Wednesday, August 22, 2007

ADA SAJADAH PANJANG TERBENTANG...(1)

Toilet umum masih penuh berkah. Di peturasan itu saya sering jumpa tokoh-tokoh yang saya diem-diem pengin ngobrol.

Belum lama saya bisa ketemu tiba-tiba kepergok Yok Koeswoyo di suatu toilet di Senayan. Pekan lalu ketemu penyair Taufiq Ismail. Ndak pake rencana. Itu di toilet umum juga. Di Menteng.

Dia kaget. Soalnya begitu kepergok saya langsung minta maaf. “Ini ada apa?” katanya sambil merapikan diri sehabis buang air.

“Pokoknya saya mau minta maaf, Mas. Di berbagai forum terbatas yang tidak ada pers, saya selalu mengkritik Mas Taufiq. Kadang sangat emosional. Gara-garanya ya lagu Bimbo. Mas Taufiq nulis syairnya. Itu lho yang ada kalimat…sajadah panjang terbentang dari buaian hingga ke liang kubur…”

Dokter hewan dan penyair kondang ini masih bengong.

“Lagu itu sudah bagus-bagus ngingetin kita, betapa sembahyang yang sejati terselenggara di sepanjang hidup, tanpa ada jadwal. Sajadahnya sepanjang waktu kelahiran sampai tanah makam…Eh, masa’ terus ada kalimat, sembahyang yang panjang itu disela-selai dengan interupsi, mencari nafkah, mencari rezeki dan lain-lain…”

Pemahaman kayak gini, menurut saya, bikin masyarakat amburadul. Nggak ada yang mikirin. Setelah sembahyang (ke masjid, gereja, vihara, kuil dan lain-lain), orang pada sibuk mikir diri sendiri. Korupsi dan lain-lain. Aktivitas kesehariannya ndak ada hubungannya dengan sembahyangnya.

Pantesan dalam mencari rezeki, orang merasa halal korupsi. Dengan kata lain, orang boleh nggak memikirkan dampak negatif bagi orang banyak. Yang penting diri dan keluarganya untung. Toh ini cuma interupsi. Toh ini sementara saja, mumpung lagi luar rel “sajadah panjang”.

Padahal, kalau saya nggak salah ingat, setiap agama punya semangat sosial. Malah ada yang bilang, sembahyang yang sebenarnya ialah berbuat kebajikan buat orang banyak. Ini nggak ada jadwalnya. Ini sepanjang waktu. Ini juga kerap dibilang dalam wayang.

Sembahyang formal dan ada jadwalnya terhadap Tuhan baru punya nilai di depan-Nya, kalau makin kuat menggerakkan orang untuk melakukan perbuatan bagi sesama. Sembahyang individualnya menjadi laksana generator yang membangkitkan energi sosial.
Saya pikir Mas Taufiq marah. Di depan cermin toilet, tokoh ini justru ketawa. “Anda benar,” katanya dengan suara khasnya yang serak. “Itu teknis saja. Waktu saya tulis saya sulit mencari kata-katanya. Begitu saja keluar kata interupsi, “ jelasnya.

***

Ramadhan sudah dekat, Ibu-ibu. Biasanya di bulan itu lagu-lagu Bimbo berkumandang. Kini ibu-ibu udah saya ceritain. Penulis liriknya sendiri sudah mengaku keliru. Jadi, sebelum Mas Taufiq meralat, mungkin baik juga ibu-ibu kasih tahu suami atau anak yang mendengarkan tembang itu.

Please bilang, “Mencari rezeki dan lain-lain bukan interupsi lho…Itu bagian yang sah dari sembahyang panjang di atas sajadah panjang…”

Menyanyi. Menulis. Jadi presiden maupun penjaga pintu rel kereta api. Semuanya mesti diniatkan menjadi bagian yang sah dari sembahyang panjang. Melawak. Bekerja di rumah jagal. Menjual jamu gendongan maupun jadi menteri dan lain-lain. Seluruhnya mesti diniatkan terselenggara di atas sajadah panjang, muka bumi. Tak ada interupsi! Tak ada intermezo keluar dari jalur sajadah panjang. Tak ada…

Maaf, Ibu-ibu, belakangan ini tulisan saya jadi serius. Saya diingetin teman, perempuan lebih suka pemikiran praktis-praktis saja. Tapi persoalan bangsa ini, kebersamaan bangsa ini, sudah demikian parahnya. Penyelesaiannya tak bisa lagi cuma dengan dasar pikiran praktis.

Saya harus kembali mengimbau, terutama kepada saya sendiri dan keluarga, bangsa yang carut-marut ini bisa perlahan ditata jika semakin banyak orang merasa bahwa seluruh aktivitas dunianya terselenggara di atas sajadah panjang. Seluruhnya jadi bagian yang sah dari sembahyang panjangnya. Artinya, aktivitas itu harus bermanfaat bagi sebanyak mungkin orang atau paling apes, tidak merugikan sesama.

***

Dan kenapa saya harus matur ke kaum ibu tentang dasar pemikiran nggak praktis ini? Karena perempuan secara umum, lebih cenderung mikirin keluarganya sendiri. Salah-salah, kalau nggak kuat banget prinsipnya, suami juga bisa kebawa cuma mikirin keluarga.

Ini nggak salah. Mungkin alami ya…Mungkin emang sudah kodratnya. Kalau saya lihat siaran flora dan fauna, betina memang cenderung jauh lebih protektif terhadap anak-anak ketimbang yang jantan. Betina jauh lebih ganas dan beringas ketika mempetaruhkan hidup keturunannya.

Tapi dalam situasi orang saling ber-jibaku mikirin diri sendiri dan kehidupan berbangsa jadi nyaris remuk ini, saya tak melihat jalan keluar lain. Titik terang penyelesaian masalah itu cuma saya lihat ketika kaum ibu mengikhlaskan diri dan suaminya, untuk lebih berguna bagi banyak orang. Tak cuma mikirin keluarganya.

Waduh, ruang tulisan hampir abis. Saya sambung pekan depan saja. Semoga Ibu-ibu masih punya waktu lagi buat baca. Saya akan kasih contoh-contohnya.

Banyak contoh, ibu-ibu yang mikirin masyarakat, asal tanpa pamrih, suaminya jarang selingkuh. Jarang kemalingan. Hantu di rumah pergi tanpa perlu bantuan gaib. Anak-anak jarang sakit serius. Tunas-tunas hari depan itu akan mendapatkan rezeki dari masyarakat juga. Abis ini ya? Swear.

*Sujiwo Tejo, Dalang Edan
*Dapatkan SMS berlangganan dari Dalang Edan Sujiwo Tejo tentang cara berbagai hal dipandang dari dunia pewayangan. Caranya, ketik reg pde1, kirim ke 9388, Tarif Rp 1.000/SMS. Apabila Anda ingin berhenti, ketik unreg pde1, kirim ke 9388
*Tulisan ini diterbitkan di Harian Seputar Indonesia, 24 Agustus 2007

3 comments:

Anonymous said...

Emang sih apa yang di tuju mas Sujiwo langsung ke ibu2, tidaklah salah. Karena ibu2 adalah ujung tombak dari penyampaian suatu kebaikan pada inti masyarakat (keluarga). Dan apabila kebaikan telah sampai kedalam keluarga pastilah negara kita yang udah carut marut ini lambat laun akan pulih. Yang paling kerasa dari carut marutnya negara ini adalah para ibu2, dimana mereka paling susah untuk bisa mengeti orang lain. Tapi minimal ibu2 yang bisa bangun keluarga dengan baik juga akan berimbas pada orang lain. Asal jangan nyalahin ibu2 ya mas kalau negara ini seperti ini...
Apapun yang kita kerjakan juga merupakan ibadah asal niatnya karena Allah. Sajadah kita adalah dunia ini, ibadah kita adalah gerakan hati ini yang diaktualkan dalam kehidupan sehari-hari.
Ditunggu tulisan selanjutnya

Anonymous said...

kula nuwun mas aldi..absen kiye..

hadirrrrrrrrrr

unggul said...

.