Saturday, October 20, 2007

Article No.57 in Sindo Daily (about Mudik)

MUDIK dan TAMAN SWRIWEDARI

Tiga hari lalu di Jalan Gatot Subroto, Jakarta. Saya melihat setidaknya dua pengendara sepeda motor membawa bungkusan kardus semacam oleh-oleh. Ia bonceng perempuan yang pasti istrinya. Di tengah-tengah mereka bayi usia sekitar 2-3 bulan dalam selimut.

Kelihatannya mereka bagian dari para pemudik Lebaran bersepeda motor. Bagian yang jumlahnya mencapai sekitar 2,4 juta orang, meningkat 30-an persen dari pemudik bersepeda motor tahun lalu.

Jumlah mereka hampir seperempat dari total pemudik via darat yakni 9,9 juta orang. Dan nyaris seperlima dari total pemudik termasuk yang menggunakan pesawat terbang, 14,9 juta orang.

Di antara berbagai moda angkutan Lebaran, sepeda motor terkesan asyik. Inspiratif buat menyuntik semangat melanjutkan hidup.

Setelah pemandangan yang menggugah di Gatot Subroto pagi itu, saya ketemu artis Desy Ratnasari dan presenter Adi Nugroho. “Kenapa sih orang pada mudik pas Lebaran?” tanya mereka.

Saya tahu pertanyaan itu lebih buat ramah-tamah saja. Tak usah dijawab. Toh semua orang pengin mudik. Desy sendiri segera mudik ke kampungnya di Sukabumi.

Hanya petualang sejati yang ogah mudik. Hanya petualang sejati yang punya prinsip “aku akan pergi kemana saja asal tidak kembali pulang.” Hanya petualang sejati jenis makhluk yang sesungguhnya cuma ada di komik-komik. Tak pernah ada di muka bumi yang kita pijak.

Orang-orang yang telah merantau secara fisik maupun pikiran, tetap rindu kampung halaman. Saya kerap membaca sajak-sajak Chairil Anwar maupun Rendra tentang kangennya pada kenangan saat bocah di udik.

Cina-cina perantauan juga banyak yang tak mudik secara fisik. Tapi mereka memudikkan sebagian harta-bendanya ke Cina Daratan. Orang-orang Yahudi yang senantiasa terusir dan eksodus, mirip dalam lagu The Exodus Song tahun 60-an oleh Pat Boone dan Ernest Gold, tidak pulang secara fisik. Tapi mereka membentuk perkumpulan-perkumpulan di tiap negara untuk menciptakan rasa pulang ke tanah air.

Tapi saya kira keramahan dari Desy dan Adi Nugroho tetap perlu saya respons. Iya ya, kenapa orang mesti mudik pas Lebaran? Kok tidak mudik kapan saja. Agar antrean di loket kereta api tidak panjang. Agar jalanan tidak macet. Dan sebagainya.

***

Mungkin karena setiap orang perlu setor rasa sungguh-sungguh kepada orang yang dicintai. Mudik di luar Lebaran gampang. Kereta kosong. Tiket pesawat murah. Jalanan relatif lengang. Mudik saat H-7 sampai H-1 menjelang Lebaran lain cerita.

Saya suka kagum melihat pernikahan-pernikahan agung zaman ini. Yang tempatnya di hotel bintang lima. Hiasan taman-tamanan di seputar pelaminan bisa sampai milyaran rupiah karena sebagian bunganya impor. Mungkin segala susah-payah dan biaya itu dimaksud untuk menyatakan kesungguhan cinta.

Saya cuma lebih kagum pada perkawinan dalam wayang maupun legenda. Duit masih mungkin dicari. Untuk sewa gedung dan taman bunga bikinan. Tapi Raja Arjuna Sasrabahu pada zaman sebelum Ramayana, menitahkan pembuatan Taman Sriwedari (kini jadi nama tempat di Solo) dalam tempo semalam buat isterinya Dewi Citrawati.

Arjuna dalam Mahabarata mesti mencari 40 kerbau khusus yang tak ada di dunia, yang disebut kerbau “pancal pamor”. Penengah Pandawa ini pun mesti mengumpulkan 120 orang yang semuanya kembar. Itulah syarat agar dia bisa nikahi adik Kresna, Subadra.

Dalam legenda, Bandung Bondowoso mesti menciptakan candi seribu patung dalam tempo semalam kalau mau merebut hati Roro Jonggrang.

Sekitar 5 tahun lalu pernah muncul diskusi kecil. Kenapa tidak ada ijtihad atau penyesuaian ajaran agama terhadap konteks zaman menyangkut orang naik haji. Kenapa hajian tidak dibikin setahun dua atau tiga kali. Sehingga orang tidak membludak. Sehingga infrastruktur termasuk hotel dan sanitasi yang dibangun di Mekkah tidak mubazir ketika kosong di luar musim haji.

Diskusi itu makin lama makin surut. Kini nyaris tak kedengaran lagi. Mungkin karena itu tadi, setiap orang perlu setor rasa sungguh-sungguh pada sesuatu yang ia cintai, entah orangtua, entah keluarga, entah bau tanah dan rumpun bambu di kampung halaman.

Sungguh-sungguh lantaran telah mereka lewati antrean berjam-jam di loket-loket angkutan. Sungguh-sungguh lantaran telah mereka atasi harga tiket yang melonjak atas ulah calo. Sungguh-sungguh lantaran naik sepeda motor pun jadi. Bahkan dengan bayi 2-3 bulanan, di kancah sengatan surya, angin dan debu-debu.

***

Yang mengagetkan justru pendapat presenter Hilbram Dunar. Menurutnya dua tahun belakangan ini Jakarta masih tetap ramai pas Lebaran. “Dulu kan Jakarta kalau Lebaran sepinya minta ampun,” katanya. “Apa karena orang Jakarta sudah males mudik. Atau warga Jakarta makin lama makin banyak, sehingga nggak kerasa kalau ada yang mudik?”

Saya lebih condong pada perkiraan Hilbram yang kedua. Ya, orang masih belum males mudik. Mereka seakan tahu, dengan mudik, maka setidaknya 10 trilyun rupiah uang di Jakarta beredar ke pelosok-pelosok.

Mungkin kalau untuk waktu-waktu mendatang dibalik bagus juga ya? Pemudik tidak belanja di kota dan dibawa ke kampung. Tapi belanja di kampung ya makanan, kerajinan atau apa saja, buat dibawa sebagai oleh-oleh atau barang jualan di kota. Desa dengan begitu terus berproduksi. Bukankah tiap daerah punya makanan dan kerajinan yang khas?

*Sujiwo Tejo, Dalang Edan – http://www.sujiwotejo.com

*Dapatkan SMS berlangganan dari Dalang Edan Sujiwo Tejo tentang cara berbagai hal dipandang dari dunia pewayangan. Caranya, ketik reg pde1, kirim ke 9388, Tarif Rp 1.000/SMS. Apabila Anda ingin berhenti, ketik unreg pde1, kirim ke 9388

No comments: