Ibu Sri Irianingsih (Rian), pendiri Sekolah Darurat Kartini di suatu kolong jalan layang kawasan Jakarta Utara, punya dua anak yang kini sudah berkeluarga dan mandiri. Kembarannya, Ibu Sri Roosyati (Rossy), yang juga bergerak dalam pendidikan gratis kolong itu, punya empat anak yang juga tak bermasalah.
Salah seorang anak Ibu Rian yang telah meraih pendidikan S2, tiba-tiba dapat beasiswa ambil program doktor (S3) ke Inggris. “Padahal baru setahun kerja di departemen pendidikan,” kata Bu Rian. Kelahiran Semarang 1950 ini mencoba menemukan kemungkinan rezeki itu.
“Mungkin rezeki itu karena hal yang saya lakukan sejak tahun 70-an (mengajar tak dibayar, malah kerap jual gelang, kalung dan lain-lain)...Padahal dulu waktu anak saya mau ambil doktor di luar negeri, saya bilang, gak usah. Ambil doktor di sini aja. Emang anak-anak yang kere itu gak perlu sekolah. Emang yang butuh sekolah kamu dewe…Eh, nggak tahunya…”
Sebenarnya Rian bisa mberangkatin sendiri anaknya ke luar negeri. Ada deposito kok. “Itu milik keluarga. Dihibahkan oleh ibu. Tapi untuk anak-anak miskin,” timpal Rossy yang sedang menulis buku. Maksud Rossy adalah keluarga tak mampu di sekitar jembatan Rawa Bebek, yang salah satu alumnusnya bahkan ada yang bisa melanjutkan di tempat bergengsi, Sekolah Internasional Gandhi.
Sekarang ganti, Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, MA. Puluhan tahun perempuan kelahiran Bone 1958 ini memperjuangkan kesetaraan pria-wanita. Karya-karya tulisnya antara lain Islam Menggugat Poligami (LKAJ, 1998), Potret Perempuan dalam Lektur Islam (Depag, 1999), Pedoman Dakwah Muballighat (KP-MDI, 2000), Perempuan dan Politik (Gramedia, 2005) yang ditulisnya bersama Anik Farida.
Para sejawatnya sering menyebut Siti Musdah “orang gila”, karena tiap hari kerjanya meneliti dan rapat yang gak ada uangnya. “Tapi saya merasa jadi orang yang berguna. Bisa membuat orang (perempuan) lain merasa nyaman, pada saat mereka tertindas,” katanya.
Timbal-baliknya, yang menarik, Bu Siti Musdah mengaku ditolong Tuhan dalam dua hal. Pertama, ia merasa pede aja meski nggak pakai handphone bagus, tas atau jam bagus. Kedua, selalu ada saja teman-temannya yang membelikan jam, tas dan aksesoris lainnya.
Akhirnya ia berkesimpulan, “Semakin banyak yang kita berikan, semakin banyak yang kita dapat. Memang tak harus materi seperti jam. Tapi (kesehatan) keluarga juga. Saya merasa keluarga saya ada yang melindungi.”
***
Ibu-ibu, sudah sekitar setahun saya nggak melakukan ini dalam keluarga: Kalau pas makan bareng anak-anak di rumah-rumah makan, saya minta anak-anak mencuri-curi pandang keluarga-keluarga lain di tiap meja. Mereka saya minta menebak-nebak, keluarga sebelah mana yang cuma mikirin keluargaaaaa terus, dan keluarga meja mana yang punya kepedulian pada orang lain.
Itu bisa tampak dari cara mereka makan. Itu bisa tampak dari cara mereka memperlakukan pelayan. Bisa tampak pula dari raut wajah mereka. Asyik atau nggak. Ini nggak ada hubungannya dengan ganteng atau cantik. Banyak yang rupawan, tapi nggak asyik. Dan sebaliknya.
Saya tahu, keliru menghentikan kebiasaan ini. Jadwal saya kacau balau. Tapi, ya, itu bukan excuse. Mestinya anak-anak terus saya latih. Dan mestinya makin banyak keluarga yang melatihkan ini pada anak-anaknya. Sehingga kelak presiden, gubernur, bupati maupun anggota parlemen yang cuma mikirin keluarganya gak bakal tercoblos. Wong dari pajangan foto aja bisa kerasa kok. Itu kalau kita setia pada perasaan yang terasah.
Mau gak ganteng, mau gak cantik, orang yang mikirin orang lain itu ya fotonya ya sosoknya bawa hawa yang adem. Saya ketemu Ibu Dewi Soedarjo misalnya, adem. Sayangnya ini bukan contoh yang bagus, karena ibu ini cantik. Tapi saya cuma yakin kalau misalnya gak cantik dia akan adem juga lho.
Adem karena mikirin orang lain alias liyan. Lingkungan Darmawangsa Residences di Jakarta menjuluki perempuan 45 tahun ini the power of service. Prinsipnya, minimal 10 persen dari penghasilan harus dikeluarkan buat sesama. “Termasuk kalau anak saya dapat hadiah uang dari neneknya, dia harus keluarkan paling kurang 10 persen,” kata puteri Solo yang beranak tiga ini.
Jadi setiap orang datang minta uang, dikasih?
Dewi mengangguk. “Jumlahnya saja yang tergantung hati saya. Tapi saya jarang menunda. Karena Tuhan juga tidak pernah menunda permintaan saya. Saya banyak dapat berkah dari Tuhan. Itu harus menjadi berkah buat lingkungan,” katanya.
Hasilnya, kalau boleh berkalkulasi dengan Tuhan, rumah yang dibelinya kini di kawasan Cipete tidak angker lagi. Padahal pemilik-pemilik sebelumnya kalau nggak meninggal ya sakit-sakitan. Beberapa dukun telah didatangkan ke tempat itu, termasuk dari Filipina. Mikirin orang banyak ternyata lebih ampuh dari kekuatan dukun.
Wah, dari tadi ibu-ibu ya. Ya udah, saya kenalkan dengan Ahmad Suwandi ya? Dia aktivis Fauna & Flora International. “Eh, pernah suatu siang, tiba-tiba ada orang yang mau membayari hutang saya yang sudah lama banget,” katanya. Dan itu baru secuplik pengalaman anehnya.
*Sujiwo Tejo, Dalang Edan
*Dapatkan SMS berlangganan dari Dalang Edan Sujiwo Tejo tentang cara berbagai hal dipandang dari dunia pewayangan. Caranya, ketik reg
1 comment:
memberi adalah kebahagiaan sejati
Post a Comment