Thursday, November 15, 2007

INVITATION FOR YOU ALL

Watch Sujiwo Tejo's performance in
Wayang Kulit & Wayang Orang Show
with the music from tradition & modern music instrument
(gamelan & band)
SEMAR MESEM
by Sujiwo Tejo - Dalang Edan
Saturday - 2007, Nov 17
4 & 8 pm
(16.00 & 20.00 wib)
at
Gedung Kesenian Jakarta (GKJ)

Sunday, November 11, 2007

Article No.59 in Sindo Daily (about Rasa Sayange and Malaysia)

SAYA PUNYA SAHABAT di MALAYSIA

Saya punya sahabat perempuan di Malaysia. Kami kenal pertama dalam suatu pekan festival kesenian di Singapura. Rambutnya panjang. Kulitnya kuning langsat dan bersih. Dan ia ramah-tamah.

O ya, suka pakai kain Indonesia pula dia. Ketika kami jalan kaki di Orchad Road, melihat pakaian kami, termasuk kainnya yang diriap-riapkan angin seperti rambut panjangnya, banyak orang di jalanan yang menyapa dan menyangka kami dari Indonesia.

Sahabat perempuan saya ini tidak menyangkalnya. Saya pun tak ingin.

Dalam persahabatan, waktu itu seingat saya tak ada pikiran bahwa dia lain bangsa. Paling komunikasi kadang-kadang agak macet karena perbedaan pilihan kata. Misalnya, antara lain, ia bilang “ramai” untuk “banyak”.

Tapi kalau sekadar kegagapan model begitu, toh komunikasi dengan sesama bangsa sendiri juga sering terbata-bata lantaran perbedaan suku. Ada beberapa kata yang lain penerapannya atas sebab pengaruh tata bahasa setempat. Sopir-sopir taksi di Bali kalau mau omong “sebentar lagi (nyampe tujuan)” akan bilang “lagi sebentar”.

Kalau sampeyan nelepon orang Maluku, yang terima bilang orang tujuan sampeyan itu “ada”, juga jangan langsung seneng. Jangan langsung tanya, “mana?” Karena mungkin maksudnya ada itu hidup, tapi orangnya “ada pergi” alias sedang tak di tempat.

Bahkan buat sesama suku bangsa saja komunikasi kerap tersendat. Orang Jawa Solo misalnya, akan bilang “mari” untuk “sembuh” dari penyakit fisik. Orang Jawa Timur menggunakan “mari” untuk “rampung” atau “selesai”. Sembuh dari sakit fisik menurut mereka adalah “waras”. Tapi menurut orang Solo, “waras” berarti sembuh dari penyakit jiwa.

***

Dalam persahabatan, saya baru merasa dia itu agak lain sedikit dibanding sahabat-sahabat saya di Tanah Air, ketika untuk saling berkunjung saja ternyata kami memerlukan paspor. Ke sahabat-sahabat di Indonesia, saya tak memerlukan itu bahkan kadang tak problem kalau ketinggalan KTP.

Saya juga mengalami perasaan aneh sebagai berikut. Setiap ada kabar baik tentang Malaysia, saya sering inget kalau punya sahabat di sana.

Tengah bulan lalu saya dengar University Utara Malaysia bekerja sama dengan lima universitas di Indonesia. Keenam lembaga ini juga kerja bareng Exelcomindo di bidang telekomunikasi dan aerowisata di bidang perhotelan. Mahasiswa yang sedang belajar dapat melakukan prakteknya di kedua industri itu. Ketika itu saya ingat punya sahabat di Malaysia.

Tahun lalu saya dengar juga dari temen, orang Indonesia yang tinggal di sini tetapi lahir di Malaysia karena waktu itu bapaknya sedang bertugas mengajar matematika di sana, bahwa Malaysia terang-terangan mengaku berguru banyak pada orang Indonesia. Termasuk dalam cara membuat jalan tol. Ketika itu saya juga ingat punya sahabat di Malaysia.

Ketika Malaysia waktu zaman Mahatir Mohammad bikin cikal bakal tiga bangunan, Menara Petronas, Bandara KL, dan Sirkuit Sepang, saya ingat bahwa punya sahabat di Malaysia. Lebih-lebih inget ketika bangunan-bangunan yang belum populer itu udah rampung. Tambah inget lagi ketika pihak kehumasan Malaysia berusaha keras agar bintang Hollywood Sean Connery dan Catherine Zeta-Jones shooting film Entrapment di situ sehingga bangunan-bangunan tadi dikenal dunia.

***

Tapi biasanya saya lupa bahwa saya punya sahabat di Malaysia, kalau terdengar berita nggak enak tentang negeri itu. Terutama nggak enak dalam hubungannya dengan Indonesia.

Waktu mengemuka kasus rebutan kawasan dengan Indonesia, misalnya Sipadan, Ligitan dan Ambalat, saya lupa bahwa saya punya sahabat di sana. Begitu juga waktu menyeruak kabar-kabar soal penyiksaan TKI di Malaysia, penganiayaan insan perkaratean dari Indonesia, dan lain-lain. Termasuk ketika ada ribut-ribut kabar bahwa pencurian kayu terutama di Kalimantan dan Papua disokong oleh cukong-cukong Malaysia.

Dan ini, yang terakhir, Rasa Sayange dijadikan lagu latar kampanye pariwisata Malaysia.

Mungkin karena saya kesel tapi nggak tahu musti bilang apa, seperti kekeselan Jhonavid, pemain drum White Shoes and The Couples Company ketika diwawancara buat tulisan ini. Mungkin karena dalam kasus Rasa Sayange ini saya terlalu sibuk mikir keharusan kita buat lebih hati-hati di masa depan, seperti sikap komponis Addie MS dan Miss Indonesia 2006 Nadine Chandrawinata ketika diwawancara untuk maksud serupa.

Kesel dan pikiran ke depan bikin orang lupa yang lain-lain saat ini. Makanya saya lupa punya sahabat di Malaysia.

Atau mungkin karena sahabat saya cuma satu di sana. Tapi para pejabat mustahil cuma punya satu sahabat di sana. Mereka sebagian naik melalui jenjang karir, terutama yang di Departemen Luar Negeri. Sepanjang jenjang kenaikan jabatannya itu mereka pasti banyak punya kenalan dan sahabat di Malaysia.

Apakah cekcok ini tidak mungkin dirampungkan dengan dan dalam situasi persahabatan?

*Sujiwo Tejo, Dalang Edan – http://www.sujiwotejo.com

*Dapatkan SMS berlangganan dari Dalang Edan Sujiwo Tejo tentang cara berbagai hal dipandang dari dunia pewayangan. Caranya, ketik reg pde1, kirim ke 9388, Tarif Rp 1.000/SMS. Apabila Anda ingin berhenti, ketik unreg pde1, kirim ke 9388