Waktu nyantri, saya suka sajak-sajak sufi. Dekat sekali sih ama pedalangan. Saya suka penggal syair Jalaluddin Rumi:
…tangga menuju langit adalah kepalamu…
maka letakkanlah kepalamu di bawah telapak kakimu…
Saya tafsir sekenanya. Seingat saya, jalan ke Tuhan ya pikiranmu itu. Lalu, paradoksnya, taruhlah pikiranmu di bawah perbuatanmu. Lakukanlah apa saja. Asal diniatkan buat Tuhan. Jangan (terlalu) pakai nalar. Kau akan ketemu Tuhan.
Tapi menginjak SMA, guru agama bilang, beragama mbok pakai akal. Jangan cuma ikut-ikutan. Termasuk berpuasa.
Mulailah saya pakai banyak pikiran. Artinya harus ada jawaban buat “kenapa” pada setiap tugas peribadahan. Kenapa kita puasa? Karena perut ibarat mesin, perlu istirahat.
Masuk akal. Lingkungan saya di Situbondo ada lima pabrik gula. Semuanya istirahat tiap enam bulan sebelum musim giling tebu. Tapi kok ada juga yang nggak butuh istirahat tuh. Paling gampang jam dan tanggalan di laptop. Laptop mati atau nggak, nggak ada urusan. Dia hidup terus seperti jantung.
O, nggak ding. Puasa itu untuk menggladi solidaritas sosial. Kita harus sanggup merasakan lapar. Jadi punya kasih sayang pada orang papa. Lho, tapi kalau ini tujuan puasa, lantas gimana puasa orang yang sehari-hari telah miskin dan lapar?
Sebentar…Kalau gitu, bisa aja puasa untuk latihan nahan diri. Ah, ini lebih masuk akal. Tiap hari ada produk baru apalagi handphone. Sekarang sudah 50-an juta orang Indonesia pakai handphone. Sudah itu keinginan beli handphone-nya lebih tinggi dibanding Himalaya. Makanya Nokia juga pernah launching produk barunya di sini, bukan di negara-negara kaya. Orang-orang kitanya pakai antre lagi kayak mau masuk ujian perguruan tinggi.
Belum baju. Belum mobil. Belum aksesoris. Wah... Tiap detik ibaratnya semua itu menjibuni kita. Sampai kita megap-megap diperbudak oleh nafsu membeli. Daya tahan kita ditagih buat membeli yang perlu-perlu aja. Maka kita perlu puasa buat latihan.
Lho, tapi kalau cuma buat latihan nahan ndak beli-beli, kan nggak usah dengan puasa? Udah aja saban hari, nggak melulu di bulan Ramadhan, kita latihan nahan diri buat beli yang perlu-perlu aja.
Belum perlu main internet sepanjang masa? Ya beli handphone yang nggak pake internet-internetan. Belum perlu motret atau kirim gambar pakai handphone, ya beli handphone yang lugu-lugu aja. Tangan masih kuat? Itung-itung senam, ya nggak usah beli mobil yang pintunya nutup sendiri.
Kalau mau jalan-jalan di internet atau media massa lain, latihan nahan dirilah untuk tak terlena di sana. Kalau bahan-bahan yang Anda jumpai di situ ternyata tak bisa dikaitkan dengan pengambilan keputusan hidup pribadi dan profesional Anda, itu namanya “data”, bukan “informasi”.
Latihan nahan diri untuk menjadi “masyarakat informasi” yang sejati, ndak usah sampai ngombro-ombro jadi “masyarakat informasi yang semu” alias “masyarakat data”, itu sudah puasa yang bagus. Kita tak jadi budak pemodal agung yang menguasai dunia, yang menggembar-gemborkan “masyarakat informasi” tapi sesungguhnya cuma nimbun kita dengan “data-data”.
Jadi, kalau dipikir-pikir, kenapa kita masih perlu puasa Ramadhan? Ternyata, karena tangga menuju langit adalah kepalamu…letakkan kepalamu di bawah telapak kakimu…
*Sujiwo Tejo, Dalang Edan - www.sujiwotejo.com
*telah diterbitkan di rubrik Frankly Speaking, Area Free Magazine edisi 95 /September 2007
Saturday, September 15, 2007
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment