabannya pastilah orang-orang pers cetak termasuk para penggagas Area. Saya paling cuma bisa berandai-andai. Termasuk ambil amsal dari bisnis download musik via handphone.

Kenapa misalnya orang masih juga beli CD album musik padahal sudah bisa men-download via telepon genggamnya? Ini terutama di Indonesia. Karena, kata temen-temen di dunia pernadaan, konsumen kita tetep pengin pegang sosok fisik nada-nada itu. Ya keping cakramnya. Ya cover-nya.

Yang sudah pasti, seperti kerap saya saksikan sendiri, pembaca sudah makin nggak sabaran dalam membaca. Pilihan pengisi senggang, televisi dan main handphone, selalu tersedia. Maka mereka baca judul-judul berita atau tulisan aja. Kalaupun harus membaca, ya sepintas-sepintas.

Tak heran kalau redaksi kini makin ketat membatasi panjang tulisan. It’s ok. Don’t worry be sesingkat-singkatnya. Kalau perlu, redaksi pers cetak minta ke wartawan dan kolomnis bikin tulisan dengan cuma satu anak kalimat, kami para penulis siap.

Zaman berubah. Siapa takut. Masa’ kalah ama dalang senior Mas Manteb Sudarsono. Biasa ndalang semalam suntuk, tapi pernah di Eropa cuma dikasih waktu pentas 3 menit, juga go kok. Tenang aja. Pokoknya buueeresss!

*Sujiwo Tejo, Dalang Edan - www.sujiwotejo.com

*telah diterbitkan di rubrik Frankly Speaking - Area free magazine edisi 96, September 2007

No comments: